Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Menggali Pengalaman Difabel Netra: Apakah Trans Jogja Sudah Aman dan Inklusif?

Views: 20

Solidernews.com – Bila membahas tentang Trans Jogja, tentunya bayangan mengenai moda transportasi umum yang ramah kantong akan terkenang dalam benak. Mengitari Yogyakarta, nyaman, wangi, kendaraan umum dalam kota ber-AC, dan tentunya membuka perjalanan hingga malam menjadi poin plus bagi transportasi umum ini. Terlepas di luaran sana banyak stereotipe terkait tingkah oknum pengemudi Trans Jogja yang kadang bikin para pengguna jalan mereasa tidak nyaman.

Harus diakui Trans Jogja Istimewa, di era kini makin menunjukkan perbaikan demi perbaikan. Mulai soal unit bus, halte, petugas halte, pramugari/pramugara bus, sumber daya, mau pun dari sisi adaptasi teknologi yang memudahkan pengguna dari jasa Trans Jogja. Hal-hal tersebut, tentunya harus diapresiasi. Namun, apakah hal-hal tadi selaras dengan pelayanan bagi masyarakat difabel? Khususnya difabel netra? Mari kita bahas!

 

Transportasi Publik yang Inklusif

Perlu dipahami bahwasannya menciptakan moda transportasi yang inklusif, dapat diakses semua kalangan, tidak terkecuali masyarakat difabel sudah tertuang dengan jelas diatur dalam beberapa peraturan, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2020 tentang aksesibilitas pada pemukiman, layanan publik, dan perlindungan terhadap bencana bagi penyandang disabilitas, serta (3) Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 5 Tahun 2022 yang mengatur pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Dalam hal ini, tentunya Trans Jogja juga harus terus berbenah guna menciptakan transportasi inklusif yang dapat diakses masyarakat difabel dengan mudah, nyaman, dan terlayani dengan baik.

Wildan, difabel netra yang menjadikan Trans Jogja sebagai andalan untuk berpergian, pada wawancara 29 Oktober 2024, menyatakan kalau memang Trans Jogja itu sudah berbenah dari beberapa aspek. Namun, ada aspek lain yang menurutnya harus dibenahi guna kenyamanan difabel yang menggunakan moda transportasi umum ini. Khususnya soal SDM dari para petugas trans itu sendiri.

“Mulai untuk kuliah sewaktu masih aktif sebagai mahasiswa, pergi berorganisasi, mengikuti berbagai agenda, dan sebagainya, hingga kini aku masih pakai Trans Jogja. Ya, alasannya jelas. Salah satunya karena moda ini yang sangat terjangkau soal harganya. Namun, saya akui kalo soal pelayanan bagi difabel netra memang sudah menunjukkan perbaikan. Tapi SDM yang teredukasi itu masih sedikit dan cenderung belum merata antara satu halte dengan halte lainnya, atau satu bus dengan bus lainnya,” ungkap Wildan.

Hal itu senada dengan cerita dari Akbar, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang juga menjadikan moda transportasi Trans Jogja sebagai transportasi pokok. Ia menjelaskan kalau dari rumahnya yang berada di Bantul dan pergi kuliah yang berada di Sleman, ada beberapa perbedaan pelayanan yang ia rasakan. Menurutnya, pelayanan untuk pengguna difabel itu sangat baik di halte-halte kota. Tapi, menuju pinggir, seperti di Sleman, semua itu berubah. Banyak petugas yang kurang responsif, abai, dan kurang maksimal dalam melayani pengguna difabel netra.

“ya, aku merasa kalau pelayanan di halte area kota itu sangat responsif. Namun, menuju area pinggir seperti sleman, entah mengapa petugas haltenya itu kurang maksimal dalam melayani difabel, khususnya difabel netra,” tutur Akbar pada wawancara 27 Oktober 2024.

Meninjau hal itu, perbaikan pelayanan yang inklusif harus terus dilakukan. Dilansir dari solidernews.com, pada artikel yang ditulis Sri Hartanty, Ludy Bima Sena, perwakilan dari Forum Komunikasi (Forkom) Difabel DIY, menyatakan bahwa transportasi inklusif ditandai dengan penyediaan layanan dan akses yang terbuka bagi seluruh penumpang tanpa pengecualian. “Apa pun kondisinya, semua penumpang harus bisa mengakses layanan ini dengan mudah dan mandiri dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” ungkapnya.

 

Lika-Liku Difabel Netra dengan Trans Jogja

Ada beberapa kasus yang coba solidernews gali guna perbaikan Trans Jogja sewaktu mengamati dari pengguna difabel netra. Kisah pertama diceritakan oleh Wildan. Ia sempat mengalami kecelakaan saat menaiki Trans Jogja dan hendak turun di halte Ambar Ketawang. Di mana dari kejadian itu, Wildan sempat mengalami luka yang menyebabkan cidera.

Menurut Wildan, kejadian itu belum lama ia alami. Saat itu, ia habis pulang dari berpergian dan hendak pulang. Saat hendak turun di halte yang dekat dengan rumahnya, Wildan mencoba berjalan pelan ke arah pintu bus. Ia merasa heran, tumben petugas bus tidak membantunya. Saat ia melangkah keluar, ternyata posisi pintu bus tidak sejajar dengan pintu halte. Hal itu baru disadari Wildan, saat petugas bus berteriak, “Awaaas, mas!” namun terlambat. Kepalanya sudah terbentur pintu halte.

Pada sesi wawancara, Wildan mengungkapkan bahwa ia sangat menyayangkan sikap petugas yang tidak sesuai SOP untuk menghentikan bus-nya. Di mana SOP tersebut sudah tertuang dalam aturan kerja mereka. Mulai soal kerapatan pintu bus, ketepatan dan kesejajaran pintu bus dengan pintu halte, dan sejenisnya. Tapi entah mengapa masih saja ada petugas yang kurang mematuhi SOP itu. Bahkan kondektur bus juga kurang maksimal melayani difabel. Dirinya dibiarkan turun sendiri.

“Ya, dari kejadian itu dahiku berdarah, mas. Petugas pun Cuma bilang maaf. Entahlah, mengapa kok mereka tidak menaati SOP yang telah ditetapkan,” tutur Wildan.

Pengabaian itu juga sempat dialami Rizal, mahasiswa difabel netra UIN Sunan Kalijaga yang kini berdomisili di Banguntapan, Bantul. Pada wawancara 27 Oktober 2024, ia kerap mengalami kejadian turun tidak sesuai halte. Hal itu disebabkan oleh kelalaian petugas yang tidak menginformasikan posisi pemberhentian bus. Selain itu, ia juga beberapa kali menemukan bus yang audio announcment-nya itu mati. Sehingga ia kerap susah mengetahui titik pemberhentian, saat menemukan petugas kondektur yang kurang informatif dan audio announcment-nya mati.

“ya, itu mas. Aku kerap mengalami kejadian turun tidak sesuai halte. Karena petugas yang kurang informatif dan audio pemberitahuannya mati. Jadi, kadang saat berpergian aku harus benar-benar berusaha untuk lebih waspada. Selain itu, mencoba menitip pesan ke petugas terkait di mana aku akan turun,” tutur Rizal.

Pada sisi lain, Akbar juga menambahkan pengalamannya saat naik Trans Jogja. Ia mengungkapkan kalau petugas di area perkotaan itu relatif baik pelayanannya bagi difabel netra. Mulai cara berinteraksi, cara menggandeng, dan pelayanannya itu membuatnya nyaman. Tapi saat tiba di halte area pinggir, seperti Sleman, ia merasakan kualitas SDM yang berbeda. Banyak petugas yang kurang responsif, cara menggandeng yang tidak tepat, hingga membuatnya heran. Kok bisa kualitas SDM ini berbeda. Bahkan beberapa pelayanan di area pinggir itu kurang tepat, seperti membimbing difabel netra untuk masuk bis dengan cara mendorong dari belakang.

“kan yang benar itu memegang pergelangan tangan, mas. Atau kita yang memegang si petugas. Nah, kalau di dorong dari belakang itu kan kacau. Cara itu berisiko menyebabkan kecelakaan dan cidera. Jadi, aku sendiri merasa heran. Kok bisa ya. Kualitas SDM itu berbeda? Padahal satu perusahaan,” tuturnya.

 

Mari Berbenah Untuk Kenyamanan Bersama

Meninjau studi kasus di atas, seyogyanya mari secara bersama kita perbaiki berbagai kekurangan yang masih ada. Trans Jogja yang kini menjadi andalan warga Yogyakarta untuk mengantar ke tempat tujuan, sudah seharusnya menciptakan ruang inklusif dan aksesibel bagi pengguna difabel. Tentu perbaikan itu dari berbagai aspek. Baik soal teknis mau pun soal non-teknis.

Monitoring, evaluasi, edukasi, dan pembinaan terkait interaksi dan layanan bagi pengguna difabel harus terus dilakukan secara berkelanjutan. Kolaborasi dengan organisasi difabel, membangun watak inklusif di jajaran petugas, dan melibatkan difabel dalam perancangan akomodasi fasilitas Trans Jogja bisa menjadi poin untuk membenahi kekurangan yang masih ada.

Mulai Akbar, Wildan, Rizal, dan beberapa kawan difabel netra lain yang tidak mau disebutkan namanya di tulisan ini, mereka semua berharap adanya perbaikan yang berkelanjutan. Utamanya soal pengadaan fasilitas aksesibilitas di halte bagi pengguna difabel. Selain itu, training dan edukasi difabel harus terus dilakukan untuk seluruh kru lapangan Trans Jogja. Perbaikan soal Sumber Daya Fasilitas juga harus dibarengi perbaikan Sumber Daya Manusianya, sehingga dapat tercipta keseimbangan, yang makin meningkatkan rasa aman dan nyaman saat masyarakat difabel menaiki bus Trans Jogja.[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content