Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Mengenal Kusta, hubungan Kusta dengan Kedifabelan

Views: 20

Solidernews.com – Kusta, penyakit yang telah lama menjadi momok bagi masyarakat, masih merupakan isu kesehatan yang serius di Indonesia. Disebabkan oleh Mycobacterium leprae, kusta dapat menyerang kulit, jaringan saraf perifer, mata, dan selaput dalam hidung, meninggalkan dampak yang serius bagi penderitanya.

 

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kusta dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok utama, yaitu pausibasiler dan multibasiler. Pada kusta pausibasiler, biasanya ditemukan 1-5 lesi, dan sering kali menyebabkan kehilangan sensasi pada area yang terkena, serta menyerang satu cabang saraf.

 

Indonesia, meskipun telah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, masih menjadi salah satu negara dengan kasus kusta terbanyak di dunia. Data menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan Brazil, dengan lebih dari 13.487 kasus kusta dilaporkan hingga tahun 2022. Namun, angka tersebut mungkin masih merupakan gambaran yang terlalu rendah mengingat kemungkinan banyak kasus yang tidak dilaporkan.

 

Masih ada tantangan besar yang harus diatasi dalam penanganan kusta di Indonesia. Dari 38 provinsi yang ada, hanya tujuh provinsi yang berhasil mencapai eliminasi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk mengatasi kusta masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia.

 

Salah satu tantangan yang paling signifikan adalah angka kasus baru kusta pada anak-anak yang belum mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu di bawah 5%. Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kasus baru kusta pada anak mencapai 9,14%, sebuah angka yang menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut.

 

Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan. Hanya dengan kerja sama yang solid dan kesadaran yang tinggi, Indonesia dapat melangkah maju dalam memerangi kusta dan mengurangi dampaknya bagi masyarakat.

 

 

Dengan Berobat Kusta Terputus Penularan, Penyakit Menular yang Paling tidak Menular

Di balik nama ilmiahnya, Mycobacterium leprae, penyakit kusta menyimpan sejumlah misteri yang masih menjadi tanda tanya besar dalam dunia medis. Disebut juga penyakit Hansen, dinamai setelah ilmuwan yang menemukannya pada tahun 1873, kusta telah menghadirkan teka-teki yang sulit dipecahkan.

 

Salah satu misteri terbesar adalah bagaimana penyakit ini sebenarnya ditularkan. Meskipun telah banyak penelitian dilakukan, cara penularan kusta masih belum jelas secara pasti. Namun, yang pasti, ketika seseorang yang terinfeksi kusta batuk atau bersin, mereka dapat menyebarkan tetesan yang mengandung bakteri M. leprae, yang kemudian dapat dihirup oleh orang lain. Penularan kusta memerlukan kontak fisik yang dekat dengan penderita, sehingga penyakit ini tidak mudah menyebar melalui kontak biasa seperti berjabat tangan atau berpelukan.

 

Meskipun menimbulkan ketakutan bagi banyak orang, ada sejumlah fakta menarik tentang kusta yang sering kali terlupakan. Misalnya, ibu hamil yang menderita kusta tidak dapat menularkannya kepada bayi mereka, dan penyakit ini juga tidak menular melalui kontak seksual. Bahkan, kusta merupakan penyakit menular paling tidak menulari, karena membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menimbulkan gejala setelah masa inkubasi yang panjang, bisa mencapai hingga 20 tahun. Kusta potensi menular sangat kecil, itupun yang belum terkena obat kusta, bagi yang sudah mendapati pengobatan sudah terputus penularannya.

 

Namun, bukan berarti kusta bisa dianggap remeh. Bakteri ini, meskipun lemah, mampu bertahan di lingkungan lembab dan memiliki kemampuan untuk bertahan dalam tubuh manusia selama bertahun-tahun. Namun, dengan sistem kekebalan tubuh yang kuat, manusia memiliki kekuatan untuk melawan dan mengalahkan bakteri penyebab kusta ini.

 

Mengungkap misteri kusta bukanlah tugas yang mudah, namun, dengan upaya terus-menerus dalam penelitian dan kesadaran masyarakat, kita dapat memahami lebih dalam tentang penyakit ini dan menemukan cara yang lebih baik untuk mencegah dan mengobatinya.

 

 

 Meredam Stigma Sosial terhadap Penyakit Kusta

Stigma dan diskriminasi yang menghinggapi pasien kusta telah menjadi beban berat yang terus membebani mereka selama berabad-abad. Dampaknya, terkadang, jauh lebih besar daripada gejala fisik yang dihadapi oleh penderita itu sendiri. Mulai dari kesulitan dalam mengidentifikasi kasus baru hingga terhambatnya proses penyembuhan, stigma ini merusak kualitas hidup pasien dan membentuk lingkaran setan yang sulit dipecahkan.

 

Di berbagai budaya, penyakit kusta sering dianggap sebagai hukuman atas dosa yang dilakukan oleh penderitanya. Istilah “kusta”, yang sering dihubungkan dengan kutukan dalam kitab suci agama Islam dan Kristen, turut menambah beban psikologis para penderita. Untuk menghindari stigma negatif ini, banyak organisasi kesehatan dunia telah mengganti istilah “kusta” dengan “Morbus Hansen”.

 

Pasien kusta yang mengalami gejala yang terlihat sering kali merasa terisolasi dan merasa “tidak normal”, bahkan setelah mereka sembuh. Stigma semakin melekat saat gejala terlihat jelas, mempersempit lingkaran sosial mereka. Banyak yang memilih untuk menyembunyikan kondisi mereka karena takut dicemooh, dipecat, atau diasingkan dari masyarakat.

 

Pengucilan dan penolakan masyarakat adalah dampak paling merugikan dari stigma sosial ini. Pasien  kusta seringkali dihindari atau bahkan dipecat dari pekerjaan mereka, dan bahkan menjadi korban kekerasan fisik. Perasaan isolasi dan rasa malu masih tetap ada bahkan setelah mereka sembuh, sering kali menyebabkan depresi dan pikiran untuk bunuh diri.

 

Untuk mengatasi hal ini, langkah pertama yang harus diambil adalah memahami. Memahami sejarah, gejala, dan stigma yang terkait dengan penyakit kusta adalah langkah pertama untuk mengubah persepsi masyarakat. Kemudian, pemahaman ini perlu disebarluaskan. Dengan membuka pembicaraan tentang fakta-fakta kusta, kita bisa mengubah persepsi negatif dan memastikan bahwa kata “kusta” tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, dan penderita kusta tidak lagi dianggap sebagai makhluk terasing.

 

Optimisme Menuju Bebas Kusta

Langkah-langkah menuju eliminasi kusta di Indonesia mendapat dorongan kuat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang penanggulangan kusta. Hal ini menjadi titik terang bagi ribuan saudara sebangsa dan setanah air yang masih berjuang melawan penyakit ini.

 

Kementerian Kesehatan menetapkan target ambisius untuk menghapus kusta dari peta penyakit di Indonesia pada tahun 2024 mendatang. Namun, tantangan yang dihadapi dalam upaya eliminasi kusta di Tanah Air masih sangat besar, salah satunya adalah stigma dan diskriminasi yang masih merasuki keluarga dan penderita kusta.

 

Untuk merealisasikan impian ini, diperlukan kerja sama yang solid dari berbagai pihak. Mulai dari pemerintah di semua tingkatan, tenaga kesehatan, hingga masyarakat sipil, semua harus turut berperan aktif. Tantangannya adalah bagaimana kita semua bisa bersatu demi mencapai tujuan bersama, yakni eliminasi kusta pada tahun 2024.

 

Dengan upaya keras, komitmen yang teguh, dan kebersamaan dalam menghadapi stigma dan diskriminasi, kita bisa menciptakan masa depan yang bebas dari penyakit kusta. Langkah-langkah yang kita ambil hari ini akan menjadi pijakan bagi generasi mendatang untuk hidup tanpa rasa takut terhadap penyakit yang telah menghantui umat manusia selama berabad-abad.

 

Kaitan Antara Kusta dan Difabel

Tidak sedikit yang bertanya, apa hubungan antara kusta dengan difabel? Kusta masih menjadi salah satu penyebab utama neuropati perifer dan kedifabelan di seluruh dunia, meskipun telah dilakukan upaya besar untuk mengurangi dampak penyakit ini. Terutama, penerapan Terapi Multidrug (MDT) telah terbukti sangat berhasil dalam menyembuhkan dan mengurangi tingkat keparahan kusta mengarah kedifabelan di berbagai belahan dunia.

 

Salah satu penelitian yang melibatkan 200 pasien kusta mengungkapkan fakta menarik. Dari total 254 kelainan bentuk yang diamati, 168 di antaranya (66,14%) telah terdeteksi pada saat diagnosis awal, sementara 20 kelainan (7,87%) muncul pada tahap tindak lanjut. Tidak kurang dari 21,25% pasien menunjukkan kelainan bentuk pada Tingkat 1, sementara 6,31% lainnya mengalami kelainan bentuk pada Tingkat 2 atau lebih parah. Kelainan bentuk paling umum terjadi pada tangan (44,48%), diikuti oleh kaki (39,76%), dan wajah (15,74%).

 

Difabel adalah istilah yang luas, mencakup berbagai gangguan, keterbatasan aktivitas, atau pembatasan partisipasi yang dapat memengaruhi seseorang. Dalam konteks penyakit kusta, difabel fisik diidentifikasi dalam tiga tingkat oleh WHO. Tingkat 0 merujuk pada kondisi tanpa kecacatan atau kerusakan bentuk yang terlihat pada mata, tangan, dan kaki. Tingkat 1 menandakan kehilangan sensitivitas pelindung pada mata, tangan, atau kaki, tanpa adanya kerusakan atau kelainan bentuk yang terlihat. Sedangkan, Tingkat 2 mengindikasikan adanya kerusakan atau kelainan bentuk yang terlihat pada mata, tangan, atau kaki, seperti lagoftalmos, ektropion, atau ulserasi pada tangan dan kaki.

 

Kusta dan difabel, dua hal yang mungkin terlihat berbeda, namun memiliki keterkaitan yang erat. Penyakit kusta tidak hanya meninggalkan dampak fisik yang nyata pada tubuh penderitanya, tetapi juga dapat menyebabkan kedifabelan fisik yang signifikan. Meskipun telah dilakukan upaya besar untuk mengurangi dampak kusta dan meningkatkan kualitas hidup penderita, tantangan masih terus ada.

 

Dalam menghadapi kusta dan dampaknya terhadap kedifabelan, langkah-lankah preventif dan penyembuhan harus terus didorong. Edukasi masyarakat tentang penyakit ini, dukungan penuh terhadap upaya eliminasi kusta, dan peningkatan aksesibilitas terhadap perawatan kesehatan adalah langkah-langkah penting dalam menjembatani kesenjangan dan memastikan bahwa setiap individu, termasuk mereka yang terkena dampak kusta, dapat hidup dengan martabat dan kesempatan yang sama.

 

Menyatukan Suara untuk Kusta

Dalam upaya menanggulangi kusta dan dampaknya terhadap kedifabelan, kita bersatu dalam panggilan untuk kesetaraan dan inklusi. Perjalanan menuju eliminasi penyakit kusta membutuhkan fokus pada langkah-langkah preventif dan penyembuhan. Dengan edukasi yang meluas, dukungan terhadap upaya eliminasi kusta, dan peningkatan akses terhadap perawatan kesehatan, kita membangun fondasi untuk perubahan yang positif.

 

Tidak hanya bertarung melawan penyakitnya, tetapi juga stigma sosial yang melekat padanya, kita membuka panggung bagi setiap individu untuk hidup dengan martabat dan kesempatan yang sama. Dengan penyebaran informasi yang luas, peningkatan kesadaran, dan kerja sama yang kuat, kita dapat mengubah narasi menjadi lebih inklusif, memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat kepada masyarakat yang lebih mandiri dan empati.

 

Dalam menghadapi tantangan kusta dan kedifabelan, kita menyuarakan pesan: bersama-sama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua.[]

 

Penulis: Hasan

Editor    : Ajiwan Arief

 

 

Sumber:

  1. Dinas Kesehatan Kota Madiun. (n.d.). [Program Penanggulangan Kusta](https://dinkes.madiunkota.go.id/?p=1523).

 

  1. Kementerian Kesehatan. (n.d.). [Pravalensi Kusta pada Anak Tinggi, Temukan Kasusnya, Periksa Kontak, dan Obati Sampai Tuntas](https://p2p.kemkes.go.id/pravalensi-kusta-pada-anak-tinggi-temukan-kasusnya-periksa-kontak-dan-obati-sampai-tuntas/).

 

  1. Universitas Muhammadiyah Jakarta. (2023, September). [Kuliah Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan: Indonesia Tempati Urutan Ketiga Kasus Kusta Terbanyak](https://umj.ac.id/kabar-kampus/2023/09/kuliah-umum-fkk-umj-indonesia-tempati-urutan-ketiga-kasus-kusta-terbanyak/).

 

  1. World Health Organization. (n.d.). [Leprosy](https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy).

 

  1. WebMD. (n.d.). [Leprosy: Symptoms, Treatments, History](https://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/leprosy-symptoms-treatments-history).

 

  1. Universitas Airlangga. (2021, Oktober 8). [Stigma Sosial terhadap Penyakit Kusta](https://news.unair.ac.id/2021/10/08/stigma-sosial-terhadap-penyakit-kusta/?lang=id).

 

  1. Kementerian Kesehatan. (n.d.). [Menuju Eliminasi 2024: Kemenkes Ajak Masyarakat Hapus Stigma dan Diskriminasi Kusta](https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220203/2839247/menuju-eliminasi-2024-kemenkes-ajak-masyarakat-hapus-stigma-dan-diskriminasi-kusta/).

 

  1. Rathod, S. P., Jagati, A., & Chowdhary, P. (2019). Disabilitas penderita kusta: analisis retrospektif dan terbuka terhadap catatan institusi. *Journal Name*, *Volume*(Issue), halaman.

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content