Views: 13
Solidernews.com – Gangguan adalah hal yang biasa, penyakit adalah hal yang biasa, namun pernahkah pembaca mengetahui bahwa diantara gangguan atau penyakit yang dialami mayoritas orang, ada gangguan atau penyakit tertentu yang masuk dalam kategori gangguan atau penyakit langka. Istilah Bahasa inggris yang digunakan untuk gangguan langka adalah rare disorder. Sedangkan istilah untuk penyakit langka adalah rare disease. Namun pada tulisan ini, penulis akan menggunakan istilah gangguan langka.
Definisi Gangguan Langka
Europian Union mendefinisikan gangguan langka sebagai gangguan dengan jumlah prevalensi 1 banding 2000 orang. Itu artinya diantara 2000 orang populasi yang ada, hanya 1 orang saja yang mungkin bisa terkena Gangguan Langka. Dengan kata lainnya lagi, hanya 0.05% saja kemungkinan seseorang bisa terkena Gangguan Langka (Danesse & Lippi, 2018).
Jumlah orang dengan Gangguan Langka
Berdasarkan jumlah yang sudah diketahui saat ini, jumlah Gangguan Langka yang sudah tercatat didunia mencapai 6.000. contoh dari gangguan langka yaitu narcolepsy, neonatal lupus, dravet syndrome, senior loken syndrome dan masih banyak lagi. Untuk list lengkapnya bisa dilihat pada link https://rarediseases.org/rare-diseases/?starts_with=S
Permasalahan permasalahan yang biasanya dialami orang dengan Gangguan Langka
Akibat dari kelangkaan dari gangguan yang mereka alami, banyak individu dengan gangguan langka yang menemui kendala pada saat mereka membutuhkan pertolongan untuk menangani gangguan langka yang mereka alami. Kendala kendala tersebut sangat mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan mereka. Pada kesempatan kali ini penulis akan sampaikan kendala kendala yang biasanya populasi ini alami.
Efek gangguan langka pada kemampuan menjalankan aktifitas sehari hari
Akibat dari gangguan langka, pasien maupun orangtua melaporkan efek intensif gangguan langka pada kehidupan sehari hari. Efek pertama yaitu bagi orangtua yang memiliki anak dengan gangguan langka, para orangtuanya harus membuat banyak penyesuaian kembali agar anaknya bisa bertahan menjalani aktiftas sehari hari dengan masalah yang seminimal mungkin. Efek kedua yaitu pada remaja dan dewasa, gangguan langka sangat membatasi mereka dalam melakukan aktifitas sehari hari. Tidak jarang juga mereka membutuhkan bantuan dari orang terdekatnya untuk melakukan aktifitas sehari hari. Contohnya misalnya tidak biasanya mendapatkan SIM akibat dari gangguan langka yang dialami sehingga mereka meminta tolong orang lain untuk menyetir mobil (Witt dkk, 2023). Efek ketiga yaitu diagnosis gangguan langka tersebut berdampak negative pada Kesehatan psikologis orang dengan gangguan langka maupun orang orang sekitarnya seperti orangtua, kakak, adik dan orang orang dekat lainnya. Dampak negative secara mental yang paling sering dikeluhkan yaitu perasaan ketidakberdayaan menghadapi situasi sulit yang tidak kunjung berakhir yang disebut penderitaan permanen (Rezaei dkk, 2023). Bahkan ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa karena gangguan langka ini mereka memiliki pikiran untuk bunuh diri (Witt dkk, 2023). Efek keempat yaitu orang dengan gangguan langka seringkali mendapatkan perlakuan buruk dari lingkungannya seperti penolakan dan distigma oleh Masyarakat di sekitarnya (Rezaei dkk, 2023).
Pengalaman orang dengan gangguan langka pada saat berhadapan dengan sistem kesehatan
Berdasarkan banyak laporan, orang-orang dengan gangguan langka melaporkan bahwa mereka biasanya mendapatkan diagnosis dalam waktu yang sangat lama dengan banyak menghabiskan waktu juga untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit (Witt dkk, 2023). Sayangnya walaupun mereka menghabiskan waktu yang lama di rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan, belum tentu mereka akan mendapatkan diagnosis yang tepat dalam jangka waktu yang cepat. Nyatanya, tidak semua rumah sakit memiliki alat alat yang tepat untuk mendiagnosis gangguan langka yang kemungkinan terjadinya kecil sekali (Ashtary & Taylor, 2023). Ada juga sebagian professional dibidang Kesehatan yang menganggap kondisi pasien dengan gangguan langka tidak dianggap terlalu serius sehingga pada akhirnya pasien harus mengambil tindakan yang radikal yaitu menunjukkan foto ke professional agar professional sadar betapa serius dan buruknya kondisi orang dengan gangguan langka tersebut (Lisbet & Marit, 2013). Ditambah lagi, banyak penyedia Kesehatan yang tidak memberikan informasi yang akurat terkait gangguan langka yang mereka alami (Ashtary & Taylor, 2023). Ada juga yang melaporkan bahwa tidak sedikit professional yang berhadapan dengan pasien dengan gangguan langka yang tidak mau terlibat dan memilih untuk mengundurkan diri dalam hal memeriksa orang dengan gangguan langka akibat dari ketidaktahuannya terkait kondisi yang dialami pasien dengan gangguan langka tersebut. Andaikan saja tenaga professional mau terlibat menangani pasien dengan gangguan langka, tidak sedikit yang menangani mereka hanya berdasarkan prasangka atau dugaan dari tenaga Kesehatan terkait kondisi yang dialami pasien dengan gangguan langka tersebut (Lisbet & Marit, 2013).
Akibat dari hal ini adalah banyak pasien maupun orang terdekat dari orang dengan gangguan langka yang kondisi psikologisnya memburuk akibat dari mendapat diagnosis yang salah selama bertahun tahun (Hartinaz dkk, 2023). Bahkan diantara mereka tidak sedikit juga yang menjadi korban dari malpraktek. Lebih buruknya lagi, ada banyak gangguan langka yang kasus dari gangguan tersebut tidak dicover oleh asuransi Kesehatan yang ada (Lisbet & Marit, 2013). Hal ini menyebabkan banyaknya jumlah uang yang harus dihabiskan dari dana pribadi untuk mencari pertolongan dari satu tenaga Kesehatan ke tenaga Kesehatan yang lainnya sebelum akhirnya mendapatkan diagnosis yang tepat (Hartinaz dkk, 2023). Faktor faktor semacam ini menyebabkan rata rata waktu yang dibutuhkan orang dengan gangguan langka untuk mendapatkan diagnosis yang tepat adalah 6 tahun (Blob dkk, 2017).
Ada beberapa alasan hal semacam ini bisa terjadi. Pertama karena perhatian tenaga medis akan lebih terfokus pada gangguan atau penyakit yang sifatnya lebih umum. Kedua para donor lebih tertarik untuk meneliti gangguan umum yang berdampak ke banyak orang dibandingkan gangguan langka yang berefek pada jauh lebih sedikit orang (Lippi & Plebani, 2013).
Akses informasi terkait gangguan langka yang masih sulit
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa para pendonor lebih tertarik untuk memberikan dana untuk penelitian dengan topik gangguan atau penyakit yang bersifat umum dibandingkan gangguan atau penyakit yang bersifat langka (Lippi & Plebani, 2013). Tentu saja hal ini menimbulkan akibat yang tidak remeh, yaitu sulitnya akses informasi dan sumber bacaan untuk mengakses perihal gangguan langka yang dialami (Hatirnaz dkk, 2023). Menurut penulis, akibat dari hal ini maka kesulitan akses informasi terkait gangguan langka bukan hanya dirasakan oleh pasien dan keluarganya, melainkan juga dirasakan oleh tenaga medis akibat kurangnya dukungan dana meneliti terkait gangguan langka tersebut.
Apakah orang orang yang mengalami gangguan langka juga mengalami difabel?
Tidak semua gangguan langka itu bisa dikategorikan mengalami kondisi difabel. Bisa dikatakan difabel atau tidaknya seseorang tergantung dari tingkat keparahan gangguan yang dialami. Apabila gangguan tersebut membuat orang tersebut mengalami kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari dan menyebabkan orang tersebut sulit berpartisipasi ditengah masyarakat berdasarkan persamaan hak, maka tentu saja gangguan yang dialaminya tersebut dapat dikategorikan sebagai kondisi difabel. Berdasarkan dari penjelasan yang sudah dijabarkan penulis, tentu saja sebagian dari gangguan langka bisa masuk dalam kategori kondisi difabel.
Solusi yang ditawarkan
Berdasarkan hal yang sudah penulis tuliskan, secara singkat ada beberapa masalah yang umumnya dihadapi orang dengan gangguan langka. Pertama, kurangnya informasi seputar gangguan langka yang menyebabkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Kedua, terbatasnya akses informasi yang tersedia terkait gangguan langka yang dihadapi. Ketiga, kurangnya tenaga medis yang menjadi spesialis dibidang gangguan langka yang dihadapi pasien. Keempat, lamanya durasi yang dibutuhkan untuk melakukan tes maupun perawatan bagi orang dengan gangguan langka. Kelima, kesulitan finansial yang diakibatkan semua proses diagnosis yang terjadi butuh untuk mengeluarkan uang yang banyak.
Kendala-kendala tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Oleh karena itu penulis menawarkan beberapa opsi yang mungkin saja bisa membantu untuk menyelesaikan masalah pada orang yang mengalami gangguan langka. Pertama, dibuat lebih banyak sumber sumber informasi dengan Bahasa yang sederhana terkait gangguan langka. Kedua, adanya bantuan finansial dari pemerintah berupa asuransi yang mengcover sebagian biaya perawatan pada orang orang yang mengalami difabel langka. Ketiga, perbanyak dokter spesialis yang juga memahami soal gangguan langka.[]
Penulis : Rahmat Fahri Naim
Editor : Ajiwan
Biodata penulis
Rahmat Fahri Naim merupakan individu dengan difabel ganda. Pertama ia memiliki kondisi spektrum autisme. Kedua, ia memiliki kondisi narkolepsi, kondisi yang masuk dalam kategori gangguan langka atau rare disorder. Saat ini tergabung di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia. Ia memiliki minat untuk mendalami isu isu Invisible Difability atau yang dalam Bahasa Indonesianya disebut difabel tak kasat mata. Penulis bisa dihubungi melalui akun r_fahri_n yaitu id instagramnya.
Daftar Pustaka
Ashtari, S., & Taylor, A. (2023). Patients With Rare Diseases and the Power of Online Support Groups: Implications for the Medical Community. JMIR formative research, 7, e41610. https://doi.org/10.2196/41610
Blo¨ß S, Klemann C, Rother A-K, Mehmecke S, Schumacher U, Mu¨cke U, et al. (2017) Diagnostic needs for rare diseases and shared prediagnostic phenomena: Results of a German-wide expert Delphi survey. PLoS ONE 12 (2): e0172532. doi:10.1371/journal.pone.0172532
Danese, E., & Lippi, G. (2018). Rare diseases: the paradox of an emerging challenge. Annals of translational medicine, 6(17), 329. https://doi.org/10.21037/atm.2018.09.04
Hatirnaz Ng, O., Sahin, I., Erbilgin, Y., Ozdemir, O., Yucesan, E., Erturk, N., Yemenici, M., Akgun Dogan, O., Ugur Iseri, S. A., Satman, I., Alanay, Y., & Ozbek, U. (2023). Obstacles and expectations of rare disease patients and their families in Türkiye: ISTisNA project survey results. Frontiers in public health, 10, 1049349. https://doi.org/10.3389/fpubh.2022.1049349
Lippi, G., & Plebani, M. (2013). Biomarker research and leading causes of death worldwide: a rather feeble relationship. Clinical chemistry and laboratory medicine, 51(9), 1691–1693. https://doi.org/10.1515/cclm-2013-0210
Lisbet Grut lisbet.grut@sintef.no & Marit H. Kvam (2013) Facing ignorance: people with rare disorders and their experiences with public health and welfare services, Scandinavian Journal of Disability Research, 15:1, 20-32, DOI: 10.1080/15017419.2011.645870
Rezaei, F., Sanagoo, A., Peyrovi, H., & Jouybari, L. (2023). Persistent suffering: Living experiences of patients with rare disease: An interpretative phenomenological study. Journal of education and health promotion, 12, 224. https://doi.org/10.4103/jehp.jehp_1010_22
Wakap, Stéphanie & Lambert, Deborah & Olry, Annie & Rodwell, Charlotte & Gueydan, Charlotte & Valérie, Lanneau & Murphy, Daniel & Cam, Yann & Rath, Ana. (2019). Estimating cumulative point prevalence of rare diseases: analysis of the Orphanet database. European Journal of Human Genetics. 28. 10.1038/s41431-019-0508-0.
Witt, S., Schuett, K., Wiegand-Grefe, S., Boettcher, J., & Quitmann, J. (2023). Living with a rare disease – experiences and needs in pediatric patients and their parents. Orphanet journal of rare diseases, 18(1), 242. https://doi.org/10.1186/s13023-023-02837-9