Views: 13
Solidernews.com – Hukuman terhadap pelaku kejahatan dapat diperberat apabila korbannya adalah difabel.
Faktor yang dapat memperberat atau meringankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku kejahatan di tiap negara mungkin berbeda, meskipun ada beberapa hal yang bersifat universal.
Calr’s Law, hukum yang berlaku di Florida, Amerika Serikat ini sangat menyita perhatian publik. Dengan perjuangan panjang para anggota Senat, pada Maret 2016 lalu, Carl’s Law akhirnya disahkan. Undang-Undang tersebut diambil dari nama Carl Starke, merupakan seorang pria Autis berusia 36 tahun yang menjadi korban pembunuhan di depan tempat tinggalnya pada Agustus 2015 oleh dua pelaku berusia remaja.
Aparat penegak hukum setempat berhasil mengungkap kasus dan membawa perkara tersebut ke pengadilan, dengan hasil pelaku mendapat hukuman lebih berat. Sementara keluarga korban membawa masalah ini ke parlemen sebagai pengingat dan penghormatan terhadap korban. Perjuangan keluarga berbuah manis. Parlemen dan Gubernur Florida menyetujui rancangan Carl’s Law.
Kutipan dari berbagai sumber pemberitaan terkait kasus tersebut, pada dasarnya Carl’s Law adalah ‘a law that increase the penalties for crimes whose victims have disabilities’. Atau ‘people who commit crimes against people with disabilities will face stiffer penalties in Florida’. Intinya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat kepada pelaku yang melakukan kejahatan terhadap individu difabel atau orang dengan kedifabelan.
Beberapa hal yang dapat memberatkan hukuman di Indonesia
(1) Tindak pidana berulang oleh pelaku yang sama atau residivis. (2) Cara sadis melakukan tindak pidana. (3) Pencurian yang dilakukan pada malam hari. (4) Korupsi dalam keadaan bencana.
Para penyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah mencantumkan pedoman pemidanaan, sehingga memudahkan hakim menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan.
Pasal 55 RUU KUHP menyebutkan bahwa hakim wajib mempertimbangkan: (a) Kesalahan pembuat tindak pidana. (b) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana. (c) Sikap batin pembuat tindak pidana. (d) Tindak pidana yang dilakukan direncanakan atau tidak direncanakan. (e) Cara melakukan tindak pidana. (f) Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana. (g) Riwayat hidup, keadaan social dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana. (h) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana. (i) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. (j) Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya. (k) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Buntunya gagasan Carl’s Law masuk dalam kebijakan hukum yang mengatur hak difabel
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebenarnya mengatur masalah keadilan dan perlindungan hukum terhadap difabel. Meski gagasan Carl’s Law masih buntu masuk di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (antara lain PP No. 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas), vonis hukuman berat pernah terjadi dalam pengadilan di Indonesia.
Purwanti, Manager Program dan Advokasi Sigab Indonesia, menjelaskan sebenarnya pengadilan di Indonesia sudah pernah menjatuhkan vonis berat kepada pelaku. Bukan saja dihukum penjara belasan tahun, tetapi juga kewajiban restitusi. Ia juga menambahkan, pelaku ada yang dihukum 20 tahun karena melakukan tiga kejahatan sekaligus (pembunuhan, perampokan, dan pemerkosaan) terhadap korban difabel.
Pada Maret 2010, Pengadilan Militer Semarang pernah menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada seorang prajurit ditambah hukuman dipecat dari dinas militer karena terdakwa terbukti memperkosa anak difabel. Vonis yang dijatuhkan hakim jauh lebih berat dibandingkan tuntutan oditur militer, yang hanya menuntut terdakwa satu tahun penjara.
Pada Juni 2013, Pengadilan Negeri Sukoharjo pernah menjatuhkan vonis 8,5 tahun penjara kepada seorang guru SMA Luar Biasa yang melakukan pencabulan terhadap muridnya yang tunarungu dan tunawicara.
Fajri Nursyamsi, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia yang juga anggota tim advokasi RUU Penyandang Disabilitas, sepakat jika kejahatan terhadap korban difabel dijadikan sebagai dasar pemberat hukuman.
“Sepakat. Seharusnya bisa menjadi dasar pemberat hukuman via putusan hakim,” ujarnya.
Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk masyarakat difabel meliputi: (1) Perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) Diakui sebagai subjek hukum. (3) Memiliki dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak. (4) Mengendalikan masalah keuangan atau menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya dalam urusan keuangan. (5) Berhak memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan non-perbankan. (6) Memperoleh penyediaan aksebilitas dalam pelayanan peradilan. (7) Perlindungan hak kekayaan intelektual. (8) Perlindungan dari segala tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan/atau perampasan pengambilalihan hak milik.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief