Views: 16
Solidernews.com – Pendidikan inklusi saat ini menjadi sorotan utama sebagai tindakan menghadirkan lingkungan pendidikan yang lebih mengedepankan keberagaman. Namun, masih terdapat tantangan besar yang perlu dihadapi, terutama dalam mengubah stigma masyarakat terhadap difabel. Situasi di mana banyak orang memiliki persepsi bahwa difabel dapat menular telah menciptakan stigma di masyarakat, menghambat terbentuknya lingkungan inklusi yang seharusnya mendukung perkembangan semua individu, tanpa memandang perbedaan (Ita, 2019).
Pendidikan inklusi ini dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menghargai perbedaan (Taufan & Mazhud, 2016). Pendidikan inklusi memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah dapat membantu mengurangi stigma terhadap difabel.
Stigma merupakan pandangan negatif yang melekat pada seseorang atau kelompok tertentu. Stigma ini dapat menyebabkan diskriminasi dan marginalisasi terhadap difabel (Putra dkk., 2021). Stigma terhadap difabel masih cukup tinggi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pandangan negatif terhadap difabel.
Dampak diskriminasi masih sangat terasa. Karena di negara Indonesia sendiri masih mengedepankan sudut pandang tradisional. Contohnya di lingkungan perguruan tinggi dilansir pada pshk.or.id, diketahui bahwa angka partisipasi difabel semakin merosot. Hal ini terjadi tidak hanya terkait dengan masalah finansial atau penyesuaian lingkungan, tetapi juga mencakup perlakuan diskriminatif yang berasal dari lembaga pendidikan itu sendiri. Karena hal inilah menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak
Difabel menghentikan pendidikan mereka. Meskipun beberapa dari mereka tetap melanjutkan sekolah, hal itu sebenarnya mencerminkan keberanian yang tinggi. Namun, sayangnya, ada pula yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena kurangnya keberanian.
Pertanyaan “Pendidikan inklusi untuk siapa?” mencerminkan esensi dari prinsip inklusi dalam konteks pendidikan. Khaerunnisa (2023) Pendidikan inklusi dirancang untuk semua individu, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau karakteristik khusus. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung keberagaman dan memberikan akses yang setara kepada semua peserta didik, termasuk mereka difabel atau kebutuhan pendidikan khusus (Jauhari, 2017). Pendidikan inklusi ini untuk semua orang, tanpa terkecuali. Ini mencakup semua siswa, termasuk mereka yang mungkin memiliki kebutuhan pendidikan khusus, sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan setiap individu.
Pemahaman mengenai pendidikan inklusi secara menyeluruh dan tidak pandang bulu ini diharapkan akan menanamkan kepribadian yang lebih peka dan peduli dengan difabel tanpa perlu ada rasa terpaksa untuk mendampingi dan menemaninya. Pendekatan rekan sebaya pun akan terwujud dimana nantinya hal ini akan mewujudkan lingkungan yang inklusi yaitu tempat bagi setiap individu diterima tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau karakteristik khususnya, dapat merasa diterima, dihargai, dan didukung.
Pendekatan rekan sebaya adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi stigma terhadap difabel. Pendekatan ini melibatkan peran teman sebaya dari peserta didik berkebutuhan khusus untuk memberikan edukasi dan dukungan kepada teman-temannya yang lain (Saputri dkk., 2019). Dukungan dari rekan sebaya juga dapat memberikan dukungan pada pendidikan inklusif, seperti meningkatkan penerimaan terhadap keberagaman, kemampuan berkomunikasi, keterampilan sosial,
dan juga membantu siswa Tuli untuk menyesuaikan diri (Bond & Castagnera, 2006). Menurut hasil penelitian oleh Dennis dan rekan-rekan (2005), teman sebaya dapat menjadi prediktor yang kuat dalam penyesuaian sosial mahasiswa dibandingkan dengan dukungan yang diterima dari keluarga. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dari teman sebaya memiliki dampak yang signifikan pada kemampuan penyesuaian diri siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan dkk. (2014) juga memiliki kesimpulan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan sosial dari teman sebaya dan tingkat penyesuaian diri siswa Tuli di sekolah inklusif. Hubungan antara kedua variabel ini bersifat positif, yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan oleh teman sebaya, semakin tinggi juga tingkat penyesuaian diri siswa Tuli di lingkungan sekolah inklusif.
Dapat disimpulkan bahwa upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan perubahan stigma masyarakat terhadap individu difabel. Meskipun pendidikan inklusi menawarkan solusi untuk merangkul keberagaman dan memberikan akses setara bagi semua peserta didik, stigma yang melekat masih menjadi hambatan utama. Pendekatan rekan sebaya membuktikan menjadi strategi yang efektif dalam mengatasi stigma terhadap difabel. Dukungan sosial dari teman sebaya memiliki dampak positif yang signifikan pada penyesuaian diri siswa. Pendekatan ini bukan hanya menciptakan lingkungan yang inklusif di sekolah, tetapi juga membawa perubahan sikap dan persepsi terhadap difabel di masyarakat. Dengan menghilangkan stigma, menggunakan pendekatan inklusif, dan menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusi, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, menghormati keberagaman, dan memberikan setiap individu kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi secara maksimal.[]
Penulis: Ni Made Lisa Andriani
Editor : Ajiwan Arief
Penuliw adalah Juara 1 pada Lomba Menulis Artikel dalam rangka Hari Ulang Tahun Sigab Indonesia ke – 21 Tahun
REFERENSI
Bond, R., & Castagnera, E. (2006). Peer support and inclusive education: an underutilized resource. Theory intoPractice , 45 (3), 224-229.
Dennis, J. M., Phinney, J. S., & Chauteco, L. I. (2005). The role of motivation, prental support, and peer pupportinacademic successof ethnic minority firstgenerationcollege students. Journal of College Student Development (3), 223-236.
Hasan, S. A., Handayani, M. M., & Psych, M. (2014). Hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri siswa tunarungu di sekolah inklusi. Jurnal Psikologi pendidikan dan perkembangan, 3(2), 128-135.
Ita, E. (2019). Konsep Sistem Layanan Penyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Pendidikan Inklusif. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti, 6(2), 186-195.
Jauhari, A. (2017). Pendidikan inklusi sebagai alternatif solusi mengatasi permasalahan sosial anak penyandang disabilitas. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1).
Khaerunisa, H. (2023). Pembelajaran Inklusif: Membangun Kesetaraan di Dalam Kelas pada Masa Pencabutan PPKM. Karimah Tauhid, 2(5), 2234-2244.
Penyandang disabilitas Masih Dilihat Sebagai beban. pshk.or.id. (2019, March 4). https://pshk.or.id/berita/penyandang-disabilitas-masih- dilihat-sebagai-beban/
Putra, R. S., Marpaung, Y. N. M., Pradhana, Y., & Rimbananto, M. R. (2021). Pesan Kesetaraan Penyandang Disabilitas Melalui Interaksi Simbolik Media Sosial. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 10(1), 1- 11.
Saputri, A. E., Raharjo, S. T., & Apsari, N. C. (2019). Dukungan Sosial Keluarga Bagi Orang Dengan Disabilitas Sensorik. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 62.
Taufan, J., & Mazhud, F. (2016). Kebijakan-kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Jurnal penelitian pendidikan, 14(1).
Wadmira, W., & Ainun. (2022, August 1). Jenjang Karir Bagi penyandang disabilitas Dan Oypmk. Kisah Kepompong.