Views: 5
Solidernews.com – Setelah rentetan panjang kampanye dan pemungutan suara, pemilu telah berakhir. Namun, apa yang tersisa bukanlah hanya hasil hitungan suara, melainkan juga keterbelahan yang terasa begitu mendalam.
Namun, keterbelahan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh teman-teman difabel. Bagi mereka, keterbelahan bukanlah sekadar narasi, melainkan realitas yang nyata. Dalam konteks ini, perpecahan menjadi lebih dari sekadar perbedaan politik; itu menjadi bagian dari dinamika hidup sehari-hari bagi sebagian dari kita.
Namun, di tengah-tengah semua ini, satu hal yang jelas: keterbelahan ini tidak boleh berlangsung lama. Saatnya bagi kita untuk kembali merangkul satu sama lain, meleburkan perbedaan, dan memprioritaskan politik kebangsaan di atas segalanya. Politik praktis mungkin telah berakhir dengan pemilu, tetapi politik kebangsaan harus tetap terus terawat.
Dalam menanggapi keterbelahan ini, kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun kembali jembatan persaudaraan yang mungkin terasa rapuh akibat pertarungan politik yang sengit. Kita harus ingat bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada perbedaan politik, yaitu kesatuan dan kebersamaan sebagai sebuah bangsa.
Pemilu telah berlalu, namun cerita keterbelahan yang dihasilkannya masih terus berlanjut. Tantangan ke depan adalah bagaimana kita semua, tanpa memandang perbedaan, dapat bersatu kembali untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini.
Persatuan Paling Utama, dari Sekedar Politik Praktis
Hendradi, aktivis difabel dari Jogja, menghadirkan perspektif yang tajam terkait dinamika politik dikalangan difabel.
“Kontestasi pilpres sudah berlangsung, dan kita semua merasakan tensi yang ada di kalangan difabel,” ujar Hendra, sapaan akrabnya. “Ada yang mendukung kandidat 01, 02, bahkan 03. Namun, dalam situasi tegang seperti ini, apakah kita perlu kembali saling menjaga?” tambahnya.
Menurut Henradi, penting bagi kita untuk bersama-sama melakukan edukasi politik. “Ini adalah bagian dari demokrasi yang kita anut. Siapa pun yang menang, kita harus menghormatinya. Kita harus dewasa dalam menjaga persatuan,” paparnya.
Terkait fenomena dukungan yang terbagi, Hendra menegaskan bahwa keterbelahan adalah hal yang wajar dalam masyarakat. “Semua orang memiliki pilihan, dan ini merupakan proses pendewasaan politik,” ungkapnya.
Namun, di tengah dinamika politik yang tegang, sinisme masih menjadi ancaman yang perlu diatasi. “Kita perlu melakukan konsolidasi,” tegas Hendradi. “Praktik demokrasi harus kita kawal, mengingat kelompok difabel masih merupakan kelompok rentan. Kita perlu kembali kepada fitrah persatuan, mengawal isu-isu yang muncul, dan menurunkan tensi politik,” lanjutnya.
Hendradi juga membahas masa depan politik difabel dengan penuh semangat. “Partisipasi difabel dalam politik bukan lagi sekadar sebuah harapan, melainkan sebuah kebutuhan,” katanya. “Mereka bukan hanya menjadi penonton, tetapi aktor yang turut serta dalam membentuk masa depan bangsa,” tambahnya.
Dia menekankan bahwa kesadaran politik difabel semakin meningkat, tetapi tantangan apatis dan marginalisasi masih perlu dihadapi. “Kita harus terus menggulirkan wacana-wacana yang membangkitkan kesadaran politik di kalangan difabel, sehingga mereka semakin terlibat dan memiliki peran yang signifikan dalam politik,” pungkasnya.
Dengan semangat untuk menjaga persatuan dan melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk difabel, dalam proses politik, harapan untuk membangun demokrasi yang inklusif semakin nyata.[]
Reporter: Hasan
Editor : Ajiwan