Views: 11
Solidernews.com – Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) harus terus disosialisasikan kepada organisasi-organisasi difabel, lembaga penyedia layanan, pemerintah daerah, jaringan perempuan, aparat penegak hukum, bahkan pada civitas akademika perguruan tinggi. Harapannya mereka dapat memahami perannya dan ikut terus mengawal implementasinya di lapangan.
Telah lebih dari satu tahun kebijakan ini diterbitkan, implementasi UU TPKS masih menyisakan banyak catatan, termasuk penanganan kasus kekerasan seksual pada korban difabel.
Nurul Sa’adah Andriani, Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) menyampaikan, berbagai catatan di dalam pemenuhan hak korban kekerasan seksual, termasuk korban difabel, menegaskan kepada kita untuk bersama mengambil peran dalam mengawal implementasi dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sesuai dengan mandat Pasal 85 UU TPKS.
“Masyarakat harus berpartisipasi melakukan pemantauan terhadap pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual,” ungkapnya.
Mandat UU TPKS yang belum sepenuhnya diimplementasikan adalah pemenuhan hak terhadap akomodasi yang layak sesuai dengan Pasal 66 dan 70 UU TPKS, difabel korban kekerasan seksual berhak mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, termasuk penilaian personal, dalam proses peradilan.
Akomodasi yang layak bagi difabel dalam proses peradilan sebelumnya juga telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. Pemenuhan akomodasi yang layak akan berjalan baik jika lembaga penyedia layanan dan aparat penegak hukum menuangkan aturan ini di dalam regulasi internal dan kebijakan alokasi anggaran, yang ternyata hingga saat ini belum tersedia secara merata.
Selain itu, pemberatan hukuman bagi pelaku. Pasal 15 UU TPKS memandatkan bahwa hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual ditambahkan satu per tiga ketika korbannya adalah difabel.
Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan fenomena kekerasan seksual adalah fenomena gunung es yang bisa terjadi dimanapun, kapanpun, dan dialami oleh siapapun, sehingga perlu dipastikan berbagai regulasi yang membuka ruang sinergitas penanganan kekerasan, seperti UU TPKS, terus diimplementasikan.
“Kolaborasi, multi pihak antar kementerian lembaga, perguruan tinggi, dunia usaha, media massa, tentunya menjadi pilar dalam keberhasilannya,” ungkap ia.
Perspektif mengenai situasi kerentanan dan kebutuhan khusus bagi difabel juga masih perlu ditingkatkan. Adanya perspektif ini akan sangat membantu proses pemeriksaan.
Mandat lain di dalam Pasal 30 UU TPKS terhadap pemenuhan hak restitusi (ganti kerugian materiil dan imateriil oleh pelaku). Kebanyakan pelaku dalam kondisi miskin dan tidak mampu memenuhi kewajiban restitusi, sehingga dibutuhkan mekanisme yang bisa menggantikan pembayaran restitusi terhutang.
Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban, salah satu aturan turunan pelaksana dari UU TPKS yang mampu mengakomodir kebutuhan tersebut, perlu dipercepat proses penyusunannya.
Suharti, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, menerangkan, korban kekerasan seksual memiliki tiga kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi, yakni dukungan medis, hukum, dan psikologis. Namun yang tak kalah penting adalah dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, untuk membantu korban pulih dari kekerasan.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah didesain berpihak pada hak korban, termasuk pada korban difabel. Sudah menjadi tugas bersama agar setiap mandat di dalamnya terimplementasikan dengan baik, dalam rangka mendorong akselerasi pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual berbasis pemenuhan hak-hak korban.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief