Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Mengapa Penting Difabel Turut dalam Gerakan Tolak Revisi UU Pilkada

Views: 34

solidernews.com – Pada 29 Mei 2024, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) Ahmad Ridha Sabana untuk menambah tafsir soal syarat usia calon kepala daerah. Dengan demikian, aturan batas minimal usia calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun.

 

Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputuskan oleh Majelis Hakim pada Rabu, 29 Mei 2024. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Yulius, serta dua anggotanya, Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.

 

Dikutip dari Hukumonline, MA berpandangan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

 

Putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024 atas uji materil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas PKPU No.3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota mendapat kritik dari pakar hukum tata negara (HTN).

 

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai penalaran hukum majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak wajar. Putusan itu intinya mengubah syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan wakil Gubernur dan 25 tahun untuk calon Bupati dan calon Wakil Bupati, calon Walikota dan calon Wakil Walikota sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU 9/2020 yang sebelumnya terhitung sejak penetapan pasangan calon dan sekarang sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

 

Bivitri,akademisi,  berpendapat majelis hakim MA yang memeriksa perkara harus mengecek ketentuan di atasnya yang memandatkan lahirnya aturan tersebut yakni Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Pilkada).

 

Pasal 7 ayat(2) huruf e UU 10/2016 mengatur syarat usia minimal 30 tahun untuk calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, calon walikota dan calon wakil walikota. Untuk kebutuhan operasional, Peraturan KPU 9/2020 mengatur syarat usia itu dihitung sejak penetapan sebagai pasangan calon. Menurut Bivitri, penalaran hukum hakim MA yang mengubah penghitungan syarat usia kepala daerah sejak pelantikan pasangan calon sangat tidak wajar.

 

Putusan MK  

Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024. Sidang pertama pengujian materiil UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dilakukan pada tanggal 11 Juli 2024. Partai Buruh yang didirikan pada Oktober 2021 dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang  didirikan pada Oktober 2019 dan diketuai mantan presiden PKS Anis Matta, keduanya  tidak mempunyai kursi di DPRD Jakarta.

 

Di tingkat nasional pun kedua partai sama-sama tidak memperoleh kursi dari total 580 kursi. Partai Buruh memperoleh 972.910 kursi atau 0.64%, sementara Partai Gelora 1.281.991 atau 0.84%. Kepada MK, kedua partai menyatakan berhak mencalonkan kepala daerah baik secara individual maupun bergabung ke parpol lain karena telah memperoleh suara sah dalam Pemilu DPRD Tahun 2024.

 

Kuasa Hukum Said Salahudin mengatakan ketentuan UU Pilkada tentang ambang batas membuat kedua partai “kehilangan hak konstitusional dan kesempatan yang sama untuk mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah”.

 

Kapan putusan MK dikeluarkan dan bagaimana bunyi putusan? Putusan MK keluar pada Selasa (20/08).

 

Seperti dikutip laman resmi MK, Ketua MK Suhartoyo dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyebut rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau koalisi untuk dapat mengajukan calon kepala daerah. Amar putusan yang mengubah Isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang diubah MK itu adalah Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan yaitu:

 

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

 

  1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut.

 

  1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut.

 

  1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

 

  1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut

 

Bagi Jakarta, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah warganya mencapai 10,68 juta jiwa, parpol atau koalisi parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5%.

 

Dengan demikian, selanjutnya  terbuka lebar kesempatan sebesar-besarnya bagi partai-partai untuk mengajukan calon nominasi mereka. PDIP, misalnya, sebagai partai yang tidak tergabung dalam KIM Plus, bahkan bisa mengajukan calon sendiri karena persentase suara sahnya 14.01% pada pemilu DPRD 2024. Hanya  seorang  hakim konstitusi  yakni M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion.

 

Putusan Kedua MK

Putusan MK lainnya soal batas umur calon kepala daerah.  MK juga menegaskan aturan batas usia untuk calon kepala daerah dalam Pilkada.

 

Dilansir Antara, Mahkamah menekankan syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon peserta Pilkada oleh KPU dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada Selasa (20/08).

 

Dilansir Tempo, putusan MK menutup jalan putra bungsu Presiden  Joko Widodo , Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada 2024. Sebelumnya, dia disebut-sebut akan maju dalam Pilkada Jawa Tengah.

 

Tapi Jangan Senang Dulu, Ada Perilaku “pembangkangan” Baleg

Namun sehari sesudahnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai “angin segar” bagi demokrasi “dibegal” melalui persetujuan revisi Undang-Undang Pilkada yang berlangsung kilat di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kata pengamat pemilu.

 

Delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat untuk hanya menerapkan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah pada rancangan perubahan Undang-undang Pilkada, Rabu (21/08).

 

Keputusan yang diambil dalam rapat kerja  di Badan Legislasi DPR pada Rabu (21/08) itu dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” yang akan menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam pilkada 2024.

 

RUU Pilkada yang telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah pada Rabu sore hanya dalam kurun waktu tujuh  jam, rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (22/08).

 

“Langkah-langkah DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi putusan MK tentu saja bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi,” kata dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

 

Kalau revisi UU itu disahkan, maka peta pencalonan Pilkada akan kembali dikondisikan sesuai kepentingan para elite yang bersatu di dalam koalisi gemuk, kata pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor.

 

Partai-partai di parlemen yang dikucilkan dari koalisi seperti PDI-Perjuangan terancam tidak bisa mengusung calon mereka sendiri. Ini setidaknya terjadi di DKI Jakarta. Sebaliknya, revisi UU Pilkada soal batas usia akan membuka kembali peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri.

 

Salah satu kesepakatan Baleg menyebut ambang batas parlemen dalam pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Artinya, partai dalam kategori ini dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan syarat yang tidak berkaitan dengan jumlah kursi mereka di DPRD. Ketentuan ini serupa dengan putusan MK yang diambil satu hari sebelumnya.

 

Meski begitu, Baleg tidak memasukkan dua putusan MK lain dalam RUU Pilkada. Konsekuensinya, partai maupun koalisi partai yang memiliki kursi di DPRD harus memiliki setidaknya 20% kursi di dewan legislatif daerah atau 25% akumulasi suara di daerah tersebut untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.

 

Kedua, dalam rancangan perubahan UU Pilkada, batas usia paling rendah untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan. Sementara batas usia terendah kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah 25 tahun pada saat pelantikan. Syarat batas usia itu tidak sesuai dengan putusan MK. Sebaliknya, seluruh fraksi, kecuali PDIP, sepakat mengacu pada putusan Mahkamah Agung.

 

Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai DPR memilih putusan MK yang menguntungkan kepentingan tertentu.

 

“DPR jelas melakukan cherry picking (kesesatan bukti tak lengkap/pilih-pilih kasus,red)” ungkap Charles.

 

“DPR mengakui putusan MK jika itu menguntungkan mereka, dan pada titik lain tidak mengakui putusan MK lainnya yang merugikan mereka. Ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK,” imbuh Charles seperti dikutip BBC News.

 

 

Usai Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada dibahas di Badan Legislasi Nasional (Balegnas) pada Rabu (21/8), maka masyarakat tak tinggal diam. Sejak Kamis (22/8) pagi, para peserta aksi demo mereka terdiri para guru besar, juga mahasiswa memadati gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Selain  mahasiswa, masyarakat, Serikat buruh dari  berbagai organisasi  menggelar  aksi tolak Revisi Undang-undang (UU) Pilkada yang juga diramaikan oleh para komika Indonesia. Aksi bahkan menyebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia dan terjadi hingga tanggal 24/8.

 

 

 

 Apa Relevansinya dengan Isu Difabilitas?

Para pegiat isu difabilitas pasti sudah hafal, saking seringnya meneriakkan soal batas usia pencari kerja untuk difabel. Termasuk yang paling baru adalah peraturan syarat mendaftar PNS yang harus berumur 18-35 tahun. Ini  sangat diskriminatif lho. Mengapa aturan umur ini juga disamakan sebagai ketentuan umum?

 

Padahal kita sadari bersama, untuk mengakses  pendidikan saja saat ini difabel  masih susah. Mereka bahkan baru menginjakkan kaki di dunia perkuliahan di usia yang tidak muda lagi. Iya, benar, kita sudah punya Undang-undang nomor 8 tahun 2016. Tapi apa benar, sudah diimplementasikan dengan baik? Terus, kalaulah misalnya terimplementasi di sektor pendidikan sehingga inklusif. Apa iya, ia benar-benar inklusif? Belum lagi misalnya syarat umur (fisik) itu diberlakukan  bagi difabel mental intelektual? ya jelas tidak masuk. Karena  bagi difabel mental intelektual. Usia mereka ada di dua hitungan yakni fisik dan mental.

 

Terus mengapa Difabel harus kritis untuk soal revisi Pilkada ini? Ya karena sangat berkaitan akan harkat hidup bagi difabel. Coba bayangkan jika penguasa negeri ini adalah seseorang yang dengan sengaja bisa mengatur lembaga hukum seenaknya sendiri. Atau coba tanyakan nalarnya bagaimana, anggota DPR yang notabene katanya bekerja untuk rakyat tapi malah menguntungkan penguasa. Untuk urusan Pilkada mereka sangat gerak cepat (gercep) tapi untuk urusan undang-undang lainnya mereka tahan-tahan.

 

Bayangkan saja, Rancangan  Undang-undang perampasan aset sudah 16 tahun mendekam tanpa kabar. Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat 21 tahun tiarap. Apalagi yang publik tunggu dan memanas dalam setahun ini yakni RUU Perlindungan. Pekerja Rumah Tangga. Kapan ketiganya disahkan menjadi Undang-undang?

 

 

Terakhir, penulis ingin mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Marthella Sirait, Founder Konekin di story media sosial Facebook-nya,  “Delapan tahun UU Disabilitas eksis, salah satu kendala yang masih sering dirasakan oleh pencari kerja disabilitas adalah perihal batas usia. Banyak yang baru bisa menamatkan kuliah di usia tua karena harus kerja serabutan mengumpulkan uang dulu buat bisa kuliah. Makanya saya geram ketika konstitusi diobrak-abrik demi merevisi batas usia. Ribuan penyandang disabilitas jadi pengangguran karena terbentur batas usia, berjuang supaya bisa hidup cukup.

 

Empati adalah skill terpenting yang perlu dimiliki oleh seseorang berkecimpung di kebijakan sosial. Karena bagaimana ia bisa membuat kebijakan tepat sasaran tanpa “deep concern” dan “desire to help”? Sayang sekali di tengah carut-marut negeri, ada yang memilih mempertontonkan kemewahan yang didapat dari oligarki. Apa yang mau diceritakan ke anak kita kelak soal keadilan sosial di negeri ini?”[]

 

Reporter: Astuti

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air