Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Mengangkat Suara, Perlindungan Perempuan Difabel di Hari Melawan Eksploitasi Seksual Sedunia

Views: 43

Solidernews.com – Kekerasan seksual bukanlah sekadar masalah, melainkan kompleksitas yang merajalela dan merenggut kehormatan serta hak asasi manusia. Di Indonesia, negara yang masih berjuang melawan pelanggaran HAM, kekerasan seksual terutama menimpa perempuan. Namun, yang seringkali terlupakan adalah perempuan difabel, yang tidak hanya berjuang melawan kekerasan, tetapi juga diskriminasi yang meresap dalam setiap aspek kehidupan mereka.

 

Dalam rangka Hari Melawan Eksploitasi Seksual Seduania pada tanggal 4 Maret, kita harus mengakui bahwa kekerasan seksualitas terhadap  difabel masih menjadi kenyataan yang mengkhawatirkan. Meskipun telah ada peningkatan kesadaran, masih terdapat kasus-kasus yang menunjukkan perlunya langkah-langkah lebih lanjut untuk melindungi mereka dari eksploitasi seksual. Bagaimana kita dapat bersama-sama mengatasi tantangan ini dan memastikan keamanan dan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan difabel?

 

Perempuan difabel terus menerima perlakuan diskriminatif, baik secara sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, maupun pelayanan medis. Mereka berada dalam posisi yang rentan, terpinggirkan, dan sering kali dianggap tidak memiliki nilai atau kontribusi yang berarti dalam masyarakat. Kondisi ini semakin diperparah oleh pandangan patriarki yang memposisikan perempuan sebagai objek yang lemah dan mudah dieksploitasi.

 

Indonesia, meskipun telah mengakui pentingnya memperjuangkan hak-hak difabel, masih jauh dari memberikan perlindungan yang memadai bagi perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual. Keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, keadilan, dan dukungan psikososial menambah beban yang mereka pikul. Perlindungan hukum dan tindakan konkret untuk memperkuat keselamatan dan hak-hak mereka masih sangat minim.

 

Maka, tantangan yang dihadapi perempuan difabel bukanlah sekadar akibat dari kondisi fisik atau mental mereka, melainkan juga dampak dari sistem yang tidak inklusif dan kurangnya kesadaran akan hak-hak mereka. Penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersatu dalam memperjuangkan perlindungan dan dukungan yang lebih baik bagi perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual. Hanya dengan langkah-langkah konkret dan komitmen nyata, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua perempuan, tanpa terkecuali.

 

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kekerasan seksual bukanlah fenomena tunggal, melainkan kisah yang terurai dalam lima belas babak pahit. Dari serangan langsung hingga penindasan terselubung, setiap bentuk kekerasan menorehkan luka yang dalam, merobek harga diri dan hak asasi manusia.

 

Pemerkosaan, intimidasi, pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia, pemaksaan prostitusi, hingga perbudakan seks—setiap istilah merangkum tragedi yang dirasakan oleh korban, terutama perempuan. Di balik setiap kata, tersimpan kisah pilu yang mengungkapkan kekerasan tidak hanya sebagai tindakan fisik, tetapi juga serangan terhadap martabat dan kebebasan individu.

 

Kelompok rentan dalam masyarakat, termasuk perempuan  difabel  , terjebak dalam pusaran kerentanan yang lebih rumit. Mereka tidak hanya berjuang melawan hambatan fisik atau mental, tetapi juga melawan ketidakadilan sosial yang merenggut akses mereka terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

 

Dalam kerangka regulasi, Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 yang dipadukan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, menggarisbawahi kerentanan perempuan dan anak difabel terhadap segala bentuk diskriminasi dan pelecehan seksual. Hambatan fisik, intelektual, mental, dan sensorik menjadi pintu terbuka bagi pelaku kekerasan untuk menyalahgunakan kekuasaan dan merampas kebebasan individu yang sudah terkekang oleh kondisi yang tak terelakkan.

 

Dalam pandangan yang lebih luas, kesadaran akan kompleksitas   kekerasan seksual menjadi panggilan untuk bersatu melawan setiap bentuk penindasan. Hanya dengan memahami anatomi kekerasan seksual dalam semua warna dan dimensi, kita dapat merangkul perjuangan bersama dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan tanpa kekerasan bagi semua individu, tanpa terkecuali.

 

Menurut data dari Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), periode sepuluh tahun terakhir menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2021 tercatat sebagai tahun puncak dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) mencapai 338.496 kasus, meningkat 50% dari tahun sebelumnya yang hanya mencatat 215.694 kasus pada tahun 2020.

 

Tidak terkecuali, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel juga menjadi sorotan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sejak tahun 2017. Dari tahun ke tahun, angka tersebut terus menunjukkan peningkatan yang mencemaskan. Pada tahun 2017 hingga 2021, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel tercatat sebagai berikut: 57 kasus (2017), 57 kasus (2018), 69 kasus (2019), 87 kasus (2020), dan 77 kasus (2021). Data terbaru dari Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 mencatat 79 kasus kekerasan terhadap perempuan difabel selama tahun 2022, dengan 7 di antaranya dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.

 

Namun, penting untuk diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan belum mencerminkan sepenuhnya realitas kekerasan seksual yang terjadi. Banyak kasus yang tidak terlapor. Melalui data ini, tergambar dengan jelas bahwa setiap tahunnya, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk perempuan difabel, terus mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Hal ini menandakan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama mereka yang berada dalam posisi yang lebih rentan.

 

Diskriminasi di Dunia Hukum Masih Menerpa  Difabel

Dalam sebuah riset yang dirilis oleh Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) DIY, terungkap bahwa pada tahun 2016, 84,5% kasus kekerasan terhadap perempuan difabel tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Kondisi ini menjadi sorotan serius karena dampaknya yang meluas, menghambat akses perempuan difabel terhadap layanan dukungan keselamatan, kesehatan, dan psikologis. Faktanya, akses mereka terhadap layanan hukum masih sangat terbatas, menjadikan perlindungan hukum semakin rapuh bagi mereka yang seharusnya dilindungi.

 

Perlu disadari bahwa kekerasan seksual terhadap   difabel tidak memandang gender. Baik laki-laki maupun perempuan difabel rentan menjadi korban. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa difabel menunjukkan betapa urgensinya peran semua pihak dalam memerangi kekerasan seksual terhadap teman-teman difabel.

 

Kekerasan seksual bukanlah sekadar masalah, melainkan kompleksitas yang merajalela dan merenggut kehormatan serta hak asasi manusia. Di Indonesia, perempuan difabel menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual dan sering kali diabaikan dalam upaya perlindungan dan penanganannya. Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur perlindungan bagi perempuan difabel, namun keterbatasan akses terhadap layanan hukum dan dukungan membuat perlindungan mereka menjadi rapuh.

 

Dalam konteks ini, harapan timbul atas kesadaran dan tindakan konkret dari pemerintah dan masyarakat untuk memperjuangkan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual. Hanya melalui kolaborasi dan komitmen nyata, lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua individu, tanpa terkecuali, dapat terwujud.[]

 

Penulis    : Hasan

Editor      : Ajiwan

 

 

Sumber:

  1. Kompas.id. (2023, 22 Februari). “Penyandang Disabilitas di Cirebon Kembali Menjadi Korban Kekerasan Seksual”. Diakses dari: [https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/22/penyandang-disabilitas-di-cirebon-kembali-menjadi-korban-kekerasan-seksual](https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/22/penyandang-disabilitas-di-cirebon-kembali-menjadi-korban-kekerasan-seksual)

 

  1. Kompas.id. (2023, 24 Februari). “Bekas Guru SLB di Cirebon Diduga Cabuli Penyandang Disabilitas”. Diakses dari: [https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/24/bekas-guru-slb-di-cirebon-diduga-cabuli-penyandang-disabilitas](https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/24/bekas-guru-slb-di-cirebon-diduga-cabuli-penyandang-disabilitas)

 

  1. Komnas Perempuan. (2023). “Siaran Pers Komnas Perempuan Tentang Hari Disabilitas Internasional 2023”. Diakses dari: [https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-hari-disabilitas-internasional-2023](https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-hari-disabilitas-internasional-2023)

 

  1. Azhar, J.K., Hidayat, E.N., & Raharjo, S.T. (Tahun tidak disebutkan). “Kekerasan Seksual: Perempuan Disabilitas Rentan Menjadi Korban.”

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content