Views: 20
Solidernews.com – Media online telah menjadi sahabat setia kita dalam menjalani keseharian. Dengan sekali sentuhan jari, kita bisa menjelajahi realitas yang tak terbatas, menyerap peristiwa dari ujung dunia hingga ke sudut tersembunyi. Era digital ini memunculkan media massa online sebagai pahlawan interaktif, menjawab dahaga masyarakat akan informasi dengan sekali klik. Namun, di balik gemerlapnya headline, tersembunyi isu-isu yang terpinggirkan, salah satunya adalah bagaimana media menangani liputan terhadap teman-teman difabel.
Disini kita bicara tentang diskriminasi yang mengintai dalam representasi teman-teman difabel di media online. Mereka tak hanya ditinggalkan di pinggiran, tapi seolah dilupakan begitu saja. Dan perlahan tapi pasti, masyarakat kehilangan jejak tentang keberadaan mereka. Ketika isu ini terabaikan, kita semua kehilangan potongan puzzle penting dalam pemahaman kita akan keragaman manusia.
Di tengah keramaian jumlah penduduk yang melonjak, masyarakat difabel masih seringkali terabaikan di Nusantara tercinta ini. Bayangkan saja, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, ada sekitar 22 juta jiwa yang termasuk dalam kelompok ini. Angka yang bikin kita tercengang, bukan?
Namun ironisnya, perhatian terhadap mereka masih nyaris nol. Stigma dan stereotip ketinggalan zaman masih menghalangi mereka untuk ikut serta dalam dinamika sosial kita, termasuk dalam ranah digital yang semakin merajalela.
Lihat saja data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII): penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 78,19 persen pada tahun 2023, atau dalam angka kasar, 215 juta jiwa terhubung dengan jaringan dunia maya. Sementara menurut We Are Social, dari sekian banyaknya, sekitar 167 juta di antaranya aktif berselancar di media sosial.
Angka-angka ini bikin kita tercengang. Tapi, pertanyaannya, apakah semua orang, termasuk teman-teman difabel, bisa merasakan manisnya dunia digital ini? Belum tentu. Pasalnya, walau belum ada data yang pasti, masih banyak celah yang belum terisi, khususnya untuk mereka yang seringkali terpinggirkan di kehidupan sehari-hari. Itu artinya, masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan ruang digital ini betul-betul inklusif bagi semua orang.
Menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dari 2011 hingga 2016, hanya ada 89 berita yang menyoroti isu-isu seputar difabel. Angka ini memang belum diperbarui untuk data terbaru, tapi mari kita tengok sejenak angka-angka tersebut. Pada tahun 2011, hanya enam berita yang mengupas masalah ini. Jumlah ini meningkat sedikit di tahun-tahun berikutnya, namun tetap terlalu minim untuk mencerminkan realitas masyarakat kita.
Lalu, apa artinya angka 89 dalam lima tahun? Kalau kita hitung-hitung, itu hanya sekitar 17,8 berita per tahun atau kurang lebih 1,5 berita per bulan. Bayangkan, di tengah populasi difabel sebanyak 12,15 persen dari total penduduk saat itu, hanya mendapat sorotan sekecil itu dalam media. Sungguh sesuatu yang patut dipertanyakan.
Laporan dari Tim Riset LPEM FEB Universitas Indonesia bahkan menyebutkan bahwa jumlah kasyarakat difabel pada periode itu mencapai sekitar 12,15 persen. Dari jumlah tersebut, sekitar 10,29 persen masuk dalam kategori sedang dan 1,87 persen dalam kategori berat. Ini bukanlah angka yang kecil, bukan?
Sekarang, mari kita bandingkan dengan sorotan media. Hanya 89 berita dalam lima tahun terakhir. Jika kita masih mengacu pada pola yang sama, bisa jadi hari ini, pada tahun ini, situasinya tak jauh berbeda. Ini adalah isu serius. Media, sebagai sumber informasi utama dengan jangkauan yang luas, memiliki peran krusial dalam mengangkat dan mendorong kesadaran akan isu ini.
Saatnya kita memperbarui cara pandang dan pemberitaan tentang difabel. Dengan jumlah populasi yang signifikan dan minimnya perhatian media, inilah saatnya untuk bertindak serius. Isu difabel bukanlah sekadar topik sampingan yang bisa dilewatkan begitu saja. Mari kita bergerak bersama untuk memberikan suara bagi mereka yang seringkali terpinggirkan dalam sorotan media.
Dari sisi kebijakan, padahal sudah lengkap. Sudah ada UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bahkan sampai ke turunan terakhirnya, yakni Peraturan Pemerintah No 70 tahun 2019 yang mengatur tentang Rencana Induk Penyandang Disabilitas. Semuanya terlihat begitu terstruktur dan terperinci.
Namun, dalam realitasnya, keberadaan kebijakan itu belum cukup. Hak-hak teman-teman difabel perlu lebih dari sekadar tulisan di atas kertas. Kita butuh tindakan nyata yang bisa dirasakan langsung oleh mereka. Pelayanan yang lebih baik, praktik-praktik yang lebih inklusif, itulah yang benar-benar dibutuhkan.
Lalu, siapa yang seharusnya menjadi penggerak utama dalam hal ini? Gerakan harus datang dari masyarakat difabel itu sendiri. Kita perlu memberikan ruang yang lebih besar bagi mereka untuk memiliki suara dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Selama ini, terlalu banyak orang nondifabel yang mengatur segalanya tentang isu-isu difabel. Maka, saatnya bagi kita untuk memberikan podium yang pantas bagi teman-teman difabel untuk bersuara dan beraksi secara langsung, terutama di dunia digital.
Solider News, Perkasa Dalam Menyuarakan Isu-isu Difabel di Tengah Minimnya Pemberitaan Difabel di Media Arus Utama
Kebisingan informasi yang mengalir deras di jagat maya, suara difabel seringkali tersisihkan, terlupakan di antara sorakan-sorakan yang lain. Sungguh ironis, bahwa dalam era di mana segalanya terhubung, mereka yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus justru sering terpinggirkan.
Tak hanya masalah jumlah, tapi kualitas informasi tentang difabel juga jadi sorotan. Bayangkan betapa banyaknya informasi yang masih menggambarkan mereka sebagai objek kasihan, bukan subjek yang punya kekuatan dan keinginan sendiri. Framing yang kurang mendukung, serta sulitnya akses terhadap informasi yang relevan, semakin memperdalam jurang pemahaman dan penghargaan terhadap masyarakat difabel.
Di tengah arus informasi yang terus mengalir, kiprah difabel di dunia maya masih terasa seperti melawan arus. Perlunya ruang yang lebih inklusif, di mana suara mereka didengar, cerita-cerita mereka dihargai, dan informasi yang relevan tersedia dengan mudah bagi semua. Itu bukan hanya hak, tapi juga bentuk penghormatan terhadap keberagaman yang seharusnya merajai jagat maya yang kita ciptakan.
Dalam merespons kebutuhan dan aspirasi teman-teman difabel, sejumlah aktivis dari lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia merasa pentingnya mendirikan sebuah media alternatif. Media ini diharapkan dapat menjadi wadah yang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi, potensi, serta menyosialisasikan isu-isu penting yang berkaitan dengan difabel kepada masyarakat.
Pada awal tahun 2000-an, SIGAB Indonesia mendirikan sebuah media cetak yang diberi nama Solider, yang kemudian mengalami evolusi menjadi media online pada tahun 2012. Langkah ini sejalan dengan perkembangan zaman yang menyaksikan munculnya beragam media online, dan pergeseran minat pembaca dari media cetak ke media digital. Solider, sebagai nama portal berita online ini, terus berupaya secara konsisten menyuarakan isu-isu yang berkaitan dengan difabel. Dengan cara ini, Solider berharap dapat menjangkau lebih banyak pembaca serta lebih luas dalam menyuarakan aspirasi masyarakat difabel kepada berbagai pihak dan masyarakat secara keseluruhan.
Tak hanya mengandalkan website dan media sosial, Solider juga membangun jaringan platform lainnya untuk memberikan alternatif dan meningkatkan akses terhadap informasi. Dengan beragam bentuk konten, Solider bertujuan untuk menyampaikan pesannya dengan lebih efektif dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa platform yang dimiliki oleh Solidernews.com yang bisa diakses oleh pembaca.
Di balik media arus utama kadang-kadang terkesan acuh tak acuh terhadap isu-isu yang melibatkan difabel, Solider News berdiri kokoh sebagai penjaga suara mereka. Berbeda dengan media-media besar yang sering kali terjebak dalam kepentingan komersial, Solider News menegasikan dirinya sebagai platform yang tulus dan fokus pada menyuarakan kebutuhan dan aspirasi komunitas difabel.
Setiap bulannya, Solider News menghasilkan konten-konten beragam, mulai dari berita aktual, cerita menarik, hingga rubrik khusus seperti difabilitik, analisis, kiiprah, figur dan akses keadilan, dan akses teknologi. Dibawah kepemimpinan Ajiwan Arief sebagai Redaktur, tim Solider News mampu menghasilkan antara 50 hingga 70 tulisan setiap bulannya. Penulis asumsikam 50 tulisan Solider produksi setiap bulannya, maka Solider menghasilkan hingga 600 tulisan dalam setahun yang memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan dan tantangan yang dihadapi difabel.
Namun, Solider News tidak hanya terbatas pada website dan media sosialnya. Mereka juga memperluas jangkauan mereka melalui berbagai platform lainnya. Ini beberapa di antaranya, Solider TV, Channel YouTube Solider menjadi tempat bagi mereka untuk tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga menghadirkan konten-konten yang menarik dan menghibur. Difapods, Solider juga memasuki dunia podcast dengan podcast-podcast yang mendalam dan informatif, memberikan sudut pandang baru tentang kehidupan difabel. Nawala Solider, Untuk pembaca yang lebih suka informasi dalam format yang ringkas, Solider memiliki newsletter yang memberikan rangkuman informasi kepada para pembaca setia mereka.
Penulis juga pernah mengikuti program magang di Solider News, dan kini menjadi salah satu kontributor aktif di platform tersebut. Pengalaman ini membawa penulis merasakan betapa inklusifnya lingkungan kerja di sana.
Selama masa magang, penulis diberikan keleluasaan untuk memahami dan mengamati langsung dinamika kerja di Solider News. Salah satu hal yang paling menarik bagi penulis adalah kebijakan di Solider News dan SIGAB yang memberikan kesempatan utama kepada teman-teman difabel untuk mengemban peran strategis. Hal ini berbeda dengan banyak organisasi atau komunitas difabel lainnya yang masih cenderung bergantung pada kontribusi dari individu nondifabel untuk mengelola proyek-proyek atau kegiatan organisasi.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan Arief