Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Menengok Aksesibilitas Alat Bantu Pendengaran di Hari Pendengaran Sedunia

Views: 41

Solidernews.com – Setiap tahun, pada tanggal 3 Maret, dunia merayakan Hari Pendengaran Sedunia dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mencegah gangguan pendengaran dan kehilangan pendengaran. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi pionir dalam menetapkan tema untuk peringatan ini dan mengembangkan beragam materi advokasi, mulai dari brosur hingga infografis, yang didistribusikan kepada mitra pemerintah, masyarakat sipil, serta kantor WHO di berbagai tingkatan regional dan negara.

 

Namun, ketika kita membahas tentang gangguan pendengaran, kita juga harus memperhatikan relevansi dan inklusivitas bagi teman-teman difabel, terutama bagi mereka yang Tuli. Sebagai bagian dari komunitas yang berjuang dengan tantangan pendengaran, penting bagi kita untuk mengevaluasi seberapa mudahnya akses mendapatkan alat bantu pendengaran di Hari Pendengaran Sedunia ini. Dalam konteks ini, kita dapat mengeksplorasi sejauh mana upaya inklusi telah dijalankan untuk memastikan bahwa setiap individu, termasuk difabel, memiliki akses yang setara terhadap perangkat yang mendukung pendengaran mereka.

 

Menurut data dari World Health Organization (WHO), jumlah teman-teman Tuli di seluruh dunia mencapai angka yang mencengangkan, yakni sekitar 466 juta jiwa atau sekitar 6,1% dari total populasi dunia (WHO, 2018). Dari angka tersebut, sekitar 93% adalah orang dewasa dan 7% adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran. Di Indonesia sendiri, jumlah difabel telah mencapai angka 22,97 juta jiwa, atau sekitar 8,5% dari total penduduk, dengan mayoritas difabel terjadi pada usia lanjut (Kemenko PMK, 2023).

 

Pentingnya penggunaan Alat Bantu Dengar (ABD) bagi teman Tuli tidak dapat dipungkiri. Namun, hingga saat ini, produksi ABD masih belum mampu memenuhi lebih dari 10% dari kebutuhan global. Menurut catatan Kementerian Kesehatan, ABD hanya dapat memenuhi sekitar 3% dari kebutuhan pasien di negara-negara berkembang. Padahal, data dari Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas tahun 2019 menunjukkan bahwa sekitar 7% dari total teman-teman difabel di Indonesia merupakan teman-teman Tuli.

 

Sementara gangguan pendengaran pada tingkat sedang hingga berat memiliki prevalensi global yang meningkat seiring bertambahnya usia, dengan tingkat kenaikan mencapai 12,7% pada usia 60 tahun dan lebih dari 58% pada usia 90 tahun.

 

Pemerintah Masih Acuh tak Acuh

Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) menyoroti masalah biaya yang tinggi dari alat bantu dengar bagi Tuli di Indonesia.

 

Menurut PGPKT, ada kekurangan dalam penanganan gangguan pendengaran kongenital di Indonesia, khususnya terkait ketersediaan alat implan Koklea yang sangat penting bagi bayi yang lahir dengan gangguan pendengaran berat. Sayangnya, alat ini belum disediakan oleh pemerintah maupun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Anak-anak dengan gangguan pendengaran tidak dapat menggunakan Alat Bantu Dengar (ABD) yang disediakan oleh BPJS karena harga yang lebih baik minimal sekitar Rp 4 juta, sementara BPJS hanya menanggung sekitar Rp 1 juta.

 

Alat bantu dengar berbasis teknologi elektronik yang lebih canggih, seperti Implan Koklea, memiliki harga yang lebih tinggi lagi. Implan Koklea adalah perangkat yang ditanamkan di dalam kepala dan memiliki harga sekitar Rp 200 juta di pasaran. Namun, di negara-negara lain seperti Malaysia, biaya alat tersebut sudah ditanggung oleh pemerintah.

 

Sebuah berharap besar bahwa pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dapat mengambil langkah-langkah lebih aktif untuk memastikan bahwa alat bantu dengar yang sangat dibutuhkan oleh Tuli dapat diakses dengan lebih mudah dan terjangkau. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan cakupan perlindungan kesehatan bagi Tuli dan memperluas kerja sama dengan produsen alat bantu dengar untuk mengurangi biaya.

 

Tidak hanya itu, harapan juga  bahwa pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap anak-anak yang lahir dengan gangguan pendengaran berat. Dengan menyediakan alat implan Koklea yang diperlukan sejak dini, ini akan membantu dalam pengembangan pendengaran anak-anak tersebut dan memberikan mereka kesempatan yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

 

Dengan langkah-langkah ini, maka kita dapat membuat perubahan yang positif bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang membutuhkan akses terhadap perawatan kesehatan yang lebih baik. Semoga upaya dari semua pihak dapat membawa perubahan yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup penyandang tuna rungu di Indonesia.[]

 

Reporter: Hasan

Editor       : Ajiwan

 

Sumber:

  1. [Hari Pendengaran Sedunia: Soroti Harga Alat Bantu Dengar yang Mahal – Antara News](https://m.antaranews.com/amp/berita/3419784/hari-pendengaran-sedunia-soroti-harga-alat-bantu-dengar-yang-mahal#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=17092595206199&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com)
  2. [Hari Tuna Rungu Sedunia: Empowering Persons with Disabilities and Ensuring Inclusiveness and Equality – BEM FKM UNHAS](https://bemfkmunhas.zivtech.id/2023/09/29/hari-tuna-rungu-sedunia-empowering-persons-with-disabilities-and-ensuring-inclusiveness-and-equality/)
  3. [Mahalnya Alat Bantu Dengar di Indonesia: Dokter Dikategorikan Elektronik Jadi Kena Pajak – Liputan6](https://www.liputan6.com/disabilitas/read/4911412/mahalnya-alat-bantu-dengar-di-indonesia-dokter-dikategorikan-elektronik-jadi-kena-pajak)

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content