Views: 58
Solidernews.com – Negara Republik Indonesia telah menegaskan komitmennya terhadap penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok rentan seperti difabel. Hal ini tercermin dalam berbagai pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2).
Di tingkat internasional, komitmen ini semakin diperkuat dengan ratifikasi Convention on the Rights of Persons With Disabilities (CRPD) melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2011. Sebagai langkah tindak lanjut di dalam negeri, pemerintah Indonesia menerbitkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas. UU tersebut secara komprehensif mengatur hak-hak difabel, termasuk dalam proses peradilan, mulai dari tahap penyelidikan hingga pelaksanaan putusan hakim di lembaga pemasyarakatan.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia menegaskan komitmennya untuk melindungi dan memajukan hak-hak difabel, sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Meskipun Indonesia telah menegaskan komitmennya terhadap perlindungan hak difabel melalui ratifikasi Convention on the Rights of Persons With Disabilities (CRPD) dan pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, tantangan dalam memberikan akses keadilan bagi mereka masih terus ada.
Teman-teman difabel masih sering menghadapi diskriminasi di berbagai aspek, termasuk dalam mendapatkan akses keadilan di pengadilan. Perlakuan diskriminatif ini tercermin dalam pemberian layanan yang belum memadai, regulasi yang belum sepenuhnya melindungi hak-hak mereka, serta kurangnya sarana dan prasarana yang ramah difabel di pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengambil langkah-langkah seperti pengesahan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas dan Penyandang disabilitas pada tahun 2016. Langkah terbaru adalah melalui Pemerintah Peraturan Pengganti Undang-Undang (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas.
Regulasi tersebut menekankan pentingnya memberikan akomodasi yang layak bagi difabel yang berurusan dengan hukum. Namun, implementasi UU ini di pengadilan masih menimbulkan pertanyaan. Bagaimana akses keadilan diberikan oleh pengadilan setelah UU ini disahkan? Dan apa saja problematika yang dihadapi untuk memastikan hak akses keadilan bagi difabel terpenuhi?
Untuk mengevaluasi hal ini, terdapat tiga aspek utama yang dihadapi difabel: pengetahuan hakim tentang isu difabel, regulasi terkait layanan difabel di pengadilan, dan aksesibilitas prasarana fisik di lingkungan peradilan.
Sebagai negara hukum yang menghormati Pancasila dan UUD NRI 1945, Indonesia selalu mengutamakan penghargaan terhadap martabat manusia dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini ditegaskan oleh pemahaman bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu, termasuk teman-teman difabel, dan harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah.
Penghormatan terhadap HAM harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, dengan ruang lingkup yang mencakup semua warga negara, termasuk difabel. Pentingnya penegasan ini karena difabel sering mengalami hambatan dalam berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat karena kendala fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang mereka alami.
Sejak Indonesia meratifikasi CRPD melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas dan kemudian melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, langkah-langkah menuju pengakuan hak asasi manusia (HAM) bagi difabel semakin terwujud. Ini menandai pergeseran dari pandangan paternalistik dalam hukum terhadap difabel menuju pendekatan yang lebih menghargai hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas akses keadilan.
Pemahaman sederhana tentang akses keadilan adalah bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan, tanpa memandang latar belakang mereka seperti ras, agama, keturunan, pendidikan, atau tempat kelahiran. Hal ini juga mencakup akses bagi kelompok-kelompok yang mungkin rentan seperti difabel, buta hukum, dan mereka yang tidak memiliki pendidikan untuk memahami proses hukum yang adil dan bertanggung jawab dalam sistem peradilan.
Tantangan dalam Ranah Hukum bagi Difabel
Kasus yang melibatkan difabel dalam ranah hukum semakin menjadi sorotan. Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan jumlah kasus dan pemberitaannya menjadi perhatian utama. Tantangan utama terletak pada perspektif aparat penegak hukum terhadap difabel. Baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku, hak-hak mereka seringkali terabaikan dalam proses hukum, dengan minimnya dukungan dari sistem peradilan. Dengan demikian, dalam konteks hukum, difabel sering kali mengalami diskriminasi.
Salah satu hambatan yang sering dihadapi oleh difabel ketika berurusan dengan hukum adalah kurangnya pemahaman. Para penegak hukum belum sepenuhnya memahami siapa sebenarnya difabel dan bagaimana kebutuhan serta hak-hak mereka harus diakomodasi dalam proses hukum.
Permasalahan yang dihadapi oleh teman-teman difabel saat berurusan dengan hukum memiliki dimensi yang kompleks. Mereka sering kali menghadapi tantangan yang tidak diakomodasi dengan sensitif oleh aparat penegak hukum. Mulai dari kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan mereka hingga ketidakberpihakan norma hukum terhadap difabel, tantangan tersebut masih menjadi fokus perhatian.
Di Indonesia, lembaga peradilan juga masih belum memiliki mekanisme yang sepenuhnya mendukung perlindungan hak-hak difabel, sebagaimana yang telah diimplementasikan dalam penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum.
Dalam konteks kasus pidana, seringkali difabel dihadapkan pada situasi yang membingungkan dan tidak mendukung. Misalnya, seorang tuli yang menjadi korban pemerkosaan seringkali ditanya dengan pertanyaan yang kurang mempertimbangkan kondisinya, seperti “Mengapa tidak berteriak ketika akan diperkosa?” Penegak hukum perlu memahami bahwa kondisi hambatan yang dimiliki tuli dapat membuat seseorang sulit untuk bereaksi dengan cara yang diharapkan dalam situasi yang mengancam seperti itu.
Selain itu, teman-teman difabel netra juga sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Dalam kasus pemerkosaan, misalnya, laporan pidana mereka seringkali tidak diproses karena mereka dianggap tidak bisa memberikan deskripsi yang cukup jelas tentang pelaku. Padahal, penegak hukum seharusnya memahami bahwa teman-teman difabel netra mungkin menghadapi kesulitan dalam memberikan deskripsi yang detail karena hambatan penglihatan mereka.
Namun demikian, dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum yang menolak untuk menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam kasus yang melibatkan difabel. Mereka juga sering mengabaikan pentingnya melakukan profile assessment oleh ahli untuk memastikan bahwa hak-hak difabel dijamin dengan baik. Proses komunikasi, terutama dalam tahap penyidikan, seringkali kurang memperhatikan aspek psikologis dan kebutuhan khusus difabel, yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam memastikan keadilan bagi semua individu.
Di samping tantangan-tantangan sebelumnya, persoalan aksesibilitas sarana dan prasarana di lingkungan pengadilan juga merupakan hal yang krusial dan rumit. Kendala ini tidak hanya menghambat teman-teman difabel, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengancam keselamatan mereka. Permukaan jalan yang tidak rata dan tanjakan curam dapat menjadi penghalang bagi difabel netra, sementara tangga yang terjal menjadi tantangan bagi pengguna kursi roda. Selain itu, ruang sidang yang terletak di lantai dua, toilet yang sempit dan licin, serta berbagai kendala lainnya turut mempersulit aksesibilitas teman-teman difabel di lingkungan pengadilan.
Jika disimpulkan, terdapat setidaknya tiga hambatan utama yang dihadapi oleh difabel dalam mendapatkan akses terhadap keadilan (access to justice). Pertama, hambatan pengetahuan, yang mencakup kurangnya pemahaman dari hakim dan pegawai pengadilan tentang kondisi serta kebutuhan teman-teman difabel, serta sikap yang kurang sensitif dalam berinteraksi dengan mereka. Kedua, hambatan regulasi, terkait dengan ketidaktersediaan SOP atau peraturan internal yang secara khusus mengakomodasi kebutuhan difabel. Bahkan dalam aspek regulasi, masih terdapat banyak ketentuan, seperti KUHAP dan peraturan lainnya, yang cenderung merugikan teman-teman difabel. Ketiga, hambatan sarana dan prasarana fisik, yang meliputi kurangnya gedung pengadilan yang memenuhi standar aksesibilitas bagi difabel. Hal ini mencakup permukaan jalan yang tidak rata, tangga yang sulit dilalui bagi pengguna kursi roda, ruang sidang yang terletak di lantai dua tanpa fasilitas lift atau ramp yang memadai, serta toilet yang sempit dan tidak ramah difabel.
Jalan Baik Difabel dalam Sistem Hukum
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dan komprehensif. Pertama, aparat penegak hukum, termasuk hakim dan pegawai pengadilan, perlu mendapatkan pelatihan dan pendidikan tentang isu-isu yang berkaitan dengan difabel, termasuk pemahaman tentang kebutuhan mereka dan cara berinteraksi yang sensitif. Pelatihan ini juga harus mencakup aspek hukum yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak mereka.
Kedua, diperlukan revisi dan penyesuaian regulasi hukum yang lebih mengakomodasi kebutuhan difabel. Hal ini meliputi pembuatan SOP dan peraturan internal di pengadilan yang secara khusus mengatur perlindungan hak-hak difabel dalam proses hukum. Selain itu, evaluasi terhadap ketentuan hukum yang ada juga diperlukan untuk memastikan tidak adanya diskriminasi terhadap difabel dalam sistem hukum.
Ketiga, perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas fisik di lingkungan pengadilan. Ini mencakup peningkatan fasilitas fisik seperti memperbaiki permukaan jalan, memasang ramp yang memadai, memastikan keberadaan fasilitas lift atau ramp untuk akses ke ruang sidang yang terletak di lantai atas, serta memperluas dan meningkatkan fasilitas toilet yang ramah difabel.
Selain itu, penting juga untuk melibatkan aktif organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi difabel dalam proses perencanaan dan implementasi perbaikan. Mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan yang berharga tentang tantangan yang dihadapi oleh difabel dalam kehidupan sehari-hari dan dalam sistem hukum, dan partisipasi mereka dapat memastikan bahwa solusi yang diusulkan benar-benar memenuhi kebutuhan mereka.
Secara keseluruhan, upaya untuk memastikan akses keadilan bagi difabel memerlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan berbagai stakeholder, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, pengadilan, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok advokasi difabel. Hanya dengan kerja sama dan komitmen bersama, dapat diwujudkan sistem peradilan yang inklusif dan adil.[]
Penulis : Hasan
Editor : Ajiwan Arief
Sumber relevan:
- PN Bogor. “Prosedur Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas.” [Online]. Tersedia: [https://pn-bogor.go.id/prosedur-pelayanan-bagi-penyandang-disabilitas/](https://pn-bogor.go.id/prosedur-pelayanan-bagi-penyandang-disabilitas/).
- PA Jombang. “Access to Justice bagi Penyandang Disabilitas.” [Online]. Tersedia: [https://www.pa-jombang.go.id/article/Access-to-Justice-bagi-Penyandang-Disabilitas](https://www.pa-jombang.go.id/article/Access-to-Justice-bagi-Penyandang-Disabilitas).
- Hukum Online. “Penyandang Disabilitas Masih Sulit Akses Keadilan.” [Online]. Tersedia: [https://www.hukumonline.com/berita/a/penyandang-disabilitas-masih-sulit-akses-keadilan-lt55cc60eb88339/](https://www.hukumonline.com/berita/a/penyandang-disabilitas-masih-sulit-akses-keadilan-lt55cc60eb88339/).
- Komisi Yudisial. [Online]. Tersedia: [https://komisiyudisial.go.id/frontend/](https://komisiyudisial.go.id/frontend/).
- Marzuki, S., Syamsudin, M., & Heryansyah, D. (2021). “Akses Keadilan Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan.”