Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Menelisik Fakta Perlindungan bagi Konsumen Difabel

Views: 13

Solidernews.com –Fakta keseharian, dalam kelompok masyarakat majemuk, sangat jarang dijumpai masyarakat difabel. Mereka tidak tampak di berbagai aktivitas publik. Apakah di ruang transportasi publik, di pusat-pusat perbelanjaan, fasilitas kesehatan, tempat wisata, dan lain sebagainya. Apa karena jumlahnya yang sedikit dibanding kelompok masyarakat lainnya? Atau kah karena faktor lain?

 

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk difabel di Indonesia pada 2020 sebanyak 22,5 juta atau sekitar 5%. Berdasar data tersebut, benar, bahwa jumlah penduduk difabel di Indonesia sangat sedikit. Bisa jadi, karenanya kehaditannya di ruang publik tak nampak. Bagaimana dengan aksesibilitas di area publik? Sudahkah tersedia fasilitas aksesibel, sehingga difabel bisa mengaksesnya secara mandiri?

 

Pusat-pusat perbelanjaan, baik pasar modern (mall) atau pasar tradisional. Di tempat ini, sangat minim aksesibilitas bagi difabel. Berada di mall, tentunya tak cukup hanya bisa naik dan turun dari satu lantai ke lantai. Aktivitas ini bisa dilakukan, ketika mall tersebut menyediakan lift. Namun, tak semua mall di Kota Yogyakarta yang menggunakan lift. Yang ada, sebagian besar hanya menyediakan eskalator. Fasilitas ini, hanya aksesibel untuk difabel tertentu. Tapi tidak bagi difabel fisik dan netra. Bahkan cendereung membahayakan mereka.

 

Jika saja ada lift, tak satu pun mall yang di dalamnya memberikan akses jalan pemandu bagi difabel netra. Atau pegangan tangan bagi difabel fisik pengguna krug penyangga tubuh. Bagaimana dengan pasar tradisional? Di tempat ini, tak beda jauh. Pasar trasdisional pun minim akses. Lorong untuk jalan dari satu titik ke titik lain sempit. Tak memungkinkan bagi mereka pengguna kursi roda melaluinya.

 

Bagaimana dengan stasiun kereta api? Stasiun tugu, area publik ini sudah menyediakan jalan pemandu (guiding block) pada beberapa titik. Namun, ada beberapa di antarnya terhalang beton pagar pembatas. Bagaimana dengan tempat-tempat wisata? Area dan sarana rekreasi ini, sangat tidak ramah bagi difabel, apapun jenisnya. Terutama bagi mereka pengguna alat bantu krug, kursi roda, togkat putih. Tak terlihat adanya toilet khusus difabel, area parkir khusus difabel, fasilitas kursi roda, petugas untuk membantu difabel masuk dan membeli tiket.

 

Halte Trans Jogja? Halte ini sudah dilengkapi guiding block. Ada juga ramp (jalan landai) bagi pengguna kursi roda. Namun ramp yang ada terlalu miring (curam). Pintu halte kurang lebar, menyulitkan pengguna kursi roda. Karenanya, kehadiran difabel tak nampak di ruang-ruang publik.

 

Semua area publik, semestinya difungsikan untuk siapa pun konsumen. Tanpa kecuali konsumen (pengguna jasa) berkebutuhan berbeda atau difabel. Namun pada kenyataanya, bukan saja karena jumlahnya yang sedikit. Namun juga, berbagai area publik belum ramah bagi warga masyarakat difabel. Minimnya ketersediaan aksesibilitas, menjadi faktor mengapa difabel tidak tampak di berbagai aktivitas publik.

 

Diskriminasi kapan diakhiri?

Difabel mengalami pembatasan, hambatan, sehingga tak mudah berinteraksi sosial. Mereka kehilangan hak hidup mandiri. Pengurangan atau penghilangan hak, terjadi di berbagai fasilitas publik. Sebagai konsumen, mengakses berbagai pelayanan publik, merupakan barang mewah. Tak mudah didapatkan oleh konsumen difabel.

 

Artinya, tantangan terbesar bagi kelompok difabel adalah lingkungan sosial. Baik keluarga maupun masyarakat. Bahkan, tantangan terkadang lahir dari diri difabel sendiri. Tantangan yang muncul tersebut, tak lain dan tak bukan karena mindset atau cara pandang. Yang menganggap kelompok difabel sebagai warga yang tidak berdaya, sehingga dianggap tidak perlu keluar rumah.

 

Pandangan tersebut membatasi kesempatan yang seharusnya bisa sama-sama dinikmati. Kesempatan memenuhi kebutuhan hidup, berbelanja secara mandiri, bepergian dengan moda transportasi publik, berwisata, dan lain sebagainya. Dampaknya, partisipasi difabel di tengah masyarakat rendah. Difabel masih dianggap sebagai beban. Tak jarang justru dijadikan obyek belas kasihan (charity) saja.

 

Diskriminasi, adalah satu kata yang disampaikan Aning warga Kota Yogyakarta dan Nenti, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kota Yogyakarta. “Karena jumlah kami yang sedikit, tak jarang kami ini dianggap beban. Karenanya, aksesibilitas yang menyesuaikan dengan kebutuhan kami para difabel, tak tersedia,” ujar keduanya.

 

Adakah regulasi?

Kebijakan atau regulasi yang mengatur perlindungan dan pemenuhan hak bagi warga negara difabel, sesungguhnya sudah ada di Indonesia. Pemerintah melindungi hak konsumen difabel dengan sejumlah peraturan.

 

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. PP ini menjamin berbagai hak warga masyarakat difabel. Bahkan mengatur para penyelenggara negara memiliki program, rencana pembangunan dan rencana kerja, hingga mengatur kebijakan yang diberlakukan.

 

Konsekuensi Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi CRPD (Convention on The Rights of Person with Disabilities), yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi hak-hak difabel, belum berjalan sebagaimana mestinya.

 

Padahal aksesibilitas adalah hak dasar yang wajib disediakan negara bagi warga difabel. Namun pada kenyatannya, meski peraturan sudah ada, aksesibilitas di area publik bagi konsumen difabel, belum berjalan optimal.

 

Di sisi lain, dengan meningkatnya penggunaan e-commerce era digital, belum semua menyediakan fasilitas khusus screen reader (pembaca layar). Screen reader, akan sangat membantu difabel netra sebagai konsumen, bertransaksi dengan platform tertentu.

 

Berbagai fakta dalam tulisan kali ini, tak cukup jika hanya menjadi sebatas catatan. Atau sekedar menjadi materi diskusi dari waktu ke waktu. Dibutuhkan kerja sama banyak pihak yang melibatkan difabel, dalam mewujudkannya. Tak pula cukup kebijakan yang berpihak pada difabel, jika pada tataran implementasinya nol.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan Arief

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content