Views: 8
Solidernews.com – Di Indonesia, hak politik bagi difabel terus menjadi sorotan tajam menjelang Pemilu 2024. Meskipun ada perbaikan dalam satu dekade terakhir, masalah substansial tetap menghambat partisipasi mereka, terutama dalam pendataan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk) yang belum memadai. Hal itu menjadi topik utama dalam acara “Forum Jogja Kita 2024” yang diinisiasi oleh Kementerian Advokasi dan Jejaring Masyarakat BEM KM UGM di Auditorium Fisipol UGM, Jumat (20/9).
Dalam riset yang dilakukan oleh BEM sebelumnya ditemukan sejumlah isu signifikan yang menghambat partisipasi politik difabel. Hasil riset yang mengejutkan menunjukkan bahwa 97,06% difabel belum terdaftar sebagai pemilih, menyoroti eksklusivitas praktis dalam proses demokrasi langsung seperti Pemilu. Kendati demokrasi dianggap sebagai proses yang terbuka dan inklusif, realita di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya, di mana banyak difabel tidak mendapatkan akomodasi yang layak selama pemilihan, mereduksi Marwah dari pemilu itu sendiri.
Lebih jauh lagi, riset tersebut mengidentifikasi bahwa banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tidak menyediakan privasi yang cukup bagi pemilih difabel, tidak menandatangani formulir C3 atau surat pernyataan yang menjamin kerahasiaan pemilih. Aksesibilitas di tempat pemungutan suara (TPS) seringkali tidak memadai, dan minimnya pelatihan KPPS mengenai kebutuhan spesifik difabel menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi. Selain itu, kurangnya pemantauan oleh Bawaslu terhadap kepatuhan aksesibilitas dan kebutuhan khusus di lapangan turut melanggengkan praktik yang kurang tepat tersebut.
Devy Dhian Cahyati, M.A., selaku pakar politik dan pemerintahan UGM, menggarisbawahi bahwa hak politis difabel di Indonesia menghadapi berbagai tantangan besar yang merefleksikan kurangnya inklusivitas dalam proses demokrasi. Meski pemilu merupakan bentuk demokrasi langsung, nyatanya partisipasi dari difabel masih sangat rendah, dengan kurang dari 1% yang terdaftar sebagai pemilih. Faktor utama penghambat ini adalah stigma negatif yang berakar dalam masyarakat, dimana difabel sering dianggap sebagai aib dan dianggap tidak layak memilih.
“Ini tidak hanya mempengaruhi individu di masyarakat, tapi juga tercermin keengganan keluarga untuk mendaftarkan anggota keluarganya yang difabel sebagai pemilih. Maka diperlukan perubahan pola pikir masyarakat,” tambahnya.
Di lapangan, banyak difabel yang tidak memiliki KTP dan otomatis tidak terdaftar sebagai warga negara yang sah untuk memilih. Sebagai contoh, ada difabel mental yang tinggal di panti di Magelang tidak terdaftar sebagai pemilih meskipun memiliki keinginan kuat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, kekurangan anggaran sering menjadi penghalang dalam penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk alat bantu pencoblosan dan template braille yang tidak tersedia di semua TPS.
Langkah-langkah yang bisa diambil termasuk regulasi yang lebih detail di tingkat KPU, meningkatkan fasilitas untuk difabel, dan melatih petugas KPPS untuk memiliki empati serta pemahaman yang lebih baik terhadap difabel, dan memastikan Bawaslu melakukan fungsi pengawasannya. Metode jemput bola bisa menjadi solusi potensial, tetapi ini juga menghadapi kendala SDM dan logistik. Ini menunjukkan pentingnya sinergi antara lembaga pemerintah dan masyarakat untuk menghilangkan stigma dan memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, dapat berpartisipasi secara penuh dan adil dalam proses demokrasi.
Wuri Handayani, Ph.D., perwakilan dari Unit Layanan Disabilitas UGM, bercerita bahwa dirinya pernah mengadvokasi hak difabel di Surabaya pada 2005 silam, persoalan utama bukan hanya pada aturan, melainkan pada pelaksanaannya. “Aturan sudah ada, kendalanya ada di pelaksanaannya,” tegasnya.
Salah satu kendala terbesar adalah minimnya perhatian pada aksesibilitas difabel di TPS. Contohnya, akses prioritas di KPU Sleman yang belum tersedia dengan baik, membuat difabel harus mengantre lama, bahkan ditempatkan di TPS yang jauh dari tempat tinggal mereka. Selain masalah aksesibilitas, Wuri juga menyoroti masalah privasi bagi difabel netra yang belum terselesaikan. Meskipun template braille sudah dihadirkan untuk surat suara, penggunaannya masih terbatas untuk beberapa pemilihan, seperti presiden, gubernur, dan walikota.
“Pendamping harus menandatangani formulir C3 yang menjamin kerahasiaan, tetapi kenyataannya sering kali pendamping memengaruhi pilihan pemilih difabel netra,” ungkap Wuri. Hal ini mengakibatkan hak pilih yang seharusnya rahasia menjadi rentan disalahgunakan.
Sumber utama masalah ini, lanjut Wuri, terletak pada pendataan yang belum akurat. KPU dan Dispenduk belum menjalankan tugasnya dengan optimal. Menurutnya Dispenduk tidak menggunakan formulir F101 karena alasan anggaran, menyebabkan banyak difabel tidak terdaftar sebagai pemilih. Ketidaktepatan data ini menjadi akar dari berbagai masalah, mulai dari minimnya sosialisasi hingga kurangnya penyediaan fasilitas di TPS yang sesuai dengan jenis difabel.
Dalam sesi perumusan policy brief, berbagai organisasi difabel seperti Ciqal, Ohana, Komnas Disabilitas, UKM Peduli Difabel, dan lainnya sepakat untuk menyampaikan tuntutan kepada KPU, Bawaslu, dan Dispenduk. Mereka menegaskan bahwa difabel tidak boleh lagi diperlakukan sekadar sebagai objek dalam pembuatan kebijakan. Sebaliknya, kepentingan dan kebutuhan mereka harus diakui dan diprioritaskan sebagai subjek utama, dengan partisipasi aktif mereka dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
- KPU harus menjalankan pemilu yang aksesibel bagi difabel
- Pemetaan data di setiap TPS harus rinci, ada identifikasi ragam dan hambatan difabel di setiap TPS sehingga harapannya tahu dukungan apa yang harus diberikan
- Bawaslu melakukan pemantauan terhadap akses difabel di TPS (secara umum untuk semua tidak hanya untuk difabel) serta memastikan pengawasan pemilihan turut memperhatikan aspek aksesibilitas dan inklusivitas.
- Bawaslu dan KPU melakukan pendidikan terkait isu difabel kepada KPPS dan PTPS. Serta perlu ditekankan bahwa sosialisasi tentang etika bersosialisasi dengan difabel perlu dilakukan di TPS, alat bantu pencoblosan untuk difabel perlu disediakan
- Sosialisasi pendidikan politik kepada difabel
- Dispendukcapil harus menerapkan UU NO 12 TAHUN 2006 tentang data kewarganegaraan. Dispenduk melakukan pendataan sesuai dengan amanah sesuai dengan UU terkait dengan identitas warga negara
- Menjadikan difabel dijadikan isu prioritas dalam pra pemilu, saat pemilu, dan pasca pemilu
- KPU harus bekerja sama dengan difabel agar datanya akurat.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan