Views: 8
Solidernews.com. KORBAN. Adalah pihak yang menderita dan mengalami kerugian akibat tindak pidana. Namun, keterlibatan korban dalam mengadili pelaku, hanya sebatas memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Hal ini menyebabkan korban kerap merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan jaksa penuntut umum, maupun putusan hakim.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), restitusi adalah ganti kerugian atau pembayaran kembali. Selain itu, dalam istilah hukum, restitusi berarti pemulihan kondisi korban atau penggantian kerugian yang dialami korban, baik secara fisik maupun mental.
Dikutip dari Jurnal Hukum dan Pembangunan (2015), restitusi adalah suatu upaya untuk mengembalikan kondisi semula sebelum kejahatan terjadi. Meski pada dasarnya, korban tidak mungkin dapat kembali pada kondisi semula sebelum terjadi kejahatan.
Sementara itu, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, juga memberikan pengertian apa itu restitusi.
Pasal 1 angka 1 Perma menjelaskan, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Adapun yang dimaksud korban merupakan orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi karena suatu tindak pidana. Korban tersebut, termasuk anak yang belum berusia 18 tahun, serta janin dalam kandungan.
Restitusi juga sudah diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekeasan (UU TPKS). Restitusi (ganti rugi) yang merupakan hak korban, dapat dilakukan sejak penyidikan. Jika pelaku tidak mampu, maka restitusi akan dibayarkan oleh negara melalui victim trust fund atau dana bantuan korban, yang dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Masihkan ada keadilan?
Seorang bocah difabel intelektual. Siswa SLB itu mengalami pelecehan seksual. Seorang pria dewasa difabel tuli, adalah pelakunya. Kini pelaku mendapat putusan pidana 8 tahun penjara, di Lapas Pajangan Bantul. Kasus ini diceritakan oleh keluarga korban kepada Solidernews.com medio Desember 2023.
Pasca kasus yang menimpa, korban mengalami perubahan perilaku. Sering kali dia menggosokkan bagian sensitif tubuhnya ke tubuh sang ibu, ia mengaku shock dengan perubahan perilaku putrinya tersebut.
Dia mengaku sakit dan hancur mendapati putri kecilnya diperlakuan sedemikian keji. Bagi keluarga korban, hukuman delapan tahun bagi pelaku tidak setimpal dengan perbuatan pelaku yang telah merenggut masa depan dan hidup putrinya.
Terlebih, ketika hak anaknya mendapatkan restitusi, hingga kini (Maret 2024), tak kunjung diterimanya. Kemalangan yang bertubi ini, mau tidak mau berdampak pada kesehatan ibu dari korban. Kini berbagai penyakit (komplikasi) menghampiri. Menambah kompleksnya permasalah yang dihadapi keluarga ini.
Bukan perkara nilai uangnya yang 13 juta, kata sang ibu korban. “Namun, restitusi adalah soal hak. Restitusi itu akan berguna bagi kami, untuk datang ke psikolog, menyembuhkan trauma anak kami,” tandasnya.
Hanya bisa berharap
Terkait restitusi yang hingga kini tak pasti,kedua orang tua korban tak tahu harus menempuh jalur apa. Sebab, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang sedianya mengrus masalah restitusi tak sanggup berjanji. Sementara, perlindungan dari LPSK sudah berakhir pada September 2023.
Ketika itu LPSK mengatalan bahwa, kompensasi negara atas restitusi yang tidak dibayarkan hanya bagi pelaku pelanggaran HAM berat dan terorisme. Sedang perbuatan pelaku tidak termasuk penaggaran berat. Karena itu, semestinya restitusi itu diterima keluarga korban dari negara.
Keluarga ini hanya tinggal menunggu keadilan Sang Pencipta. Bagi mereka, keadilan dunia jauh dari mereka, rakyat kecil yang papa. “Saya ini adalah yang paling hancur. Bagaimana tidak? Anak yang saya lahirkan, besarkan dan sekolahkan, diperlakukan sedemikian rupa. Sedang, keadilan tidak berpihak pada kami sebagai korban. Keadilan Tuhan Sang Pencipta, yang masih saya harapkan,” ujar ibunda korban.[]
Reporter: harta nining Wijaya
Editor : Ajiwan