Views: 33
Solidernews.com – Sebelum adanya jaminan Kesehatan BPJS, Indonesia memiliki beberapa sistem asuransi sosial yang terpisah. Yaitu Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Askes (Asuransi Kesehatan) dan Taspen (Tabungan dan Asuransi Pensiun). Jika jamsostek berfungsi untuk menjamin kesehatan pekerja swasta, askes berfungsi untuk menjamin kesehatan para pegawai negeri sipil dan pensiunan. Taspen sendiri mengambil peran untuk penyediaan tabungan masa pensiun para pekerja.
Pembentukan BPJS dimulai pada tahun 2011, di mana pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yang kemudian mengamanatkan pembentukan BPJS sebagai badan yang menyelenggarakan SJSN atau Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Berdasarkan UU ini, BPJS lebih lanjut terbagi menjadi dua bagian. Yaitu BPJS Kesehatan, yang menggantikan PT Askes pada 1 Januari 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan, yang menggantikan PT Jamsostek pada 1 Juli 2015.
Setelah satu dekade belakangan ini BPJS berjalan, ada banyak hal yang bisa kita refleksikan bersama-sama. Mulai dari pelayanan di fasilitas kesehatan yang rasanya berbeda, antara pasien pengguna BPJS dan pasien pembayaran mandiri sampai dengan seabrek aturan jaminan kesehatan yang tak berpihak pada berbagai jenis penyakit. Khususnya gangguan kesehatan yang dialami oleh masyarakat difabel.
Salah satu penyebab seseorang menjadi difabel adalah gangguan kesehatan bernama hidrosefalus. Seseorang yang mengalami hidrosefalus, memerlukan tindakan operasi ventriculoperitoneal shunt (VP Shunt). VP Shunt berfungsi untuk mengalirkan kelebihan cairan dari otak ke bagian tubuh lain, biasanya ke rongga perut (abdomen). Operasi ini masuk di dalam tanggungan BPJS, tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Dua persyaratannya adalah hanya dapat menggunakan jenis peralatan tertentu, yang telah diatur dalam regulasi JKN itu sendiri dan dua, maksimal tindakan hanya tiga tahun sekali.
Seorang difabel netra dengan hidrosefalus di Makassar, yang namanya kemudian kita samarkan menjadi Hani, pada tahun 2022, akhirnya kehilangan nyawa setelah 8 bulan terbaring koma karena keterlambatan penanganan dokter dan kekurangan biaya. Pihak keluarga mengungkapkan pada solidernews, bahwa penggantian selang atau VP Shunt sebelumnya telah dilakukan satu tahun sebelumnya, tetapi setelah operasi, sang anak yang berusia 20 tahun saat itu tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan.
“Masih sering mengeluh sakit kepala, mual, perut nyeri seperti terjepit sesuatu. Akhirnya kita bawa lagi ke rumah sakit. Diperiksa lagi dan lain-lain. Pas hasilnya keluar, kata dokter, ada infeksi di VP Shunt. Selangnya itu harus diganti lagi. Sementara kira-kira waktu itu baru sekitar tiga bulan yang lalu dia mengganti selang. Jadi kata dokter, kalau mau ganti selang lagi, tidak bisa ditanggung BPJS. Harus pakai biaya pribadi. Karena peraturannya di dalam BPJS, itu cuma bisa ditanggung setelah tiga tahun kemudiannya lagi. Biaya untuk operasi itu sekitar 30 juta. Di mana kami mau ambil uang sebanyak itu?” jelas Ibu almarhumah.
Aturan-aturan yang membatasi jaminan kesehatan atas jenis penyakit tertentu, membuat tidak sedikit masyarakat harus berada di ambang pengharapan hidup. Padahal hak warganegara untuk hidup dengan layak dan sehat, berada di tubuh negara. Yang seharusnya diterjemahkan serta dikabulkan melalui jaminan kesehatan nasional yang berprespektif pasien.
Bergeser sedikit menyinggung mengenai terapi yang harusnya didapatkan oleh individu dengan anak neuro diversity sebagai upaya agar perkembangan mereka mendapat stimulan dan menjadi lebih cepat. Pemberian terapi memang ditanggung oleh BPJS, tetapi hanya sebagian jenis terapi. Sebagian jenis lainnya seperti terapi perilaku khusus, kemandirian sampai dengan kesenian tidak dapat ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional. Membuat orang tua dengan anak neuro diversity mesti merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan terapi anak-anak mereka yang tak ditanggung pemerintah.
Pada Minggu, 8 Desember 2024, solidernews mendapat informasi langsung dari Kepala Bidang Kepesertaan JKN cabang kota Makassar bahwa, tindakan yang dianggap melukai diri sendiri atau berusaha mencelakai diri sendiri tidak akan ditanggung oleh BPJS. Ini kemudian menjadi ironi dan hambatan baru lagi bagi difabel ragam tertentu, seperti intelektual dan mental. Bagaimana jika ada seorang difabel mental yang sedang berada dalam kondisi yang tak stabil, kemudian menghantamkan kepalan tangannya ke pintu kaca? Pintu kaca itu, yang akhirnya melukai tangannya, apakah dapat dinilai sebagai sebuah kecelakaan saja? Ataukah akan dinilai sebagai tindakan sengaja ingin melukai diri sendiri?
“Kalau difabel mental itu kan tidak sadar, ya. Jadi tetap ditanggung. Konsepnya sederhana saja. Kalau dia sadar, ya tidak ditanggung. Kalau tidak sadar baru ditanggung,” ungkap Ayu, Kepala Bidang Kepesertaan JKN cabang kota Makassar.
Tetapi jawaban dari Ayu itu, nyaris, tidak menghentikan rasa penasaran dari penulis. Bias atau perbedaan presepsi, amat sangat mudah terjadi di tingkat bawah alias rumah sakit apalagi puskesmas, mengenai aturan melukai diri sendiri dengan sadar atau tidak sadar ini. Siapa yang bisa bertanggungjawab untuk memastikan seseorang benar-benar melukai dirinya dalam keadaan yang tak sadar? Atau malah sebaliknya, bagaimana jika kebetulan tenaga kesehatan yang sedang bertugas tidak ingin mempercayai kondisi mental seseorang, melainkan langsung menuduh bahwa luka yang ada adalah akibat dari kesengajaan semata?
Untuk kasus melukai diri dengan sadar atau tidak sadar ini, mestinya ada penanda pakem seperti ID Card, kartu atau data elektronik bagi setiap pengguna BPJS yang mengalami kondisi mental tertentu. Aturannya tak boleh normatif, untuk menghindari bias-bias pengimplementasian di lapisan eksekutor.
Solidernews perlu pula untuk menyoroti mengenai pengadaan alat bantu. Seperti misalnya kaki palsu, kursi roda sampai dengan alat bantu dengar, karena sampai dengan sekarang masih menjadi keresahan masyarakat difabel pengguna BPJS. Jaminan kesehatan milik negara ini tidak menanggung pembelian alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan aksesibilitas, dan atau kenyamanan seorang difabel. Adanya kualitas alat bantu tertentu yang ditetapkan, membuat mau tak mau, masyarakat difabel yang sangat bergantung pada keberadaan alat bantu mesti berusaha mencari pembiayaan pribadi untuk membeli alat bantu yang lebih berkualitas.
Lalu sebenarnya di mana peran negara, dalam hal ini melalui pemerintah, untuk memberi pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat difabel pengguna BPJS? Jika tak ada regulasi yang secara spesifik menjamin hak serta menjabarkan kebutuhan-kebutuhan dasar seorang difabel yang ditanggung oleh BPJS, ketidak maksimalan negara untuk memenuhi hak atas pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya yang difabel akan terus menerus terjadi. Harus berapa lagi Hani yang kehilangan nyawa karena keterbatasan ekonomi?
Pada hari Sabtu, 7 Desember 2024 solidernews telah menghubungi lima belas masyarakat difabel di kota Makassar. 7 orang di antaranya belum memiliki BPJS, 3 yang lainnya mengaku memiliki tunggakan dan hanya 5 orang yang memiliki BPJS. Salah satu dari kelima orang yang memiliki BPJS ini pun, mengaku sebenarnya tak sanggup lagi membayar iuran BPJS setiap bulannya.
Pertanyaannya adalah, bagi masyarakat difabel yang mayoritas bekerja sebagai pekerja lepas dan swasta, yang penghasilannya seringkali tak menentu, bagaimana BPJS menyikapi naik turunnya penghasilan tersebut? Ketika misalnya difabel yang pernah mendapatkan penghasilan di atas UMR, mampu membayar iuran jaminan kesehatannya dengan mandiri tetapi kemudian di waktu tertentu mengalami PHK atau penurunan omset lalu menunggak iuran BPJS. Apa solusi yang ditawarkan oleh pihak BPJS?
Ketiga individu difabel yang telah menunggak iuran tadi, pada solidernews, mengaku menunggak sudah dalam jangka waktu yang sangat panjang sampai-sampai BPJS mereka dinonaktifkan oleh sistem. Tunggakan yang nilainya tiga sampai empat jutaan ini harus ditanggung oleh siapa?
Menjawab pertanyaan di atas, Ayu kepala bidang kepesertaan JKN cabang kota Makassar menjelaskan bahwa BPJS dengan pembayaran mandiri, bisa saja dialihkan menjadi PBI atau penerima bantuan iuran jika dianggap membutuhkan oleh kelurahan setempat. Tetapi iuran yang menjadi tunggakan, tetap saja harus dilunasi oleh pengguna.
Dalam hal ini, BPJS belum berprespektif difabel. Banyaknya kebutuhan kesehatan masyarakat difabel yang tidak menjadi tanggungan jaminan kesehatan nasional (JKN) menjadi bukti nyata. Pemerintah mungkin saja tak sadar, bahwa regulasi dalam tubuh BPJS ini tidak atau belum sepenuhnya mengakomodir hak-hak masyarakat difabel. Kesadaran ini harus muncul, secepat mungkin, agar masyarakat difabel bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka. Pemberian terapi pada anak neuro diversity, tak adanya pembatasan operasi dalam keadaan darurat, aturan pakem mengenai sadar atau tidak sadarnya seorang pasien saat melukai diri sendiri dan lain sebagainya menjadi kebutuhan difabel yang tidak boleh diacuhkan begitu saja oleh BPJS.[]
Penulis: Nabila May Sweetha
Editor : Ajiwan