Views: 56
Solidernews.com – Dalam kaitannya dengan tantangan aksesibilitas di rumah ibadah, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa masih banyak masjid yang belum sepenuhnya ramah bagi individu dengan difabel. Fenomena ini menuntut kita untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan hak-hak mereka dalam beribadah.
Masih banyaknya, rumah ibadah belum ramah bagi orang-orang dengan difabel. Hal ini membuat difabel harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk dapat ikut ibadah bersama yang mayoritas. Persoalan ini perlu mendapatkan perhatian dan perspektif yang baik bagi para pengelola tempat ibadah.
Permasalahan ini benar-benar menarik untuk diperhatikan, terutama karena difabel sering kali terabaikan dalam konteks masjid. Kita perlu akui bahwa banyak masjid di sekitar kita masih belum sepenuhnya ramah bagi difabel. Misalnya, kebanyakan masjid masih menggunakan anak tangga sebagai akses masuk, yang tentu saja membuat sulit bagi difabel untuk masuk ke dalamnya. Akibatnya, banyak difabel yang mungkin memilih untuk menetap di luar, di teras masjid misalnya, atau mencari tempat yang lebih mudah dijangkau, karena sulitnya aksesibilitas tersebut menyulitkan mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat secara langsung.
Sebenarnya, setelah Indonesia menerima CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), kita punya UU No. 8 tahun 2016 yang membahas hak-hak penyandang disabilitas. Salah satunya, UU itu menyebutkan bahwa setiap difabel memiliki hak buat tidak diperlakukan dengan kasar atau direndahkan, dan punya hak buat akses keagamaan yang lancar, sesuai pasal 14 yang berbicara soal kemudahan akses ke tempat ibadah.
Difabel di sini itu bisa diliat dari sudut pandang medis dan sosial. Yang medis, lebih ke soal kedifabelan fisik atau mental, tapi sekarang dengan perkembangan teknologi, ada banyak alat bantu medis dan digital yang membantu banyak untuk mereka. Jadi, sudah lebih mudah untuk mereka ikut serta dalam kehidupan sehari-hari, termasuk peribadatan.
Nah, tapi masalahnya, diskriminasi dan diacuhkan di masjid atau tempat ibadah lain itu lebih ke masalah sosial. Jadi, ada yang namanya “ableism” atau tuntutan buat jadi normal yang harus ditangani lewat masyarakat yang inklusif.
Dalam bukunya “Masjid Ramah Difabel: Dari Fikih ke Praktik Aksesibilitas,” Arif Maftuhin menyoroti pentingnya memperhatikan kebutuhan individu dengan difabel dalam konteks tempat ibadah. Dia menekankan bahwa sebuah masjid yang benar-benar inklusif harus memperhatikan berbagai aspek, mulai dari arsitektur hingga sikap komunitas, agar tidak menghalangi partisipasi anak-anak dan jamaah dengan difabel dalam kegiatan keagamaan.
Misalnya, langkah sederhana seperti menyediakan akses masuk yang lebih ramah bagi kursi roda, kursi untuk jamaah yang tidak dapat berdiri, atau bahkan akses bahasa isyarat bagi pengajar agama dapat membuat perbedaan besar. Namun, untuk mewujudkan ini semua, penting bagi kita untuk benar-benar mendengarkan dan memperhatikan kebutuhan para difabel. Itu artinya tidak hanya menyediakan fasilitas fisik, tetapi juga menghilangkan stigma dan sikap diskriminatif.
Sepertinya setuju bahwa rumah ibadah harus dianggap sebagai fasilitas publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, bukan individu tertentu. Namun, difabilitas sebagai bagian dari masyarakat sipil sering mengalami marginalisasi, baik secara langsung maupun dalam hal aksesibilitas layanan bagi mereka. Hal ini juga berlaku dalam konteks penyediaan fasilitas rumah ibadah.
Masih terlihat kurangnya perhatian terhadap aksesibilitas rumah ibadah bagi difabel. Mereka sering kali harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan mayoritas yang dianggap “normal”. Kemungkinan penyebabnya bisa karena kurangnya pemahaman atau memprioritaskan pelayanan bagi mayoritas yang secara fisik mampu.
Namun, fenomena ini mencerminkan sikap ableism, yaitu penilaian bahwa semua individu seharusnya mampu dan diharapkan untuk mengikuti norma yang berlaku bagi mayoritas.
Masalah inklusi sosial bagi teman-teman difabel di kalangan komunitas Muslim Indonesia memang butuh perhatian serius. Selain melalui kerangka hukum yang ada, langkah-langkah untuk mewujudkan inklusi ini bisa lebih kuat dengan dukungan dari otoritas fikih, fatwa, atau panduan yang diberikan oleh para ulama. Kenapa? Karena masyarakat Muslim punya kecenderungan besar untuk mengikuti fatwa dan nasihat agama mereka. Jadi, tindakan semacam itu punya potensi besar untuk membentuk praktik-praktik yang lebih inklusif dalam kehidupan sehari-hari.
Ulama dan cendikiwan muslim, sebetulnya sudah bekerja keras soal ini, upaya memberikan solusi untuk orang-orang dengan difabel. Nahdlatul Ulama, misalnya, punya banyak fatwa tentang difabel yang sebagiannya sudah dikumpulin dalam dokumen “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas”.
Sementara itu, Muhammadiyah juga sudah mengeluarkan fatwa dalam Fikih Difabel yang sudah dibahas saat acara Munas Tarjih ke-31 tahun 2020. Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam menolak segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, karena pandangan agama Islam tidak memandang manusia dari segi anatomi fisiknya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu, termasuk difabel, memiliki potensi yang sama untuk berkontribusi dalam kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, penting untuk memenuhi dan melindungi hak-hak difabel dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam konteks ibadah.
Dalam praktiknya, pengadaan fasilitas ibadah harus memperhatikan kebutuhan difabel, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam ibadah tanpa hambatan. Selain itu, dalam panduan praktis ibadah, Majelis Tarjih Muhammadiyah menekankan prinsip-prinsip yang mengutamakan penghilangan kesulitan, mempermudah, dan memberikan kegembiraan bagi semua jamaah, termasuk difabel. Dengan demikian, Muhammadiyah menunjukkan komitmennya dalam memastikan bahwa setiap individu dapat merasakan pengalaman keagamaan secara menyeluruh dan inklusif, sesuai dengan ajaran Islam yang menghargai kesetaraan dan keadilan bagi semua umat.
Dengan masih adanya tantangan aksesibilitas di rumah ibadah dan masjid bagi individu dengan difabel, tampaknya perlu ada perhatian lebih lanjut dari seluruh masyarakat, termasuk para pengelola rumah ibadah. Kita perlu menyadari bahwa inklusi sosial bagi difabel bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga hukum, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari komunitas.
Melalui upaya kolaboratif antara otoritas agama, fatwa, dan dukungan dari ulama, seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kita dapat memperkuat praktek-praktek inklusif dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks ibadah. Dengan mengikuti ajaran agama Islam yang mementingkan perlakuan setara bagi semua individu, kita dapat memastikan bahwa tidak ada yang terpinggirkan dalam komunitas kita.
Sebagai penutup, mari bersama-sama mendorong pengelola rumah ibadah untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan hak-hak difabel, sehingga mereka dapat beribadah dengan nyaman dan merasakan pengalaman keagamaan yang inklusif. Islam sudah mengajarkan toleransi terhadap difabel, melalui Kisah tentang Abdullah bin Ummi Maktum dalam surah ‘Abasa menjadi pengingat bahwa bahkan Nabi Muhammad sendiri diajarkan oleh Allah untuk memperhatikan kehadiran dan kebutuhan sahabat tunanetra. Hal ini menegaskan pentingnya sikap inklusif dan kepedulian terhadap difabel sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua individu, tanpa memandang status atau kondisi mereka. Hanya dengan kerjasama dan kesadaran bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih ramah dan berkeadilan bagi semua individu, termasuk untuk teman-teman difabel.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan Arief
Sumber:
- [Fud UINSAID: Masjid Ramah Difabel: Dari Fikih ke Praktik Aksesibilitas](https://fud.uinsaid.ac.id/akasia/index.php?p=show_detail&id=8921&keywords=)
- [NU Online: LBM PBNU Rancang Materi Fiqih Disabilitas Mental](https://www.nu.or.id/nasional/lbm-pbnu-rancang-materi-fiqih-disabilitas-mental-dckL4)
- [Muhammadiyah.or.id: Rangkuman Putusan Munas Tarjih ke-31 Tahun 2020](https://muhammadiyah.or.id/2020/12/rangkuman-putusan-munas-tarjih-ke-31/)