Views: 38
Solidernews.com. INKLUSI sosial bagi penyandang disabilitas (difabel), dapat dipromosikan melalui aksi-aksi sederhana, yang muncul dari interaksi difabel dengan elemen sosio-kultural, di Kampung Kota.
Kampung kota adalah tipe permukiman khas, yang dibangun secara swadaya oleh migran dari pedesaan. Hunian di kampung kota, memiliki setting informal. Warga kampung kota memiliki otonomi menentukan lingkungan kehidupan mereka.
Secara geografis, kampung kota memiliki karakteristik yang beragam. Contohnya, Kampung Ledok Code di Yogyakarta, yang berasosiasi dengan Sungai Code dan Kampung Nelayan Kenjeran, yang memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir di Surabaya, Jawa Timur.
Ngalah mendorong inklusi sosial
Ngalah (mengalah dalam bahasa Indonesia baku), merupakan salah satu praktik tertinggi dalam kultur masyarakat Jawa. Budaya ini menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.
Salah seorang pengguna kursi roda, Yuni usia 55 tahun. Dia bercerita, ketika seorang diri pergi ke berbagai lokasi dan melewati gang-gang kampung, pengendara sepeda motor mengalah dan memberikan ruang, agar ia dapat lewat terlebih dahulu.
“Kalau ada motor atau mobil, mereka berhenti atau pelan-pelan (memberi jalan)”, tuturnya dalam sebuah sesi wawancara.
Pengalaman bertemu pengendara sepeda motor dengan sikap positif ini memberikan rasa aman ketika ia beraktivitas di luar rumah.
Pengalaman di atas sangat kontras dengan apa yang dituturkan oleh Nenti (40). Ia merasa tidak aman dan takut ketika bertemu dengan pengendara sepeda motor, sebab pengalaman buruk yang pernah ia alami.
Tak mampu berjalan cepat karena menggunakan tongkat, ia merasa sering dianggap mengganggu arus lalu lintas. Pengendara sepeda motor kerap mengejek dan membunyikan klakson sebagai tanda untuk menepi agar kendaraan dapat lewat. Pengalaman ini membuatnya enggan beraktivitas luar rumah pada siang hari, saat lingkungan kampung ramai. Takut hal serupa terulang kembali.
Kedua cerita di atas menggambarkan bahwa perilaku ngalah dapat mengakomodasi munculnya sikap positif dan afektif dari orang lain. Sikap inilah yang akan mendorong inklusi sosial dan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Ngalah, juga menutup pintu terjadinya eksklusi bagi difabel beraktivitas di area publik.
Sebaliknya, praktik-praktik negatif, yakni mengejek dan membunyikan klakson di jalan, akan mendorong eksklusi bagi difabel. Praktik ini juga membuat difabel merasa tidak diinginkan kehadirannya, di komunitas atau lingkungan sekitarnya.
Perilaku ngalah juga dapat diterapkan dalam konteks lain. Contoh, dengan memprioritaskan tempat duduk bagi difabel di transportasi umum atau mempersilakan mereka masuk terlebih dahulu ke tempat ibadah.
Cara-cara sederhana ini merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat orang dengan difabilitas. Sehingga mereka dapat menjadi bagian dari komunitas masyarakat secara utuh.
Saling menciptakan relasi sosial
Saling dapat diartikan sebagai aksi timbal balik yang dilakukan antar individu. Sebagaimana praktik peduli sesama atau tolong-menolong. Saling percaya, merupakan nilai etika standar yang semestinya dipraktikkan. Baik oleh warga difabel maupun bukan difabel.
Saling bukan hanya membuka ruang bagi difabel mendapatkan asistensi baik dari anggota keluarga, teman, atau tetangga di sekitar rumah. Dengan saling, difabel juga mendapatkan dukungan untuk menegosiasi hambatan sehari-hari.
Menurut Yuni, warga kampung yang peduli dengan difabel ditandai dengan aksi-aksi baik yang mereka terima. Di antaranya, kerelaan memberi jalan, mengantar ke pasar, atau sekedar menyapa saat berpapasan.
Kebaikan-kebaikan yang diterima difabel, kata Yuni, merupakan cerminan hubungan atau relasi sosial mereka dengan warga. Hal ini, akhirnya menumbuhkan kepercayaan. Sekaligus berkontribusi meningkatkan ikatan warga masyarakat difabel dengan warga di kampungnya.
Maklum, eksklusi samar
Maklum atau permakluman, merupakan kata yang kerap digunakan, dalam menggambarkan sikap warga yang mempersilakan difabel tidak menghadiri aktivitas kampung. Gotong-royong, kerja bakti, pengajian, dan arisan, sebagai contoh.
Bejo (83). Ia mengaku pernah mendapatkan undangan rapat warga, namun ia tidak diharuskan untuk datang. “Tadi malam ada pertemuan (RT), saya sudah enggak pernah datang. Masih mendapat undangan, tapi dengan pesan enggak datang gak papa. Seumpama mau datang ya boleh”, katanya.
Sedang Widi (65), mengatakan bahwa ia selalu hadir dalam gotong-royong, meski perannya hanyalah sebatas penonton, tidak sebagai warga aktif. Karena memiliki hanbatan mobilitas, warga memintanya untuk sekadar duduk dan mengobrol dengan warga lain. Widi, mengatakan sesungguhnya jika diberi kesempatan, dirinya mengaku bisa membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ringan.
Pemakluman, atau maklum dengan kondisi atau keadaan seseorang, menjadi hal yang umum dalam kultur masyarakat Jawa. Akan tetapi, pemakluman menjadi faktor yang dapat melanggengkan eksklusi secara samar bagi warga masyarakat difabel. Karena mereka tidak diekspektasikan untuk hadir dan berpartisipasi secara aktif pada berbagai kegiatan.
Melibatkan difabel sesuai kemampuan secara aktif dalam berbagai kegiatan, perlu dilakukan. Hal ini untuk menghindari menguatnya rasa ketidakberdayaan, menjadi beban, serta putusnya ikatan sosial mereka, dengan warga di lingkungan tempat tinggal.
Catatan pembelajaran
Membangun kota inklusif, hendaknya tidak hanya berorientasi pada infrastruktur saja. Namun juga mempertimbangkan signifikansi aspek sosio-kultural yang dimulai dari bawah. Meski hingg kini, konsep kota inklusi masih beragam, aspek sosio-kultural menjadi penting untuk dipertimbangkan. Mengingat, hubungan dan interaksi sosial masih dipandu oleh nilai-nilai kultural.
Catatan ini menjelaskan bagaimana interaksi antara difabel dengan faktor sosio-kultural dapat mewarnai narasi inklusi dan eksklusi. Secara praktis, catatan ini dapat menjadi referensi, bagaimana menciptakan kota inklusif bagi difabel dengan mempertimbangkan konteks lokal.
Peran serta warga pada umumnya melalui aksi-aksi sederhana, sikap positif dan afektif, serta memberikan kesempatan kepada difabel berpartisipasi aktif dalam kegiatan, merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keterbauran dan inklusi sosial.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief