Views: 47
Solidernews.com – Tahun 2024 menandai momen penting dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) dengan tema “Amplifying the Leadership of Persons with Disabilities for an Inclusive and Sustainable Future” atau dalam Bahasa Indonesia, “Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan”. Tema ini menekankan pentingnya peran kepemimpinan para difabel dalam menciptakan dunia yang lebih inklusif. Namun, di balik semangat tersebut, masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para difabel, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat perhatian pemerintah.
Salah satu kisah nyata datang dari Julham Adam, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) di Maluku Utara. Dalam wawancara eksklusif bersama solidernews.com, Julham mengungkapkan pandangannya tentang tema HDI tahun ini yang dianggapnya relevan, tetapi menyisakan pertanyaan besar terkait bagaimana mewujudkan kepemimpinan yang efektif bagi difabel di daerahnya.
Perjuangan Julham sebagai Pemimpin Difabel
Julham berbagi kisah saat pertama kali diangkat menjadi Ketua DPD Pertuni Maluku Utara. Sebagai difabel netra yang baru saja memasuki dunia difabel, ia mengaku merasa bingung dengan tanggung jawab besar yang harus diembannya. “Saat itu, saya belum memahami banyak tentang dunia difabel, apalagi cara mengelola organisasi,” ujarnya. Namun, keterbatasan tersebut tidak membuatnya berhenti berjuang. Dengan tekad kuat, ia belajar dari teman-temannya yang lebih berpengalaman dalam organisasi.
Sayangnya, semangat Julham sering kali berbenturan dengan minimnya dukungan dari pemerintah daerah. Proposal yang diajukan untuk mendapatkan dukungan dana organisasi hingga kini tidak mendapat tanggapan. “Kami tidak tahu dana daerah itu digunakan untuk apa. Katanya dana sudah habis, tetapi kami tidak tahu ke mana perginya,” kata Julham. Ia juga mencurigai bahwa anggaran tersebut lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik praktis, meninggalkan perjuangan para difabel di Maluku Utara tanpa solusi konkret.
Hambatan dalam Mengakses Dukungan dan Pelatihan
Tak hanya pemerintah daerah, pengalaman pahit juga dirasakan saat Julham dan timnya mencoba mengajukan proposal bantuan ke beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia bercerita, “Proposal yang kami ajukan sempat diklaim hilang oleh pihak BUMN. Kami harus mengajukannya ulang, dan hingga kini belum ada kepastian.”
Selain itu, Julham juga mengupayakan pelatihan komputer bicara untuk difabel netra di Maluku Utara melalui Balai Wasana Bahagia Kemensos. Namun, lagi-lagi, ia menghadapi kendala birokrasi. Pihak balai berdalih bahwa fasilitas pelatihan belum memadai dan harus menunggu arahan dari pusat. Bahkan saat ia mengajukan dana untuk pelatihan daring, kepala balai tidak dapat ditemui karena menghadiri acara HDI di Jakarta.
Ketimpangan Perhatian di Indonesia Timur
Kisah Julham menggambarkan betapa beratnya perjuangan para difabel di wilayah timur Indonesia. Ketimpangan perhatian antara pusat dan daerah menjadi kenyataan pahit yang sulit diabaikan. “Miris memang,” ujarnya, “perhatian pemerintah pusat masih minim, bahkan pemerintah daerah pun seakan tutup mata terhadap kebutuhan kami.”
Namun, di tengah semua keterbatasan, Julham tetap memiliki harapan. Ia berharap pemerintah yang baru akan lebih peduli terhadap perjuangan para difabel, khususnya difabel netra, yang menurutnya masih minim mendapatkan perhatian dibandingkan kelompok difabel lainnya seperti tunarungu atau difabel fisik.
Pesan Harapan untuk Pemerintah Baru
Melalui wawancaranya dengan solidernews.com, Julham menyampaikan pesan yang mendalam:
“Melalui media ini, saya berharap pemerintahan baru di pusat dapat memberikan perhatian lebih kepada kami di Maluku Utara, terutama untuk teman-teman tunanetra. Perhatian terhadap kelompok kami sangat minim, bahkan hampir tidak ada sama sekali.”
Refleksi untuk Masa Depan
Perjuangan Julham dan teman-teman difabel di Maluku Utara adalah potret nyata tantangan yang dihadapi oleh komunitas difabel di Indonesia. Semangat mereka untuk terus bertahan dan berjuang meski minim dukungan patut diapresiasi dan dijadikan bahan refleksi bagi para pemangku kebijakan.
Sudah saatnya regulasi dan kebijakan yang diciptakan benar-benar mengedepankan kesetaraan di segala lini tanpa membeda-bedakan kelompok. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus melihat perjuangan seperti yang dilakukan oleh Julham sebagai panggilan untuk bertindak nyata, bukan sekadar wacana di atas kertas.
Semoga ke depannya, kisah seperti ini tidak lagi menjadi cerminan ketidakadilan, melainkan inspirasi untuk menciptakan masa depan yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan.[]
Reporter: Andi Syam
Editor : Ajiwan