Views: 8
Solidernews.com – Difabel sering kali menjadi korban dari suatu tindak pidana, termasuk sebagai korban kekerasan seksual.
Contoh kasus pada 2022 lalu, di Jawa Barat, tidak kurang dari dua puluh kasus yang ditangani kepolisian korbannya adalah masyarakat difabel. Data korban tindak pidana yang dialami difabel di semua jajaran Polda Jawa Barat bermacam-macam, pun demikian dengan ragam jenis kedifabelannya, seperti Tuli bahkan difabel Mental.
Korban pada umumnya adalah perempuan difabel dan hanya tercatat satu orang difabel laki-laki berusia anak. Usia para korban juga cukup beragam, yang paling muda sebelas tahun hingga paling tua berusia empat puluh tahun. Data lain menunjukkan, korban difabel ini didominasi oleh korban tindak pidana pemerkosaan.
Secara kebijakan yang berlaku, hukuman dapat dijerat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
Pasal dalam KUHP yang dikenakan kepada para pelaku antara lain:
Pasal 285: ‘Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya besetubuh dengan dia diluar pernikahan dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
Pasal 286: ‘Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.’
Pasal 289: ‘Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.‘
Pasal 290, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (1) barang siapa melakukan perbuatan cabuul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; (2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin; (3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, pasal 81 dan Pasal 82 yaitu sanksi berupa pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun, dan denda paling banyak lima milyar rupiah.
Namun, seiring dengan kebijakan restorative justice, kemungkinan tidak semua perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Pentingnya peran psikolog
Dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan individu difabel, baik sebagai terdakwa, maupun saksi atau korban, penting sekali untuk melibatkan psikolog. Secara umum, untuk difabel mental dan intelektual sulit membagi cerita atas apa dialaminya kepada orang lain, dalam kondisi tersebut peran psikolog sangat diperlukan.
Psikolog bertugas melakukan identifikasi dari sudut pandang psikologi agar suatu kasus menjadi terang, sehingga mampu menjelaskan runtutan latar belakang perilaku mengapa suatu kasus dapat terjadi. Pada dasarnya psikolog mendukung proses penyelidikan dan penyidikan untuk memperjelas suatu kasus, terutama kasus yang menonjol.
Saat melakukan pendampingan korban seorang difabel di tingkat penyelidikan dan penyidikan, hasil pendampingkan dapat berupa: (1) Uraian krononologis dan latar belakang munculnya perilaku. (2) Kesimpulan dan analisis evaluasi pemeriksaan oleh psikolog. (3) Dan menetapkan karakteristik berdasarkan hasil pemeriksaan.
Tindak lanjut dari laporan pemeriksaan psikologis, bila perlu penanganan akibat trauma psikis yang dialami korban, maka dirujuk ke rekanan psikolog luar untuk diberikan terapi lanjutan atau ke psikiater.
Anak dengan kedifabelan rentan alami tindak kekerasan
Studi badan kesehatan dunia WHO menyampaikan, anak dengan kedifabelan memiliki kemungkinan mengalami kekerasan 3,7 kali lebih banyak dari anak-anak yang bukan difabel.
Sedangkan menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet, menyebutkan sejumlah faktor yang menyebabkan anak-anak difabel mempunyai risiko tinggi terkena tindak kekerasan, antara lain stigma, diskriminasi dan kurangnya pengetahuan mengenai kedifabelan serta kurangnya dukungan sosial bagi mereka yang peduli terhadap anak-anak tersebut.
Dari 17 studi di antara 18.374 anak-anak dengan kedifabelan dari tujuh negara dengan pendapatan tinggi termasuk Amerika Serikat, Inggrsi dan Prancis.
Mereka yang di tempatkan dalam sejumlah institusi juga berpotensi meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan, dengan ragam difabel gangguan fisik, sensor dan intelektual, gangguan mental, dan difabel ganda. Jenis kekerasan yang dialami termasuk fisik, kekerasan seksual, pelecehan emosi dan pengabaian.
Saran beberapa tindakan yang bisa dilakukan seperti: (1) Adanya penetapan jumlah kasus dan risiko kekerasan terhadap anak-anak difabel untuk mencegah kekerasan dan pengobatan. (2) Penggunaan jasa perawat. (3) Pendidikan dari orang tua. (4) Strategi pencegahan pelecehan seksual terhadap anak-anak.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan