Views: 4
Solidernews.com – Di sela pelatihan, seorang teman memberikan buku yang belum lama Dia selesaikan bersama teman-teman penulis difabel lain di Makassar. Tanpa basa-basi, Saya segera menerimanya dengan senang hati. Setelah mengikutinya memfasilitasi pelatihan Pemantauan Hak-hak Difabel yang dilaksanakan SIGAB, kami kembali ke kamar dan mendiskusikan bagian-bagian tulisannya bersama-sama. Sebelum berpisah, Saya berjanji akan memberikan catatan kecil pada bukunya. Maka, sepulang dari Surabaya, Saya pun harus menepatinya.
Buku berjudul ‘Memenangkan Inklusi’ mengangkat sepuluh cerita pengalaman sepuluh penulis difabel. Kisah mereka bukanlah perihal baru. Itu semua telah ada di antara jutaan kisah diskriminatif yang masih terus terjadi di kehidupan sehari-hari. Kisah-kisah itu nyata dan terjadi pada orang-orang terdekat kita. Mereka adalah kisah yang kerap dibisikkan, hingga diteriakkan lantang melalui mimbar-mimbar jalan.
Sebagaimana judul yang diambil, buku 189 halaman ini berisi kisah-kisah keberhasilan individu difabel memperjuangkan diri untuk masuk ke sekolah-sekolah umum hingga perguruan tinggi di Kota Makassar. Hanya saja yang membedakan kisah mereka ini dari kisah lainnya adalah, mereka telah menuliskannya sebagai sebuah sejarah. Hemat saya sebagai pembaca, butuh keberanian dan kejujuran untuk bisa menceritakan pengalaman diskriminatif yang terjadi pada pengalaman pribadi. Apalagi mengingat pengalaman ini berkaitan langsung dengan institusi pendidikan, yang tidak hanya mereproduksi pengetahuan milik kekuasaan, tapi juga sebuah lembaga yang menjadi ujung tombak dalam menjaga ideologi negara.
Tidak hanya mengisahkan ‘kemenangan’, para penulis juga cukup berhasil membawa pembaca untuk ikut merasakan dinamika dan emosi yang terjadi dalam diri penulis ketika berhadapan dengan rentetan hambatan. Inilah yang menjadi daya tarik utama dari buku ini karena dikisahkan dan dituliskan langsung oleh difabel yang selama ini merasakan bagaimana ketidakadilan itu berlangsung. Bahkan hal kecil yang kerap dianggap sepele, faktanya turut melanggengkan stigma terhadap individu difabel. Salah satunya ketika calon mahasiswa akan memilih jurusan, dimana mereka kerap diarahkan pada pilihan Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Sedangkan sikap maupun tindakan yang mengarah langsung pada stigmatisasi kedifabelan, muncul hampir di semua kisah yang diceritakan.
Walaupun sampul dan tema buku Memenangkan Inklusi terkesan serius, ini bertolak belakang dengan apa yang ada di dalamnya. Bahasa yang para penulis gunakan lebih kekinian. Istilah kekinian tidak hanya digunakan dalam kutipan langsung, tapi juga di dalam paragraf utama sehingga kesan santai dan mengalir apa adanya begitu terasa. Buku ini sangat cocok untuk pembaca kurang memiliki waktu luang karena bisa dibaca secara terpisah di masing-masing bagian. Ini karena dari sepuluh bagian buku memuat kisah yang berbeda dan tidak saling berkaitan. Jadi tidak perlu khawatir untuk menjadikannya sebagai bacaan penyerta atau meninggalkan buku sejenak setelah menyelesaikan satu bagian.
Seperti yang telah Saya singgung sebelumnya, sepuluh kisah penulis difabel ini bekaitan langsung dengan institusi pendidikan, maka dampak yang akan ditimbulkan pun cukup besar. Hal ini tergambar jelas dari narasi praktik diskriminatif institusi pendidikan yang digambarkan para penulis dari pengalaman langsung mereka. Praktik-praktik diskriminatif tersebut oleh Syarif kemudian dipertajam lagi dengan analisis kritis menggunakan pendekatan sosial dan hak terhadap model pendidikan integratif dan pendidikan khusus. Walaupun tidak secara tegas disebutkan, buku ini sangat mungkin untuk digunakan oleh kalangan aktivis difabel dalam melakukan advokasi di ranah pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi. Lebih jauh, dengan pendekatan tersebut, para penulis sebenarnya bersepakat untuk mengubah sistem pendidikan menjadi inklusif bagi semua.[]
Penulis: Agung Prabowo
Editor : Ajiwan