Views: 8
Solidernews.com, Bantul. EKSISTENSI perjalanan bermusik seorang musisi atau kelompok musik (band), dibuktikan dengan meluncurkan album. Bagi musisi, album dapat menjadi media presentasi atas kegiatan eksperimen dan eksplorasi musik. Karenanya, album menjadi suatu langkah penting.
Pun demikian dengan kelompok musik Gandana. Kelompok musik kolaboratif ini beranggotakan enam personil. Nanang Garuda (biola), Frans (gitar), Kholis (difabel fisik) pada bas, Malik (drum), Aat dan Reza keduanya tottaly blind sebagai vokalis sekaligus fluid (seruling). Mereka membuktikan eksistensinya di dunia musik, dengan resmi merilis album perdana bertajuk On the Map. Satu album dengan tiga judul lagu, pada Minggu, (30/6/2024), di Omah Serayya, Sewon, Bantul.
Ada yang tak biasa. Kata Gandana berasal dari kata Ganda Guna. Memaknai alat bantu disabilitas dengan fungsi (guna) lainnya. Karenanya, kelompok musik ini memodifikasi berbagai alat bantu difabel menjadi alat musik. Kursi roda menjadi drum. Krug menjadi bas, gitar, biola. Dan tongkat putih menjadi seruling.
Seni dan equality
Dalam sebuah diskusi yang dikemas dalam talkshow, terkuak cerita di balik proses lahirnya Gandana. Bahwa, komposisi musik Gandana berangkat dari ide-ide musikal setiap pemain. Kemudian dikembangkan dan disusun menjadi komposisi musik. Beberapa orang yang tergabung dalam Jogja Disability Arts (JDA), bersama-sama mengawali ide pembentukan Gandana. JDA, tak lain ialah organisasi yang bergerak pada isu pemajuan seni dan difabel, di tingkat nasional dan internasional.
Tersebut di atas mengemuka dari Dewan Pembina JDA Nano Warsono. Memaknai seni sebagai koda inklusi, lanjut dia, adalah konsep awal. “Semua orang berperan dalam kebudayaan melalui seni. Karena di dalam seni terbangun equality (kesetaraan),” imbuhnya.
Seni mampu melahirkan kekuatan pemajuan kebudayaan. Dalam konsep itu, difabel sering tertinggal. Karenanya, seni dipilih sebagai salah satu media, untuk bersama-sama memajukan kebudayaan. Peran difabel tidak hanya di wilayah terpinggirkan. Tapi dalam pusaran arus utama kebudayaan.
Lanjutnya, selama ini JDA terlalu seni rupa. Sementara seni itu macam-macam. Memberi ruang lain, selain seni rupa, dilakukan JDA. “Sebelum lahir Gandana, sudah ada band Not Biru, Project End. Untuk betahan sebagai band inklusif ternyata tak mudah.
“Saat bertemu dengan eksekutornya, yaitu Mas Nanang Garuda. Barulah JDA mendapatkan pencerahan” Ujar Nano yang juga Dosen sekaligus Direktur Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta itu.
Senada dengan pernyataan di atas. Ketua JDA Sukri Budi Dharma (Butong) mengatakan, bagaimana difabel dengan beragam kedifabilitasannya mendapat ruang dan mengeksplorasi kemampuan diri, adalah poin. Di Gandana, terbangun kolaborasi etik. Kerja sama dan kerja bersama-sama, antara difabel dan nondifabel, terus ditumbuhkan.
Pada kesempatan yang sama, proses lahirnya album On the Map, dikisahkan Nanang Garuda. Ada suatu yang istimewa pada 2019, kata dia. Seseorang menyeberangi Air Terjun Niagara, melewati kawat. Sedang Gandana, menemukan peta diri sendiri.
Masuk peta musik dunia
Pemilik nama asli Nanang Rahmat Hidayat itu pun menjelaskan pemilihan tema albumnya. “Mengapa On the Map. Karena Gandana ingin masuk dalam peta musik dunia,” kelakar yang serius Nanang Garuda.
Lanjutnya, On the Map, adalah peta yang menyatukan antara yang lebih dan kurang. Menjadi ruang pertemuan inklusif. Menyatukan keberagaman (inklusif) dalam satu kesamaan berkesenian. Mengapa hanya tiga lagu dalam album perdananya? Karena kreativitas tidak usah diobral. Melainkan selektif, yang bisa dipasarkan,” ujarnya.
Tiga lagu dalam album Gandana: pertama, Gandana itu sendiri, lirik ditulis Nubuat Magribi (Aat). Kedua, Kita Semua Sama, lirik oleh Gunto, ketiga, On the Map, lagu dengan komposisi bersama.
Rumah Garuda, saat ini menjadi basecamp atau titik kumpul para personil Gandana. Mereka bertemu, berdiskusi, serta berlatih satu minggu satu kali, tiap Rabu. Basecame place Gandana: Museum Rumah Garuda Trirenggo, Bantul, Yogyakarta. Whatsaap: 0857-2853-9372 (Frans).[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief