Views: 12
Solidernews.com – Hukum merupakan pondasi utama bagi sebuah masyarakat yang beradab dan berperadaban. Sebagai suatu sistem yang mengatur perilaku dan interaksi antara individu, hukum memiliki peran yang tak terelakan dalam menjaga ketertiban, keadilan, dan keamanan.
Hukum adalah serangkaian aturan yang mengikat setiap warga negara, termasuk melekat pada masyarakat difabel. Bagi mereka, hukum bukan hanya menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga merupakan benteng perlindungan terhadap hak-hak dan martabat mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, hukum memberikan kerangka kerja yang memastikan bahwa setiap langkah yang diambil oleh teman-teman difabel dilakukan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh norma dan regulasi yang berlaku. Dengan demikian, hukum memberikan kepastian dan ketertiban dalam menghadapi tantangan sehari-hari yang mereka hadapi.
Lebih dari itu, hukum juga berperan sebagai perisai dalam melindungi hak-hak difabel. Dalam banyak kasus, mereka rentan mengalami diskriminasi, pelecehan, atau perlakuan tidak adil lainnya. Namun, dengan hukum yang ada, mereka memiliki alat untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mendapatkan perlakuan yang setara dan adil seperti warga negara lainnya.
Sebagai warga negara Indonesia, masyarakat difabel memiliki hak yang tidak boleh disepelekan atas perlakuan yang adil dan setara, sesuai dengan amanat UU No. 8 Tahun 2016. Namun, bagaimana kenyataannya di dunia profesi, terutama bagi mereka yang bercita-cita menjadi bagian dari ranah hukum?
UU tersebut tidak hanya sekadar memberikan jaminan akan perlindungan dan hak-hak di dunia kerja, tetapi juga membuka pintu bagi mereka yang ingin berperan dalam karier hukum. Pasal 3 huruf a dari UU tersebut dengan tegas menegaskan komitmen untuk memajukan hak asasi manusia secara penuh dan setara, termasuk bagi difabel yang memiliki impian untuk menjadi hakim, jaksa, atau advokat.
Namun, regulasi semata tidaklah cukup. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 memberikan landasan yang kuat bagi perlindungan terhadap teman-teman difabel dari segala bentuk diskriminasi. Ini bukan sekadar kata-kata dalam hukum, melainkan penguatan atas hak-hak yang melekat pada setiap individu, tanpa pandang fisik atau keadaan.
Perlindungan yang komprehensif terhadap difabel tidak hanya berhenti pada bidang hukum, tetapi juga mencakup aspek lingkungan dan aksesibilitas. Lingkungan yang ramah dan fasilitas umum yang mudah diakses menjadi kunci untuk memberikan mereka kesempatan yang sama untuk hidup mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat.
Dengan dasar hukum yang kokoh, difabel bukan hanya memiliki mimpi, tetapi juga memiliki hak yang dijamin oleh regulasi yang ada. Mimpi untuk menjadi bagian dari sistem peradilan bukanlah khayalan, melainkan realitas yang diamanatkan oleh undang-undang. Maka, mari bersama-sama memastikan bahwa setiap individu memiliki peluang yang sama untuk menggapai mimpi mereka, tanpa terkekang oleh apapun.
Dalam merespons pertanyaan tersebut, kita perlu mengacu pada regulasi yang mengatur tiga profesi hukum utama: hakim, jaksa, dan advokat. Tiga undang-undang yang mengatur ketiga profesi ini adalah Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dari pemeriksaan terhadap ketentuan dalam undang-undang tersebut, seharusnya tidak ada halangan bagi difabel yang ingin meniti karier dalam ketiga profesi tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, apakah difabel dapat merintis karir profesi di ranah hukum? Sebelum menjawabnya, mari kita telaah terlebih dahulu syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memasuki dunia profesi hukum. Posisi hakim di pengadilan, misalnya, memerlukan kualifikasi tertentu.
Seorang yang ingin menjadi hakim di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi harus memiliki gelar sarjana hukum serta mendapatkan pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009, syarat-syaratnya meliputi:
- Kewarganegaraan Indonesia
- Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Kesetiaan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
- Lulusan sarjana hukum
- Telah menyelesaikan pendidikan hakim
- Kesehatan jasmani dan rohani yang memadai
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik
- Usia minimal 25 tahun dan maksimal 40 tahun
- Tidak pernah dihukum penjara karena tindak pidana yang telah berkekuatan hukum tetap
Bagaimana dengan profesi jaksa? Selain memiliki gelar sarjana hukum, calon jaksa juga harus menjalani Pendidikan dan Pelatihan (diklat) yang diselenggarakan oleh Badan Diklat Kejaksaan. Persyaratan lainnya, sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, termasuk:
- Kewarganegaraan Indonesia
- Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Kesetiaan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
- Telah lulus sarjana hukum
- Usia minimal 25 tahun dan maksimal 35 tahun
- Kesehatan jasmani dan rohani yang baik
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik
- Status pegawai negeri sipil
- Telah lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa
Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, terbuka peluang bagi siapapun, termasuk difabel, untuk meniti karir dalam profesi hukum. Namun, adanya persyaratan umum dan khusus, seperti persyaratan kesehatan jasmani dan rohani, dapat menimbulkan interpretasi yang bervariasi. Penafsiran tentang kesehatan jasmani dan rohani bisa saja menjadi subjek perdebatan yang kompleks.
Dari sudut pandang penulis, kesehatan jasmani dan rohani seharusnya tidak menjadi hambatan bagi difabel yang ingin menjalani profesi hukum. Yang penting adalah kejernihan pikiran dan kestabilan mental yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas profesi tersebut. Pendapat ini didukung oleh Imran, seorang tenaga ahli dari Komisi Yudisial, yang menyatakan bahwa difabel fisik tidak akan menjadi masalah dalam menjalankan peran sebagai hakim. Namun, tantangan mungkin timbul jika difabel tersebut bersifat mental atau mengganggu keseimbangan pikiran.
Menjadi seorang hakim bukanlah tugas yang ringan. Setiap bulannya, seorang hakim harus meneliti dan mempertimbangkan ratusan putusan, menunjukkan beban kerja yang besar serta tanggung jawab yang tak terhingga.
Difabel Bisa Meniti Karir Profesi di Dunia Hukum
Penulis ingin memfokuskan tulisannya dengan menggambarkan bagaimana teman-teman difabel dapat sukses dalam karier sebagai advokat berangkat dari pertanyaan. Apakah teman-teman difabel memiliki kesempatan yang sama dalam meniti karier sebagai advokat? Pertanyaan ini memanggil untuk melihat lebih dalam dari sudut pandang regulasi profesi advokat.
Dalam meraih gelar advokat, persyaratan yang ditetapkan tidak menghalangi teman-teman difabel untuk mengejar karier ini. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain:
- Menjadi warga negara Republik Indonesia (WNI)
- Tinggal di Indonesia
- Tidak menjadi pegawai negeri atau pejabat negara
- Berusia minimal 25 tahun
- Memiliki gelar sarjana dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum
- Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat
- Melakukan magang selama minimal 2 tahun secara terus menerus di kantor advokat
- Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun
- Memiliki perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan memiliki integritas tinggi.
Dari daftar uraian tersebut, tidak ada ketentuan yang secara spesifik menghalangi teman-teman difabel untuk meniti karier sebagai advokat. Ini menunjukkan bahwa peluang tetap terbuka bagi mereka, dengan catatan mereka memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Tidak ada hambatan fisik yang menghalangi teman-teman difabel untuk meniti karier sebagai advokat, sesuai dengan UU Advokat yang tidak mengaitkan syarat fisik dalam proses pengangkatan. Ini menawarkan peluang besar bagi mereka yang memiliki semangat dan kualifikasi.
Salah satu contoh nyata adalah Moh. Sigit Ibrahim, S.H, lulusan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (UNG), yang berhasil meraih gelar sarjana dan predikat cumlaude. Dengan semangat tinggi, Sigit bahkan berhasil bergabung dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI) di usia 25 tahun, meskipun ia adalah difabel fisik. Selain itu, Sigit juga merintis program Rumah Inovasi Difabel (Rumivabel), yang memberikan fokus pada kaum difabel.
Cerita lain datang dari Sugianto Sulaiman, difabel netra, yang mengubah pandangan dan karier setelah mengalami musibah pada matanya. Meskipun awalnya memiliki kebencian terhadap profesi advokat, Sugianto akhirnya menemukan panggilannya setelah pengalaman di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski menyadari tantangan nyata, tekadnya untuk membantu yang tidak mampu serta golongan yang terpinggirkan tidak pernah luntur.
Dua contoh difabel yang sukses di profesi hukum ini memperlihatkan bahwa semangat, keyakinan, dan tekad kuat dapat mengatasi segala rintangan. Teman-teman difabel memiliki potensi yang sama untuk menjadi advokat yang sukses, membela keadilan dan hak asasi manusia. Mereka adalah bukti hidup bahwa ketika ada kemauan, ada jalan untuk mewujudkan impian di dunia advokasi.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan Arief