Views: 9
Solidernews.com. Kehadiran negara dapat diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan. Satu bentuk implementasi negara memenuhi tanggung jawab dan kewajiban bagi warganya. Di antaranya dalam menjaga dan melindungi hak-hak warga, menjaga hubungan antar manusia dalam bermasyarakat, atau mengatur penyelesaian sengketa. Setiap peraturan di dalamnya ada konsekuensi, setiap orang harus patuh pada hukum perundang-undangan.
Ketidakpatuhan seseorang pada hukum, dapat mengantarkannya pada lembaga pemasyarakatan (LP). Tempat bagi siapa saja pelanggar hukum, tanpa kecuali ketika mereka adalah difabel. LP bertanggung jawab melakukan pembinaan, pendidikan, bimbingan sosial kerohanian. Termasuk melengkapi LP dengan berbagai fasilitas, sesuai kebutuhan.
Bagaimana aksesibilitas di dalam LP, ketika seseorang difabel berhadapan dengan hukum dan berada di dalamnya? Bagaimana pun hak hidup mandiri di dalam LP, semestinya juga bisa didapat oleh seorang difabel yang terpidana.
Tersebut di atas sedang diperjuangkan Komite Disabilitas Daerah (KDD) Nusa Tenggara Barat (NTB), Joko Jumadi. Terkait kasus yang menjerat difabel fisik dengan inisial A, yang kini tengah menjalani proses hukum.
Melalui sambungan seluler, Ketua KDD itu menegaskan pentingnya pendekatan berimbang dalam menangani kasus tersebut. Yakni, melindungi hak-hak korban tanpa mengabaikan hak tersangka.
“Kami mendampingi tersangka dalam kapasitas KDD. Tetapi untuk laporan tambahan, kami alihkan ke lembaga perlindungan anak,” ujarnya pada solidernews.com, Kamis (12/12/2024).
Lanjutnya, KDD bersama lembaga perlindungan anak, kini fokus pada identifikasi korban baru. Termasuk melakukan penelusuran wilayah, serta verifikasi nama-nama yang telah terdeteksi. Langkah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan maksimal bagi korban, sekaligus memastikan penyelidikan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan. Termasuk anak-anak dengan difabilitas. Joko yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) itu, menyerukan kerja sama berbagai pihak dalam penanganan kasus A, secara transparan dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
“Jika A pahitnya harus masuk penjara, bagaimana memenuhi haknya, ini kami pikirkan. Tapi, kami juga tidak boleh mengabaikan haknya korban. Untuk korban kami mereferensikan kepada lembaga layanan yang lain,” ujar Joko.
Pada kesempatan lain, solidernews.com berhasil melakukan wawancara dengan Founder LIDI (Lombok Independent Disability Indonesia), Lalu Wisnu Pradipta. Terkait sisi pemenuhan hak disabilitas yang berhadapan dengan hukum, pria dengan kursi roda itu mengaku belum begitu siap. Namun, bagi pria berkursi roda itu, keadilan bagi difabel berhadapan dengan hukum harus ditegakkan.
Kini organisasinya juga sedang melakukan pendampingan kasus difabel sebagai korban pelecehan seksual. Saat ini sedang dalam proses, dengan korban difabel psikososial.
Terkait A tersangka pelecehan seksual, dia bicara bahwa hukum harus tegak dan ditegakkan. Apakah itu kepada difabel atau non difabel. A ini, dapat dibilang predator, kata dia. Karena dalam satu bulan korbannya lebih dari lima. Hingga saat ini korban yang muncul dan melapor hampir 20-an. Bisa jadi lebih dari itu. Namun, masih ada korban yang tidak mau speak up karena berbagai alasan. Ada yang ketakutan, malu namanya tercemar, kehilangan harga diri.
Kepada lembaga penegakkan hukum, kepolisian dalam hal ini. Lalu berpandangan bahwa kepolisan harus hati-hati. Karena fasilitas (aksesibilitas) penegak hukum belum lengkap.
Namun, terkait A yang memprofikan dirinya, tidak bisa mandiri. Itu tidak benar. A yang mengaku tidak bisa melepas dan memakai baju sendiri. Kesehariannya masih dibantu orang tua. Itu hanya kata si A, alibi.
“Kalau dia di penjara, apa harus dipenjara dengan orangtuanya? Agar ada yang bisa membantu. Ini hanya alibi yang dibuat A saja. Karena sesungguhnya dia difabel sejak lagir, sehingga sangat mandiri. Dia mandiri. Bisa buka baju, minum, makan, menulis dan lain-lain. Kepolisian tidak perlu menyiapkan pendamping yang akan mengurus A di dalam penjara. Karena dia surive,” tegas Lalu Wisnu.
Catatannya, jika A terbukti bersalah, hak-hak sebagai difabel ya harus disiapkan. Bahwa A ini masih anak. Terlepas dia salah atau bener. A ini anak muda punya talenta. Bagaimana dengan masyarakat, apakah menerima dia atau tidak.
“Jika A memang harus dipenjara, dia dapat pembinaan dan pendampingan secara khusus. Sehingga siap kembali ke tengah masyarakat dan keluarga, dengan kondisi yang berubah 180 derajat. Perilakunya sudah benar-benar baik,” harap Lalu Wisnu.
Penerimaan masyarakat
Karena saya berpendapat, banyak yang dari penjara akan kembali lagi ke penjara. Karena faktor penerimaan dari masyarakat. Secara sosial, apa yang dilakukan A ini tidak 100 persen bisa disalahkan kepada A. Ini kesalahan keluarga dan masyarakat. Bullying. Hal ini juga dialami si A. Ejekan yang juga terjadi pada difabel lainnya. Bagaimana perasaan A yang dibully, saya sebagai difabel juga merasakannya.
“Difabel itu dapat bully-an, cemooh, itu benar yang kami terima. Contohnya: siapa sih yang suka sama kamu? Yang mau mennikah dengan kamu? Bisa jadi difabel tidak merespon saat dibully. Tapi memendamnya. A, salah satunya. Bisa jadi dia sedang balas dendam. Atau menunjukkan bahwa dia mampu menjawab berbagai bulian yang ditujukan padanya.
Mengakhiri wawancara, Lalu Wisnu mengatakan, “Ini yang membuat saya harus berdiri di tengah-tengah. Perbuatan A memang negatif. Dan dia tidak pernah bisa kembali ke masa lalu. Bagaimana pada masa depan, A bisa kembali ke keluarga dan masyarakat dengan kondisi yang jauh lebih baik, ini yang dalam pemikiran saya,” pungkasnya.
Hukum Indonesia
Hukum di Indonesia yang mengatur perlindungan penyandang disabilitas, di antaranya: pertama, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas: Mengatur hak keadilan dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas.
Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. PP ini mengamanatkan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan akses terhadap keadilan yang sama dengan warga negara lainnya.
Tiga, pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945): menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Dalam proses peradilan, lembaga penegak hukum wajib menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Di antaranya: ruangan yang sesuai standar, sarana transportasi yang mudah diakses, fasilitas yang mudah diakses. Selain itu, penyandang disabilitas juga memiliki hak-hak lain, antara lain: (1) hak untuk hidup; (2) bebas dari stigma; (3) hak privasi; (4) pendidikan; (5) kewirausahaan; serta (6) koperasi.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan