Views: 30
Solidernews.com –Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum mengesahkan aturan turunan di bawahnya yakni Peraturan Pemerintah yang menjadi amanat. Padahal pasca disahkan, maksimal dua tahun, harus memiliki aturan turunannya. Seperti diketahui Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, salah satu rekomendasinya adalah agar pemerintah menandatangani dan mengesahkan 6 peraturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebelum 9 Mei 2024 sebagaimana batas waktu yang dimandatkan.
Pada 23 Januari lalu rupanya telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual. Namun begitu masih ada suara sumbang bahwa terbitnya Perpres ini tanpa melibatkan organisasi difabel.
Lantas bagaimana posisi perempuan dan anak difabel sebagai korban? apakah selama ini hak-haknya telah terpenuhi? Dalam webinar yang dihelat oleh Sapda, Jumat (15/3) Nena Hutahaean dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengatakan bahwa setelah dua tahun lahirnya UU TPKS hasilnya masih mengecewakan karena aturan belum berlaku kalau belum ada aturan di bawahnya (PP). Bahkan di Simfoni-PPA kekerasan seksual hampir 65% terjadi dari 3000an lebih kasus tetapi data korban difabel tidak jelas. Ia memberikan poin 5 (1-10) untuk implementasi UU TPKS sebab semakin tinggi angka TPKS tetapi angkanya tidak jelas, artinya tidak ada data tunggal.
Menyoal bagaimana jika difabel sebagai pelaku? Restoratif Justice (RJ) menurutnya bukan menyetop perkara tetapi merestorasi keadaan, hingga mengetahui siapa yang perlu didengar? yakni suara korban. Berlatar belakang bahwa bila pelaku adalah difabel psikososial atau difabel mental yang mengalami gangguan secara episodik PJS menolak keberadaan psikiater yang terang-terangan menggunakan obat satu-satunya Akomodasi Yang Layak (AYL). Menurut Nena, AYL bagi difabel psikososial adalah waktu. Seyogyanya mereka diberi waktu hingga bisa menjawab setiap pertanyaan.
Jika difabel sebagai pelaku kekerasan seksual maka tetap berikan AYL agar perlu memastikan benarkah dia melakukan itu, artinya bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah benar tindak kekerasan. Apakah pemahaman mereka memadai. Apakah pemahaman tentang kekerasan seksual, ketubuhan juga mereka miliki. Apalagi untuk difabel intelektual yang memerlukan bahasa sederhana guna memahami bagaimana dengan ketubuhan. Ini penting walau dia pelaku kekerasan seksual. Artinya dia dijamin dulu dengan AYL. Jangan sampai terjadi kita menghukum seorang yang tidak memiliki pemahaman tentang apa yang dilakukannya.
Nena berharap di dalam penyusunan PP, juga libatkanlah OPDis, populasi kunci dan jangan hanya dibahas sendiri. Pihaknya tengah mengirimkan dokumen apa yang menjadi kebutuhan difabel termasuk AYL sebab menurutnya apa pun itu tanyakan langsung kepada difabel atau kelompok yang dihadapkan. Difabel tidak bisa diwakili Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Komnas Disabilitas (KND), sebab mereka bukan representasi dari difabel.
Maria Un, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan di kesempatan sama menyatakan keterlibatan lembaganya 3 tahun sebelum disahkammya UU TPKS dan secara aktif mempelajari draft yang dibuat agar segala hambatan yang dialami selama proses pendampingan betul-betul terjamin.
Menurutnya sejak diundangkan Mei 2020 ia sebagai pendamping kasus menyatakan belum ada perubahan, naik sebelum dan sesudahnya terutama untuk menjemput keadilan anak perempuan dan perempuan difabel. Pihaknya saat ini mendampingi 4 kasus kekerasan seksual, 3 korban adalah anak difabel dan mengandung sampai hamil serta melahirkan. Bayi diasuh oleh ibu korban. Sebagian besar korban adalah difabel intelektual dengan berbagai derajat. Selain itu juga ada kasus korban anak Cerebral Palsy yang dilakukan oleh tetangga, kenalan dari ayah tirinya. Empat kasus ini semua dalam proses kepolisian dan ada yang belum proses karena pelaku dirawat di RSJ. Serta ada kasus korban pindah ke tempat lain dan pelaku ayahnya sendiri. Artinya belum ada perubahan dengan UU TPKS.
Menurutnya perspektif disabilitas masih perlu untuk dioptimalkan sehingga ketika ada kasus pada perempuan dan anak difabel dalam putusannya memakai UU TPKS.
Ia memberikan poin 5 (1-10,) dan menurutnya kalau melihat pasal 3 tujuan UU TPKS sudah mencakup bagaimana pemenuhan, pencegahan proses hukum dan lingkungan yang tercipta tanpa kekerasan seksual dan menjamin tidak terjadi kekerasan seksual baik pelaku yang sama atau berbeda.
Dilihat dari pidananya, Pasal 15 terdapat penambahan sepertiga pidana apabila dilakukan di dalam keluarga. Difabel perempuan. atau anak perempuan difabel salah satu pelakunya orang-orang yang seharusnya memberi perlindungan kepadanya. atau tenaga pendidik yang harusnya memberikan perlindungan. Dengan ditambahnya hukuman 1/3. UU TPKS harusnya sudah menjamin perempuan difabel, lalu bagaimana pemahaman para aparat penegak hukum dan semua pihak yang terlibat dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Dewi Tjakrawinata, pegiat isu difabel menyatakan senada bahwa implementasi UU TPKS belum sepenuhnya terimplementasi. Sebagai pegiat dari difabel intelektual terutama sindroma down pihaknya merasa prihatin sebab pengetahuan tentang kekerasan seksual itu tidak ada pada difabel intelektual karena kurangnya informasi yang bisa mereka serap. Ia prihatin sebab bahasa-bahasa kebijakan adalah bahasa hukum yang kaku, sulit dimengerti oleh difabel intelektual. Apalagi terkait kekerasan seksual.Dari pengalamannya mengajar anak-anak dengan sindroma down, Dewi bahkan akhirnya menyadari bahwa orangtua mereka pun sebaiknya juga terpapar informasi tentang kesehatan reproduksi.
UU TPKS yang Progresif
Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas mengatakan terkait terobosan baru bagi difabel adalah : 1. hak pemulihan psikis dan mencegah pengulangan . 2. delik biasa. 3. restitusi. 4.Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan secara mekanisme sosial atau adat. 5. hak didampingi saksi dan saksi ahli 6. Pencegahan dengan pendidikan.
Rainy menambahkan dampak yakni menurutnya jika makin banyak pelaporan masyarakat dan masih kenal maka akan terakomodir pada semua elemen kunci. Dan yang penting adalah implementasinya, dan alokasi anggaran, misal jangan sampai ada lebih banyak korban difabel.
Ia juga berharap agar masing-masing OPDIs membuat laporan bersama sama misalnya antara Ciqal dan Sapda.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan