Views: 48
Solidernews.com – Dalam budaya Tuli, ketulian seorang individu tidak dipandang sebagai kekurangan atau keterbatasan. Melainkan adalah sebuah identitas, nilai, keberagaman cara berkomunikasi manusia. Maka dari itu bahasa isyarat hadir dan menjadi hal yang sakral di dalam gerakan difabel. Bahasa isyarat tidak menandakan sesuatu yang lemah dan berkekurangan, melainkan keberagaman cara berkomunikasi. Posisi bahasa isyarat harusnya diletakkan sederajat dengan bahasa indonesia, malaysia, belanda dan lain sebagainya. Alih-alih dipandang sebagai sesuatu yang hadir untuk mengatasi keterbatasan seorang individu.
Sayangnya di masyarakat luas, ketulian seorang individu masih sering dipandang sebagai kekurangan dan keterbatasan. Bahkan di tingkat perguruan tinggi sekalipun, difabel Tuli kerab dihambat oleh terbatasnya cara berkomunikasi yang difasilitasi oleh kampus dan tenaga pendidik.
Di Makassar, satu-satunya universitas yang memiliki jurusan pendidikan luar biasa bahkan memiliki catatan pernah melakukan diskriminasi bahasa terhadap mahasiswanya. Di mana seorang mahasiswa tidak dibolehkan untuk menggunakan juru bahasa isyarat (JBI) dalam proses ujian.
Universitas Hasanuddin, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, secara resmi dan terbuka memproklamirkan diri mereka sebagai kampus inklusif. Bukan hanya menghadirkan jalur khusus penerimaan mahasiswa difabel, tetapi juga menghadirkan Pusat Disabilitas (Pusdis) yang berwenang untuk memastikan segala bentuk pembangunan di dalam kampus berdasar pada prinsip pembangunan inklusif, dan tidak ada satu pun mahasiswa difabel yang tidak mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Mengingat peristiwa pelarangan menggunakan JBI di kampus lain itu, Pusdis Universitas Hasanuddin pun mengadakan Kampanye Tuli, yang dilaksanakan pada hari Jumat, 8 November 2024. Ini adalah langkah prepentif yang ditempuh Pusdis Universitas Hasanuddin, untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak mahasiswa Tuli. Dengan mengajak semua orang terbuka untuk hidup berdampingan dengan bahasa isyarat dan mengajak setiap orang di dalam kampus untuk mengakui keberagaman berbahasa, Pusdis Universitas Hasanuddin berharap tidak akan ada penolakan JBI terjadi di dalam “kampus merah”.
Kampanye Tuli berlangsung di setiap fakultas di Universitas Hasanuddin, tidak terkecuali fakultas teknik yang berada di luar kota Makassar. Tim Pusdis terdiri dari mahasiswa difabel dan relawan teman difabel. Rombongan dengan poster dan spanduk ini menghampiri beberapa titik lokasi yang ramai, lalu mulai berkampanye. Tentang budaya Tuli, posisi bahasa isyarat, keahlian seni yang dimiliki Tuli dan keinginan-keinginan komunitas Tuli untuk terus maju.
“Kampanye Tuli berjalan cukup bagus, di setiap lokasi cukup banyak mahasiswa dan tenaga pendidik yang antusias. Bahkan salah satu fakultas menjamu tim Pusdis dengan kue-kuean dan sambutan hangat. Semoga lebih banyak orang yang menyadari keberadaan mahasiswa Tuli di Unhas,” ucap Muhammad Ilham, kordinator lapangan Hari Disabilitas Internasional Universitas Hasanuddin.
Sampai dengan sekarang, di kota Makassar, belum ada perguruan tinggi yang secara resmi dan konsisten menyediakan juru bahasa isyarat bagi mahasiswa Tuli yang berkuliah di lembaga mereka. Universitas Hasanuddin, sebagai perguruan tinggi terbaik di kawasan Indonesia Timur pun belum sampai ke tahap penyediaan JBI bagi mahasiswa Tuli, meski sampai dengan sekarang telah memiliki enam mahasiswa Tuli. Penyediaan juru bahasa isyarat harusnya menjadi perhatian setiap kampus yang memiliki mahasiswa difabel. Karena kuliah di kampus yang tidak menyediakan juru bahasa isyarat bagi Tuli sama dengan tidak memberi mahasiswa Tuli kesempatan untuk mendapat informasi yang sama dengan informasi yang didapatkan oleh mahasiswa lain.
“JBI itu penting sekali menurutku. Dengan adanya JBI di kampus, khususnya di kelas-kelas yang ada mahasiswa Tulinya, akan sangat membantu mahasiswa Tuli untuk memahami konteks materi dan dapat terlibat aktif berinteraksi ke dosen dan mahasiswa lain. Tulinya pun akan merasa keberadaannya dihargai dan haknya diakui sebagai bagian dari kelompok atau komunitas akademik,” ujar Andi Kasri Unru (aktivis Tuli, founder Idhola) dalam wawancara online yang dilakukan penulis pada Jumat, 15 November 2024.
Kampanye Tuli yang diselenggarakan oleh Pusdis Universitas Hasanuddin hanya berlangsung satu hari. Tapi keyakinan atas pengakuan budaya Tuli dalam kampus diharapkan akan tumbuh dalam waktu dan ruang yang tak terbatas. Bukan hanya Unhas, tapi seluruh universitas di dunia ini harus mulai mengakui budaya Tuli serta mulai menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi mahasiswa Tuli.[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan