Views: 6
Solidernews.com –KONSEP diri merupakan satu dari aspek dari keberadaan diri di tengah-tengah lingkungan sosial. Konsep diri, di sini bukan mengenai individu atau diri sendiri yang terisolasi dari dunia luar. Konsep diri dimaksud, ialah pembentukan identitas diri. Bagaimana seseorang berpikir mengenai diri sendiri, di tengah-tengah suatu kelompok atau lingkungan sosial.
Persoalan diri yang berada dalam lingkungan sosial ini disebut sebagai diri-sosial atau social-self. Konsep diri, adalah mengenai bagian dari siapakah diri seseorang. Bagaimana seseorang berpikir tentang diri sendiri, yang ditentukan oleh identitas kolektif, yang disebut sebagai diri social (social self). Konsep diri merupakan salah satu bagian dari diri-sosial yang terdiri atas: konsep diri, harga diri, kesadaran diri, presentasi diri, dan pengungkapan diri.
Di atas mengemuka dari Alabanyo Brebahama. Seorang Low Vision, Master Psikologi sekaligus Psiklolog, Dosen Psikologi Universitas Yarsi. Dia menyampaikannya dalam sebuah webinar, yang dihelat Mitra Netra, Sabtu (11/5/2024), dalam topik Bincang Daring Mitra Netra.
Konsep diri dibangun atas fakta, bukan opini dan judgement (pelabelan) yang diberikan orang lain. Lanjut Alabanyo. Konsep diri, kata dia, lebih fokus pada informasi faktual. Dibentuk oleh informasi objektif, yang lahir oleh diri dan lingkungan sekitar kita.
“Pahami diri sendiri (knowing yorself). Baik secara fisik, kondisi dan keberfungsian organ. Secara psikologis, kita masih punya daya tangkap dan minat. Apakah kita ini seorang yang rendah diri (introvet) atau terbuka (ekstrovet). Orang yang suka bekerja di belakang layar, mudah mengingat. Ada pun konsep diri secara sosial, apakah kita punya teman, tapi sedikit kualitasnya,” paparan Alabanyo.
Bedakan dengan citra diri (identitas), lanjut dia. Karena citra diri bisa rapuh, ketika dibangun hanya karena populariutas dan folower, bukan pada kualitas yang ditampilkan. Singkatnya, tandas Alabanyo, ketika bicara konsep diri, fokusnya pada fakta objektif. Harus mengenal kekuatan dan kelemahan (strenghtness and weakness) diri.
Bagaimana membangunnya?
Bagaimana ketika seseorang membangun kosep diri tidak berdasar fakta, dampaknya apa? Sebuah pertanyaan dilemparkan kepada peserta. Otiomatis penilaian dan reaksi kita terhadap lingkungan salah, tandasnya.
“Low vison kok pakai tongkat! Malu-maluin. Ini pandangan orang yang tak harus dijadikan pertimbangan,” ujar Alabanyo.
Low vision atau orang dengan penglihatan terbatas. Bagi Alabanyo, orang dengan low vison, adalah orang yang hidup di dua alam. Orang dengan low vison, harus bijak menggunakan sisa penglihatan. Menggunakan tongkat pada saat tertentu, menjadi bagian mengenali diri.
“Dua alam. Dibilang tottaly blind masih punya penglihatan. Dibilang awas, juga tidak. Low vision progresif atau stabil, ialah komdisi penglihatan yang harus didapatkan dari ahlinya, yaitu, dokter mata. Bijaklah menggunakan sisa penglihatan yang ada. Sesekali menggunakan tongkat itu perlu. Karena hal itu merupakan bagian dari mengenali diri,” ujar Alabanyo, yang gagal operasi ablasio retina mata kiri pada usianya 10 th.
Alabanyo true story
Lalu Banyo juga mengisahkan bagaimana dia membangun konsep diri sebagai low wision, yang dialami pada tujuh tahun usianya. Saat itu kelas dua sekolah dasar. Alabanyo terlahir dengan penglihatan awas. Saat kelas satu sekolah dasar, kedua matannya mulai kabur.
Ketika duduk di kelas dua, seorang guru kelas memperhatikannya. Guru tersebut mengetahui jika penglihatan Alabanyo berkurang. Kondisi tersebut disampaikannya kepada orang tua, yang ditindaklanjuti dengan pergi ke dokter mata.
Hasilnya, kondis mata Alabanyo low vision. Dignosa dokter, low vision yang terjadi sebagai dampak mengkonsumsi obat jangka panjang. Sebelum sekolah, Alabanyo pernah mengalami fleg paru-paru. Karenanya, dia harus mengkonsumsi obat selama enam bulan. Obat tersebut, menurut dokter berdampak pada melemahnya retina mata kiri Alabanyo.
Bagaimana Alabanyo kecil membangun konsep diri? Dia menyampaikan, bahwa dirinya selalu menempuh pendidikan di sekolah reguler. Panutan dia, adalah kakaknya. Membandingkan dirinya dengan kakaknya atau teman-temannya sering kali dilakukan Alabanyo. “Kalau kakak dan temen bisa, saya juga harus bisa. Kalau tidak berhasil saya kecewa. Hal ini yang saya bangun dalam prinsip hidup saya,” ujarnya.
Namun demikian, saya pernah merasa menjadi orang yang menyusahkan orang lain. Mau menyeberang harus dibantu orang lain. Aktivitas keseharian lebih banyak dibantu orang tua, saudara, atau teman-temannya.
Dari sana, Alabanyo mulai mengubah konsep. Sebagai low vision, saya menyadari bahwa support lingkungan menjadi penting. “Prestasi yang saya raih, adalah bayaran untuk orang-orang yang membantu saya. Paling tidak saya setara. Tak harus saya menjadi lebih baik dari orang lain,” kata dia.
Memiliki keunggulan
Memiliki kompetensi dan keunggulan diri, merupakan dasar dari bagaimana seseorang dapat membangiun konsep diri yang kuat. Karenanya, ujar Alabanyo, kita harus tahu potensi dan keuanggulan diri. Dia mencontohkan dirinya yang berprofesi sebagai dosen. Ketika mahasiswanya tahu bahwa dirinya punya keterbatasan, tetapi memiliki potensi, maka mahasiswanya menghargainya.
Apakah pernah mendapatkan stigma. Sudah barang tentu pernah, ujar Alabanyo. Bagaimana mengatasinya? Sekali lagi, membayarnya dengan partisipasi dan prestasi adalah jawaban. Jadilah seorang low vision yang menonjiol. Jadilah unik, menunjukkan prestasi. Sehingga, meski low vision dibutuhkan orang sekitar.
Senada dengan apa yang disampaikan Alabanyo, Konselor Mitra Netra Aria Indrawati pun menggaribawahi. Bahwa, ketika hidup dengan keterbatasan penglihatan, jangan menjadi orang yang biasa-biasa saja. Tapi harus lebih dari orang lain. Sehingga bisa bermanfaat untuk orang lain. Jadilah the wanted person, demikian ujarnya.
Pemahaman benar
Lanjut Aria, miliki pemahaman yang benar tentang low vision. Diskriminasi terjadi karena lingkungan tidak paham. Jadi tugas kita memberi pemahaman bagi lingkungan. Jadilah pribadi yang unik. Semua orang punya weakness atau kelemahan. Tetapi semua orang juga punya kekuatan (strength). Kekuatan itu yang ditonjolkan agar menjadi pribadi yang unik.
Bagaimana menemukan konsep diri yang hilang, akibat sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan? Menurut Banyo; ketika menghadapi stress atau situasi yang menekan, bangkitlah kembali (resilient). Bergaullah dengan orang yang positif, tidak toxic. Bagaimana pun ketika dalam tekanan, siapa pun membutuhkan support system.
Pertama, sesama difabel netra perlu saling mensupport. Kedua, hal-hal positif dari dalam diri kita adalah sebuah porti folio. Difabel netra harus memiliki rekam jejak. “Saya memang hansur. Tetapi saya pernah punya sesuatu. Itu yang bisa membuat kepercayaan diri bangkit kembali.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief