Views: 15
Solidernews.com – Ramaditya Adikara, seorang penulis difabel netra, menyajikan sebuah kisah yang menggugah hati dalam buku yang diberinya judul: “Dunia Tanpa Cahaya.” Novel ini tidak hanya berkisah tentang kehidupan difabel netra , tetapi juga menggambarkan perjalanan hidup seseorang yang penuh perjuangan untuk menemukan jati diri dan makna hidup, di dunia, sambil menantang prasangka dan batasan-batasan sosial.
Buku ini membawa pembaca ke dalam dunia yang penuh emosi, persahabatan, dan semangat inklusif. Pergolakan konflik, tantangan sebagai difabel netra, melawan ketakutan, stigma, kecemasan, dan sebagainya, sukses meracik kisah yang epik. Poin persahabatan juga menjadi kekuatan yang power full dalam mengisi keindahan dari novel Rama ini. Tentu, gaya diksi yang digunakan sangat mudah dipahami.
Alur Cerita Secara Umum
Novel ini menceritakan kehidupan seorang pria difabel netra yang berjuang menjalani kehidupannya di tengah dunia yang tidak bisa ia lihat. Dengan segala keterbatasan fisik, ia menghadapi berbagai tantangan—baik secara sosial, emosional, maupun mental—untuk tetap menjalani hidupnya secara bermakna. Sang tokoh utama mencoba untuk diterima di masyarakat, sembari berusaha mencapai mimpi dan cinta yang menjadi impian hidupnya.
Sementara alur ceritanya terbilang umum, yakni tentang kisah cinta masa muda. Namun, dengan penyajian yang menggunakan kaca mata difabel netra itulah yang membuat novel ini jadi menarik. Cara Ramaditya merangkai kisah sukses membuat saya tidak bisa berhenti membaca hingga akhir. Alurnya ringan dan setiap halaman membuat penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
ide dasar novel tentang pencarian cinta Rama terhadap Shinta, yang berlatarkan Jakarta dan Palembang, membawa keseruan tersendiri. Novel ini juga menggambarkan pergulatan batin Rama, termasuk konflik dengan orang tuanya serta perjuangan menyelesaikan pendidikannya yang sempat tertunda akibat urusan cinta. Saat membaca, saya merasakan campuran emosi yang menyentuh.
Perjalanan hidup Rama sebagai tokoh utama novel ini, tidak dilakoninya sendiri. Ia didukung oleh persahabatan yang kuat dengan teman-teman di lingkungan sekitarnya. Tokoh-tokoh seperti Kristo yang pintar, Yos dan Rinda yang ceria, Farah yang tegas namun memiliki hati yang lembut, serta Tia yang mudah menangis, semuanya membawa warna dalam kehidupan sang tokoh utama. Persahabatan yang ditampilkan dalam novel ini tidak hanya manis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana hubungan manusia dapat menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup.
Yang menarik dari novel ini adalah kehadiran Wahita, sosok imajiner yang diciptakan oleh sang tokoh utama, Rama. Wahita digambarkan sebagai bidadari cantik berambut panjang dengan sayap di punggungnya. Kehadiran Wahita memberi dimensi baru dalam kehidupan Rama, seolah-olah Rama memiliki kepribadian ganda yang terkontrol. Namun, sebenarnya Wahita lebih tepat disebut sebagai “topeng kebaikan” yang muncul di saat-saat tertentu, seperti ketika Rama sedang marah atau merasa galau. Seperti dalam film-film, sosok Wahita berperan layaknya bisikan hati yang menuntun tindakan Rama.
Selain itu, bagian sewaktu Rama berkunjung ke Dufan dan bertemu Shinta— wanita yang dipuja—memberikan daya tarik tersendiri. Momen ini menunjukkan keberanian Rama dalam menghadapi rasa takut dan kebingungannya. Keputusan untuk pergi ke Dufan, menaiki berbagai wahana, dan menunjukkan dirinya sebagai seorang difabel netra yang ceria dan apa adanya, sangat menggugah. Rama tidak hanya berhasil membangun kepercayaan diri, tetapi juga memberikan contoh bagi difabel muda lainnya tentang pentingnya keberanian dan keyakinan diri. Kisah ini menggambarkan betapa inklusifnya pengalaman hidup yang bisa dialami oleh siapa saja, terlepas dari kondisi fisik mereka.
Selain itu, Ada kutipan yang sangat menarik dalam konteks persahabatan dari tokoh-tokoh yang ada. Di sini Rama memberikan kesempatan itu pada Kristo, untuk mengucapkan kutipan yang diambilnya dari anime Naruto, yaitu: “”Orang yang melanggar peraturan itu sampah, tapi orang yang tidak memedulikan temannya itu lebih buruk dari sampah.”
Nilai-Nilai Inklusif
Salah satu aspek penting dalam novel ini adalah nilai inklusifitas. Ramaditya dengan sangat baik menggambarkan bagaimana masyarakat sering kali belum siap menerima difabel dengan sepenuh hati. Sang tokoh utama kerap menghadapi prasangka dan batasan yang tidak perlu dari lingkungan sosialnya. Melalui ceritanya, kita diajak untuk merenungkan betapa pentingnya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana semua orang, termasuk difabel, dapat merasa diterima dan dihargai.
Ramaditya juga menunjukkan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan. Inklusifitas tidak hanya berarti menyediakan fasilitas fisik, tetapi juga menciptakan hubungan dan lingkungan yang memahami dan menghargai perbedaan.
Rama sebagai tokoh utama dalam novel ini, berhasil menunjukkan suasana keberagaman. Sebuah persahabatan yang tidak pernah memandang kekurangan, melainkan membangun kekuatan dari keberagaman itu. Sebagai anak Sastra Inggris, Rama diceritakan sering dibantu kawan-kawannya untuk menyelesaikan problem akademiknya. Begitu pun sebaliknya. Rama tidak segan-segan membantu apa pun yang bisa dilakukannya. Termasuk menjadi relawan dalam hasil kreativitas temannya.
Nilai Persahabatan
Persahabatan yang kuat dan tulus menjadi salah satu tema sentral dalam “Dunia Tanpa Cahaya.” Tokoh utama dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya, baik dalam suka maupun duka. Hubungan ini bukanlah hubungan yang didasari oleh rasa kasihan, melainkan hubungan yang dibangun atas dasar saling pengertian dan kepercayaan.
Persahabatan ini memberikan kekuatan bagi tokoh utama untuk menghadapi tantangan hidupnya, sekaligus menjadi pelengkap dalam kisah perjuangannya. Poin saling mendukung, membantu, dan saling menyemangati, begitu terexpos jelas dalam alur cerita. Hal ini, tentu menjadi edukasi yang baik bagi para remaja dan orang-orang dewasa, akan makna persahabatan.
Nilai Perjuangan
Novel ini juga menggambarkan betapa pentingnya perjuangan dalam hidup. Sang tokoh utama tidak hanya berjuang melawan keterbatasan fisik sebagai seorang difabel netra, tetapi juga berusaha mengatasi batasan-batasan sosial yang sering kali lebih sulit diatasi. Kisah perjuangannya mengajarkan bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya.
Dengan keteguhan hati, cinta, dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, tokoh utama membuktikan bahwa ia dapat hidup dengan penuh makna meskipun tanpa cahaya.
“Dunia Tanpa Cahaya” adalah novel yang memberikan wawasan baru tentang kehidupan penyandang difabel, sambil menyentuh tema-tema penting seperti inklusifitas, persahabatan, dan perjuangan hidup. Ramaditya Adikara berhasil merangkai cerita yang menginspirasi dan membawa pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta, persahabatan, dan keberanian dalam menghadapi keterbatasan. Novel ini berhasil menyadarkan saya bahwa cinta dapat hadir dalam berbagai bentuk—cinta antara orang tua dan anak, cinta dalam persahabatan, dan bahkan cinta yang memberi terang di tengah kegelapan hidup.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan
Identitas buku:
Judul : Dunia Tanpa Cahaya
Penulis : Ramaditya Adikara
Editor : Ariata
Desain Cover : dan_dut
Tahun : 2015
Penerbit : Sheila [Imprint dari CV. Andi Offset]
Tebal : 214 halaman