Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Memahami Lebih dalam Autism Spectrum Disorder; PSLC Gelar Diskusi Publik

Views: 23

Solidernews.com, Yogyakarta- Sabtu (8/2) Penawar Special Learning Centre (PSLC) menggelar Public Talk bertajuk “Memahami Autisme: Langkah Menuju Dukungan yang Lebih Baik” bertempat di Kolektif Collaboration Space. Acara ini menghadirkan Dr. Ruwinah Abdul Karim, Clinical Director PSLC, sebagai pembicara utama. Diskusi ini membahas secara mendalam tentang Autism Spectrum Disorder (ASD).

Penawar Special Learning Centre (PSLC) sendiri merupakan lembaga pendidikan dan terapi dari Malaysia yang berfokus pada anak-anak difabel, termasuk ASD, ADHD, dan disleksia. PSLC bertujuan untuk memberikan intervensi terbaik dalam membantu anak-anak berkembang secara optimal untuk meningkatkan keterampilan baik secara komunikasi, perilaku, sosial, dan sensorik.

Dalam pemaparannya, Dr. Ruwinah menegaskan bahwa kondisi ASD bukanlah indikasi bahwa anak itu nakal, seperti yang acap distigmakan. Kondisi tersebut terjadi karena otak mereka berkembang dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan anak-anak lain.

“Anak dengan ASD biasanya mulai menunjukkan gejala sejak usia 18 bulan, dengan konfirmasi diagnosis biasanya dilakukan pada usia 2,5 tahun,” jabarnya.

Menurutnya autisme tidak bisa diasosiasikan sebagai sebuah penyakit. Melainkan suatu kondisi neurodevelopmental (ganggungan perkembangan otak) yang memerlukan pendekatan khusus. Berdasarkan jurnal terkini, belum ada penelitian yang secara pasti menemukan penyebab ASD.

Ada beberapa faktor yang diyakini dapat berkontribusi terhadap ASD antara lain faktor genetik, usia orang tua saat anak lahir, komplikasi kehamilan, pola hidup tidak sehat, serta paparan bahan kimia dalam makanan maupun produk sehari-hari. Kondisi stres atau depresi pada orang tua juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan otak anak.

 

Kebiasaan Anak Autis

Simak juga ..  Cerita Mahasiswa Autis di UGM dan Tantangan Advokasi yang Belum Usai

Ruwinah memamaparkan bahwa anak dengan ASD sering menunjukkan beberapa kebiasaan seperti mumbling (bergumam), echolalia (mengulang kata-kata), serta pola perilaku tertentu seperti hand flapping (mengepakkan tangan) dan gerakan stereotipik (gerakan berulang tanpa tujuan). Mereka juga lebih rentan terhadap kecemasan dan dalam beberapa kasus, mengalami halusinasi.

Dalam kehidupan sehari-hari, anak dengan ASD sering mengalami gangguan sensory processing. Mereka mungkin menjadi sangat sensitif terhadap suara, cahaya, bau, atau tekstur tertentu. Ada anak yang seeking, yaitu mencari rangsangan sensorik lebih banyak, seperti tertarik pada warna mencolok atau mencium bau dengan sangat dekat.

“Ada juga yang defensive atau menghindari rangsangan tertentu karena terasa berlebihan bagi mereka,” tambahnya.

Ruwinah menggarisbawahi bahwa terapi terbaik untuk anak dengan ASD adalah lingkungan yang natural. Artinya dengan keterlibatan penuh dari orang tua dan masyarakat disekitarnya. Anak dengan ASD dapat berkembang lebih baik di lingkungan yang inklusif, di mana mereka dapat belajar bersama dengan anak lain sambil tetap mendapatkan dukungan yang sesuai.

Selain itu, penggunaan gadget yang berlebihan juga tidak disarankan, karena dapat mengganggu produksi hormon melatonin yang penting untuk keseimbangan emosi dan tidur mereka. Menurutnya manajemen tantrum yang ideal juga melibatkan reward dan punishment, dengan catatan bahwa hukuman tidak boleh mempermalukan anak dengan ASD.

 

Peran Penting Keluarga

Anak dengan ASD dapat dideteksi melalui berbagai tanda yang dapat diamati sejak dini. Salah satu indikasi paling kuat adalah speech delay, di mana menurut survei 99% anak ASD mengalami keterlambatan berbicara. Umumnya, anak usia 2,5 tahun sudah bisa menggabungkan tiga kata menjadi satu kalimat bermakna, tetapi anak dengan ASD biasanya mengalami keterlambatan.

Simak juga ..  Begini Perlindungan dan Kebijakan Bagi Individu dengan Autisme di Indonesia, Masih Jauh Panggang dari Pada Api

Hal tersebut turut dikonfirmasi oleh Riani Wulan Sujjarivani, salah seorang difabel autis yang kebetulan mengikuti acara tersebut. Kepada solidernews, ia menuturkan bahwa dirinya baru mampu berbicara pada umur 4 tahun. “Saya baru bisa bicara saat umur 4 tahun,” katanya.

Menurut Wulan yang saat ini sedang mengenyam pendidikan tinggi di UGM, lingkungan keluarga dan sekitar menjadi faktor terpenting bagaimana anak dengan ASD dapat tumbuh dan berkembang. Ia percaya bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi masing-masing, sudah menjadi tugas bagi lingkungannya untuk mengasah potensi terbaik si anak. Supaya kelak setiap anak dengan ASD dapat menjalankan kehidupan dengan layak dan semestinya.[]

 

Reporter: Bima Indra

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content