Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Memahami Dampak Tokenisme pada Teman-teman Difabel di Arena Politik dan Upaya Nur Syarif Ramadhan untuk Menguranginya

Views: 27

Solidernews.com – “Partai-partai politik dan organisasi masyarakat sipil dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran publik tentang hak-hak politik difabel. Edukasi politik bagi difabel harus menjadi agenda penting untuk meningkatkan partisipasi aktif mereka.” (Nur Syarif Ramadhan, wawancara pribadi).

 

Pemilihan Kepala Daerah serentak semakin dekat, sebuah momen pesta demokrasi yang seharusnya diwarnai kegembiraan dan harapan. Namun, ada satu isu serius yang perlu mendapat perhatian. Di tengah semaraknya persiapan politik, praktik tokenisme masih merugikan rasa keadilan bagi kelompok difabel. Fenomena ini terus berlanjut, merendahkan hak-hak teman-teman difabel dalam arena politik. Ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga merugikan demokrasi itu sendiri. Lalu, apa sebenarnya tokenisme terhadap difabel dalam konteks politik?

 

Tokenisme politik terhadap difabel adalah fenomena yang merugikan, di mana difabel dijadikan alat simbolis dalam berbagai aktivitas politik. Mereka dilibatkan semata-mata untuk meningkatkan citra atau memenuhi standar inklusi partai politik, tanpa diberikan akses atau kekuatan yang signifikan dalam pengambilan keputusan. Hal ini mencerminkan tindakan superfisial yang seringkali lebih bertujuan untuk menghindari kritik ketimbang menciptakan perubahan yang berarti.

 

Dalam konteks politik, tokenisme ini sering muncul sebagai upaya untuk menutupi ketidakseimbangan representasi kelompok minoritas, seperti teman-teman difabel, melalui langkah-langkah kecil yang tampak positif. Namun, di balik tindakan tersebut, partisipasi difabel sering kali terbatas pada posisi yang tidak berpengaruh atau sekadar dijadikan wajah inklusivitas tanpa substansi. Dampaknya tidak hanya merusak keadilan politik tetapi juga melukai harga diri individu difabel, karena mereka diperlakukan sebagai alat promosi tanpa memperoleh hak yang setara.

 

Meskipun tokenisme terlihat sebagai langkah maju, kenyataannya sering kali justru meminggirkan difabel dari proses politik yang sejati. Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah keterlibatan ini benar-benar memberikan mereka ruang untuk menyuarakan kepentingan mereka, atau sekadar menjadi bagian dari permainan politik untuk kepentingan pihak lain?

 

Pada Pemilu 2019, sebanyak 35 calon legislatif (caleg) difabel terdaftar. Namun, banyak dari mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai, baik dari segi pendidikan, pengalaman, maupun jejaring politik yang kuat. Fenomena ini menunjukkan bahwa beberapa partai politik mungkin hanya merekrut caleg difabel sebagai langkah simbolis untuk meningkatkan citra kepedulian terhadap kelompok difabel, tanpa memberikan mereka ruang yang berarti dalam proses politik.

 

Tokenisme semacam ini dapat berdampak negatif pada harga diri individu difabel. Hogg dan Vaughan dalam buku Social Psychology menjelaskan bahwa tokenisme sering kali membuat kelompok minoritas meragukan kompetensi diri mereka serta mempertanyakan apakah mereka benar-benar didukung secara tulus oleh lingkungan yang melibatkan mereka. Pada akhirnya, tindakan tersebut lebih merugikan daripada membantu, terutama jika difabel hanya dijadikan simbol tanpa kekuatan nyata dalam pengambilan keputusan.

 

Penggunaan simbolisme oleh partai politik sering kali terlihat dalam penunjukan calon legislatif difabel sebagai wajah inklusi. Namun, kenyataannya, peran mereka sering kali terbatas pada penampilan seremonial atau jabatan formal tanpa wewenang strategis yang nyata. Tindakan semacam ini cenderung lebih berfokus pada pencitraan daripada substansi, yang pada akhirnya justru menghambat kemajuan inklusi politik yang sejati bagi difabel.

 

Menghilangkan Tokenisme dalam Partisipasi Difabel di Politik Indonesia

Untuk mengatasi praktik tokenisme dalam keterlibatan difabel di politik Indonesia, Nur Syarif Ramadhan, PerDiK menegaskan perlunya langkah konkret dari partai politik, pemerintah, dan masyarakat. Menurutnya, langkah-langkah tersebut harus memastikan bahwa difabsl tidak hanya dipandang sebagai simbol, tetapi juga dilibatkan secara aktif dan bermakna dalam proses politik. Ia menjelaskan, “Partisipasi yang sejati memerlukan dukungan yang lebih dari sekadar retorika—melainkan komitmen yang berkelanjutan untuk memberikan akses, pendidikan politik, serta peluang kepemimpinan yang setara bagi difabel.” Pernyataan ini menekankan bahwa inklusi sejati memerlukan lebih dari sekadar kata-kata, tetapi harus disertai dengan tindakan nyata yang memungkinkan difabel untuk berperan serta dalam setiap aspek politik, sehingga demokrasi dapat terwujud sebagai milik semua.

 

Di Indonesia, masih banyak partai politik yang belum sepenuhnya mengedepankan isu difabel dalam agenda politik mereka. Syarif mencatat, “Banyak partai politik di Indonesia belum sepenuhnya mengedepankan isu difabel dalam agenda politik mereka, apalagi dalam merekrut dan mendukung kandidat difabel secara serius.” Ini menunjukkan adanya kurangnya perhatian dalam merekrut dan mendukung kandidat difabel, yang mengindikasikan bahwa suara dan hak-hak teman-teman difabel belum sepenuhnya terwakili dalam ranah politik.

Seringkali, individu difabel hanya dilibatkan dalam kegiatan kampanye atau ditampilkan secara simbolis untuk memperkuat citra inklusif partai politik. Syarif mengamati, “Sering kali, individu difabel dilibatkan dalam kegiatan kampanye atau dipromosikan secara simbolis untuk meningkatkan citra inklusif partai, tetapi tanpa memberikan peran substantif dalam pembuatan kebijakan.” Ini menciptakan kesan bahwa dukungan terhadap difabel hanyalah sebatas lip service, bukan komitmen yang tulus untuk memberdayakan mereka dalam proses politik.

Ia berpendapat bahwa partai politik harus mengimplementasikan program pelatihan dan pengembangan kapasitas untuk teman-teman difabel agar mereka dapat berpartisipasi dalam dunia politik. “Partai politik perlu melakukan program pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi difabel untuk berpartisipasi dalam politik. Dengan demikian, difabel dapat terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang berdampak bagi komunitas mereka,” jelasnya. Dengan demikian, difabel akan memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka, sekaligus memastikan bahwa suara mereka didengar dan diperhitungkan.

 

Mengurangi Tokenisme Melalui Representasi yang Kuat

Dalam usaha untuk mengatasi isu tokenisme dalam politik, Syarif menjelaskan pentingnya representasi difabel yang kuat. “Salah satu cara untuk menghindari tokenisme adalah dengan memastikan representasi difabel di semua tingkatan dalam partai politik, dari pengurus hingga calon legislatif.” Ini menunjukkan bahwa keterlibatan yang lebih luas dan beragam akan menciptakan kekuatan politik yang lebih substansial bagi kelompok difabel, memberikan mereka suara dan kekuatan untuk mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan hak dan kebutuhan mereka.

Untuk menghapuskan praktik simbolis yang merugikan, pemerintah dan partai politik perlu mengadopsi kebijakan yang menetapkan kuota keterwakilan difabel dalam daftar calon legislatif. “Seperti kuota perempuan, ini akan memastikan bahwa difabel tidak hanya sekadar simbol, tetapi memiliki ruang dalam proses politik.” Dengan adanya kuota ini, individu difabel tidak hanya dilihat sebagai pelengkap, tetapi mendapatkan posisi strategis yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan.

 

Menurut Syarif, salah satu tantangan utama yang dihadapi individu difabel dalam partisipasi politik adalah keterbatasan akses terhadap informasi politik dan pemilu. Ia menyatakan, “Partai-partai politik perlu memastikan bahwa materi kampanye, debat publik, dan tempat pemungutan suara (TPS) bisa diakses oleh difabel, baik dari segi fisik maupun teknologi, seperti menyediakan materi kampanye dalam bentuk braille, bahasa isyarat, dan media digital yang ramah difabel.” Dengan langkah ini, lingkungan politik dapat menjadi lebih inklusif, memberi kesempatan kepada individu difabel untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik.

Partai-partai politik dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran publik tentang hak-hak politik difabel. Edukasi politik bagi individu difabel perlu dijadikan agenda utama, sehingga mereka dapat lebih memahami hak-hak mereka dan berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. “Dengan pengetahuan yang memadai, mereka akan lebih siap untuk menuntut hak dan mewakili kepentingan mereka.” Selain itu, untuk mewujudkan inklusi politik yang lebih efektif, partai politik harus menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi difabel. Melalui kolaborasi ini, mereka dapat memperoleh masukan langsung dari individu difabel mengenai cara terbaik untuk mengimplementasikan praktik inklusi, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi kelompok difabel.

Praktik tokenisme dalam politik tidak hanya merugikan penyandang disabilitas, tetapi juga mencederai nilai-nilai demokrasi yang seharusnya mengedepankan keadilan dan kesetaraan. Upaya Nur Syarif Ramadhan untuk mengurangi fenomena ini menyoroti pentingnya memberikan akses nyata, pelatihan, dan dukungan yang substansial kepada difabel. Dengan kebijakan yang lebih inklusif dan perwakilan yang kuat di semua level politik, diharapkan suara dan kepentingan difabel dapat diakui dan diperjuangkan secara efektif, menjadikan demokrasi sebagai milik semua.[]

 

Reporter: Hasan Basri

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air