Views: 9
Solider.id, Yogyakarta. ABLEISME. Adalah diskriminasi dan prasangka sosial terhadap difabel dan/atau orang yang dianggap sebagai difabel. Ableisme mendefinisikan orang-orang dengan difabilitas memiliki status lebih rendah dibandingkan dengan nondifabel. Demikian pengertian ableisme merujuk laman wikipedia.com.
Ableisme menitikberatkan pada prasangka (asumsi) dan diskriminasi non difabel terhadap difabel. Gagasan ini berakar pada penyimpangan berpikir. Bahwa difabel lebih rendah dibandingkan orang lain. Kemudian mengembangkan asumsi, menciptakan stereotip yang tidak adil bagi difabel.
Stereotip ialah penilaian atau anggapan (asumsi) terhadap seseorang berdasarkan kelompok sosialnya. Sebagai contoh, asumsi bahwa semua difabel ingin disembuhkan. Atau, pandangan bahwa pengguna kursi roda juga difabel intelektual. Kemudian stereotip tersebut memberikan pembenaran terhadap praktik-praktik diskriminatif, memperkuat sikap dan perilaku diskriminatif terhadap difabel.
Adapun, praktik diskriminasi pada kasus ableisme dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Di sisi lain, tumbuh pemahaman dalam masyarakat (meski tak tertulis) menyatakan, ada cara yang benar bagi tubuh dan pikiran untuk berfungsi. Alhasil, siapa pun yang dirasa ‘berbeda’, dianggap inferior (lebih rendah). Dampaknya, membunuh kebebasan hidup mandiri. Karena praktik ableisme memandang difabel adalah orang yang lemah. Yang patut dikasihani, ditolong. Memprihatinkannya lagi, ableisme dapat muncul dalam berbagai cara, mulai dari ranah pribadi hingga institusi.
Sejarah ableisme
Istilah ableisme disebarkan pada tahun 1980-an oleh para feminis di Amerika Serikat. Namun, kata ini dituliskan pertama kali dan digunakan dalam siaran pers oleh otoritas lokal Inggris, Haringey London Borough Council pada 1986.
Bicara perihal sejarah ableisme, praktik diskriminasi ini sesungguhnya sudah ditemukan sejak abad pertengahan. Pada saat itu, difabel dianggap kerasukan setan atau roh jahat. Akibatnya, mereka tidak diberi perawatan hidup, sebagaimana mestinya.
Ableisme memiliki korelasi terhadap gerakan Eugenika yang digaungkan sekitar tahun 1800-an. Eugenika merupakan konsep rasis, yang mendorong pengendalian populasi melalui mekanisme tertentu. Sterilisasi paksa dan pemeriksaan pernikahan, sebagai kasus nyata. Ini juga bisa diartikan sebagai filosofi sosial yang berfokus pada perbaikan ras manusia sehat dengan membuang orang-orang ‘berpenyakit dan/atau cacat’.
Tipe ableisme
Ableisme dapat bermanifestasi ke dalam berbagai cara di beberapa tingkatan atau tipe. Di antaranya: tingkat institusional. Memberi dampak pada institusi tertentu, seperti kemampuan medis yang berakar pada gagasan bahwa kecacatan adalah masalah yang perlu diperbaiki. Ketika hal ini menjadi bagian dari pengajaran dan kebijakan medis, maka akan memengaruhi seluruh sistem perawatan kesehatan.
Tingkat interpersonal. Terjadi dalam interaksi dan hubungan sosial. Yaitu, orang tua yang memiliki anak difabel, akan mencoba ‘menyembuhkan kecacatan’ daripada menerima kondisi anak. Di tingkat internal. Terjadi ketika seseorang, dalam hal ini difabel. Secara sadar atau tidak, percaya pada desas-desus tentang difabel. Kemudian menerapkannya pada diri sendiri.
Sementara itu, kajian dalam Journal of Social Issues tahun 2019 mengategorikan ableisme dalam beberapa bentuk. Pertama, hostile ableism. Adalah perilaku agresif secara terbuka. Intimidasi, pelecehan, serta kekerasan pada penyandang difabel, contohnya.
Kedua, benevolent ableism. Memandang penyandang difabel sebagai orang lemah dan membutuhkan bantuan. Serta ketiga, ambivalent ableism. Adalah kombinasi dari praktik menasihati dan bermusuhan. Yakni, seseorang yang memulai interaksi sosial dengan cara yang menggurui, kemudian beralih bermusuhan jika orang tersebut keberatan dengan perilakunya.
Praktik-praktik ableisme
Ableisme tidak selalu mengarah pada praktik diskriminasi langsung terhadap difabel. Pasalnya, ini juga bisa terjadi dengan cara halus. Beberapa tindakan yang tergolong ableisme, terdiri atas: diskriminasi secara langsung. Didasarkan pada tindakan mengucilkan orang ‘cacat’. Contohnya menolak mempekerjakan difabel, mengajukan pertanyaan yang menyinggung terkait kondisi kedifabilitasan, serta tidak menyediakan layanan dan ruang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Mikroagresi atau diskriminasi tidak langsung. Praktiknya lebih halus, tapi tetap berkaitan dengan ableisme. Contoh, menganggap difabel sebagai individu yang tidak mampu, tidak berdaya, dan individu abnormal.
Penting untuk digarusbawahi dan dipahami, bahwa sebagian besar difabel tidak menjadikan orang lain sebagai penolong baginya untuk bangkit. Sebaliknya, mereka memerlukan peran orang lain untuk memastikan bahwa dirinya dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Dampak ableisme
Tindakan ableisme sangat merugikan difabel. Tidak jarang, prasangka dan diskriminasi yang dianggap ‘biasa’ oleh masyarakat dapat memengaruhi kondisi psikologis. Dapat pula berdampak pada persoalan akademik. Terlebih jika tidak ada modifikasi dalam kegiatan pembelajaran.
Dampak lainnya, difabel kesulitan survevi (bertahan hidup) dan mendapatkan mata pencaharian. Sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Atau, difabel mendapat upah lebih rendah dibanding nondifabel. Pandangan ableisme, juga memungkinkan meningkatkan risiko pelecehan, kekerasan, serta intimidasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Menghindari ableisme
Mengasihani atau memandang rendah seseorang, hanya karena kemampuannya berbeda tak seyogyanya ditumbuhkembangkan. Bagaimanapun juga, tidak ada yang mau terlahir dengan kondisi demikian.
Menghargai potensi akan lebih baik, ketimbang mempermasalahkan kedifabilitasan seseorang. Atau melakukan praktik-praktik inklusif, akan menyuguhkan ruang yang ramah terhadap difabel.
Upaya menghindari praktik ableisme, dapat dilakukan dengan cara memahami apa itu ableisme. Dapat juga melakukan berbagai cara. Di antaranya, pertama, mengenal lebih dekat difabel. Hal ini dapat membuka cara berpikir lebih terbuka, dua, menjadi pendengar yang baik ketika difabel mencurahkan pengalamannya, tida, jangan ragu menentang mitos yang tidak benar di masyarakat.
Karena, bagaimanapun, difabel tetap memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan hal ini secara gamblang tertuang dalam hukum konstitusi negara Indonesia. Demikian pula dalam hokum internasional pada artikel atau pasal yang terkandung di dalamnya. *** [harta nining wijaya]