Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Melihat Perspektif Layanan Kesehatan yang Belum Aksesibel dalam Program Cek Kesehatan Gratis dari Pengalaman Dinas Kesehatan dan Difabel

Views: 9

Solidernews.com – Hak-hak kesehatan difabel, yang seharusnya menjadi perhatian serius, masih terbengkalai. Faktanya, berdasarkan data survei Dit. UPL 2023, hanya 45% difabel yang mengunjungi puskesmas, sebuah persentase yang menunjukkan ketimpangan yang harus diatasi. Sebab, difabel kurang tertarik menggunakan layanan kesehatan karena sarana dan prasarana yang kurang memadai. Padahal, pemerintah telah mengatur hak-hak difabel dalam mengakses layanan kesehatan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Pasal 12.

Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, pemerintah Prabowo-Gibran berkomitmen meningkatkan inklusivitas pada program Cek Kesehatan Gratis tahun ini, sehingga difabel dapat menikmatinya.

Wujud nyata tersebut dibuktikan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan webinar, yang bertujuan untuk mensosialisasikan layanan kesehatan agar lebih inklusif bagi difabel, dengan tema “Cek Kesehatan Gratis Harus Inklusif” pada 22 Februari 2025 silam.

Dalam webinar tersebut, Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyampaikan beberapa tanggapan.

“Kegiatan sosialisasi cek kesehatan gratis ini sangat penting bagi difabel yang butuh dukungan dan akomodasi yang sesuai. Sebab, difabel sering mendapatkan hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Nah, di sini kita bisa berdiskusi bagaimana memberikan informasi yang bisa diterima oleh difabel,” ujarnya.

Hal itu diungkapkannya karena banyak petugas kesehatan yang belum paham berinteraksi dengan difabel.

Roy Himawan, Direktur Tata Kelola Primer dari Kementerian Kesehatan Indonesia sekaligus narasumber dalam webinar, mengungkapkan, “Dinas Kesehatan saat ini masih mengembangkan layanan kesehatan yang lebih ramah bagi difabel. Tentu, difabel akan menemui hambatan saat menggunakan layanan kesehatan. Sebab, kami masih belajar, belum semuanya siap, tapi kami mengupayakan lebih baik lagi supaya difabel bisa mendapatkan layanan kesehatan yang lebih memadai,” tuturnya.

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Pasal 12 Ayat A dan C, hak kesehatan untuk difabel meliputi:

  1. memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dalam pelayanan kesehatan.
  2. memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Jika dilihat dari tahun peraturan tersebut maka pemerintah sudah 9 tahun mengatur hak kesehatan bagi difabel, tetapi mengapa sampai sekarang pihak Dinas Kesehatan berkata bahwa mereka masih belajar?  Seharusnya pemerintah belajar dari tahun 2016 bukan dari tahun 2025. Di Ayat A dan C yang menyatakan difabel harus memperoleh informasi, komunikasi, dan kesamaan dalam mendapatkan kesempatan layanan kesehatan, sampai sekarang belum ada perubahan yang signifikan, tapi apa daya, kita tidak bisa menuntut pemerintah, mungkin saja perubahan itu terasa tidak nyata, tapi perlahan terjadi di tempat lain. beda presiden beda kepemimpinan, semua butuh proses, perubahan tidak bisa terjadi seketika.

Roy Himawan  melanjutkan, “Saat ini memang kami masih diakui bahwa beberapa layanan kesehatan seperti puskesmas, belum sesuai standar dalam melayani difabel. Tentu, untuk meningkatkan layanan membutuhkan waktu dan kami mohon kesabarannya supaya bisa melayani difabel,” tambahnya.

Ia mengatakan bahwa Dinas Kesehatan saat ini masih dalam tahap melengkapi fasilitas layanan kesehatan bagi difabel di puskesmas. “Kami sudah mengidentifikasi beberapa prasarana dan sarana, seperti jalur landai, handrail, dan beberapa fasilitas yang aksesibel lainnya. Kami juga akan menyediakan tenaga pendamping. Kami menargetkan 35% puskesmas akan ramah difabel tahun ini dan ini akan terus ditingkatkan sampai tahun 2029 sehingga mencapai 75% pelayanan puskesmas yang ramah difabel,” tambahnya.

Adapun fasilitas yang akan dilengkapi oleh pemerintah di setiap puskesmas, antara lain: ramphandrail, jalur landai, guiding block, tempat parkir dengan tanda khusus, pintu geser, toilet ramah difabel, bel darurat, layar besar, dan pengeras suara di bagian informasi.

Sementara itu, untuk meningkatkan layanan kesehatan, pemerintah akan memberikan tenaga pendamping difabel dan pelatihan bagi petugas kesehatan agar mampu melayani ragam difabel.

Salah satu tindakan nyata yang ditunjukkan oleh Roy Himawan dalam meningkatkan layanan kesehatan adalah menyelenggarakan webinar, yang diadakan pada akhir Februari dan awal Maret ini. Tujuannya, mengedukasi para petugas puskesmas bagaimana melayani difabel.

 

Pengalaman Dinas Kesehatan

drg. Emma Rahmi Aryani, M.M, Kepala Dinas Kesehatan kota Yogyakarta membagikan pengalamannya saat sesi diskusi webinar, “Kadang-kadang saat kita melayani teman-teman tuli, di puskesmas, ada macet komunikasi dari meja satu ke meja lain. Kami jadi tahu bahwa kami perlu meningkatkan kemampuan tenaga puskesmas setelah pengalaman itu. Kami buka pelatihan bahasa Isyarat bagi semua tenaga puskesmas, setiap puskesmas diharapkan mengirim empat orang untuk mengikuti latihan yang terdiri dari tenaga pendaftaran, poli gigi, poli umum, dan petugas pemberi obat. Namun, pelatihan ini tidak mulus karena para petugas kesehatan mempunyai banyak tugas. Jadi, setiap puskesmas belum bisa mengirim empat orang karena akan mengganggu layanan mereka. Kemudian yang sudah kami latih, kami merasa kemampuan mereka belum dimanfaatkan secara maksimal karena tidak setiap hari ada pasien tuli. Sebab, keterampilan yang tidak diterapkan akan berkurang,” jelasnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pihak Dinas Kesehatan telah berupaya untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi difabel, meskipun implementasinya masih terkendala.

 

Pengalaman Difabel

Salah satu peserta webinar yang Anonim menceritakan pengalamannya ketika ia menjadi relawan mendapingi pasutri rungu. “Dokter memberikan penjelasan kepada pasutri rungu dengan tulisan, tetapi mereka tidak bisa membaca. Dokter pun tidak bisa berbahasa isyarat. Akibatnya, pasutri rungu ini mengalami kesulitan meminta bantuan ketika istrinya akan melahirkan,” katanya.

Ketimpangan ini memberikan pemahaman bagi kita bahwa memang kita tidak bisa menuntut pemerintah memberikan layanan kesehatan yang memadai secara instan. Sebab, petugas kesehatan belum siap melayani karena kurangnya keterampilan dalam melayani difabel, sedangkan dari pihak difabel sendiri belum bisa membaca dan menulis. Bahasa isyarat yang digunakan juga adalah bahasa BISINDO bukan SIBI.

Lihat perbedaan BISINDO dan SIBI

Banyak  petugas kesehatan di rumah sakit yang  tidak tahu cara melayani dan mengidentifikasi difabel. Ini bukanlah kejadian yang jarang terjadi karena penulis sering mengalaminya hampir setiap kali cek kesehatan di rumah sakit mulai dari tahun 2017 hingga 2025. Ada kalanya, penulis tidak dibimbing menuju kursi pemeriksaan karena petugas mengira penulis bisa melihat, bahkan ketika ada petugas yang berusaha menuntun, ia tidak mengarahkan ke tempat yang benar atau membiarkan penulis menabrak benda di sekitar. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, jelas terlihat bahwa petugas kesehatan belum tahu cara melayani dan mengidentifikasi pasien difabel.

Ada juga pengalaman lain yang sangat menyentuh hati penulis, kejadian ini terjadi di akhir Januari lalu, tepatnya di puskesmas Kasihan. Waktu itu penulis masih ngekos di Yogyakarta. jadi, tidak ada orang tua yang mengantar. Sesampainya di sana, penulis minta tolong ojek online mencari petugas keamanan, tetapi tidak ada. Minta tolong ojek online untuk bantu daftarkan penulis di loket pendaftaran pun ia tidak mau meski dibayar lebih. Dalam keadan terdesak, akhirnya penulis minta bantuan petugas parkir, daripada kembali ke kos lagi. Petugas tersebut tidak hanya membantu penulis mendaftar, tetapi juga menuntun hingga ke ruang tunggu. Ia menempatkan penulis di samping pintu ruang pemeriksaan  agar mudah masuk saat dipanggil, bahkan sesekali ia meninggalkan tugasnya di parkiran untuk memastikan apakah penulis sudah masuk ruang pemeriksaan atau belum. Ketika penulis ingin memberikan imbalan atas bantuannya, petugas parkir itu menolaknya dengan tulus. Sikapnya membuat penulis sangat terharu, karena layanan yang seharusnya dilakukan oleh petugas kesehatan, dilakukan oleh petugas parkir.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Abdullah Khairul Azam, difabel netra asal Makasar, “Saya dulu pernah ke puskesmas sendiri. Sesampai di sana, tidak ada yang menolong atau menyapa saya. Padahal, saya berdiri cukup lama. Malah, saya dikira pengemis. Akhirnya, saya kembali pulang dan meminta bantuan teman untuk mendaftarkan saya ke loket pendaftaran,” kenangnya dengan nada berat.

Haris, difabel netra asal Ambon juga berbagi pengalamannya, “Saya kalau ke puskesmas, harus ditemani karena pasien yang berobat harus mendaftar sendiri. Hampir di semua puskesmas itu tidak ada petugas keamanan. Kalau ada, tentu saya akan minta tolong untuk mendaftarkan diri di loket pendaftaran,” katanya.

Namun, pengalaman berbeda dialami oleh Eko, difabel netra dari Bantul, yang merasa nyaman ketika dibantu oleh petugas keamanan selama proses pendaftaran dan pemeriksaan di puskesmas. “Memang kebanyakan puskesmas tidak memiliki petugas keamanan, tetapi setahu saya, ada beberapa puskesmas besar yang sudah memiliki petugas keamanan. Jadi bisa membantu kami,” tuturnya dengan rasa syukur.

Berdasarkan pengalaman Dinas Kesehatan dan beberapa difabel terkait layanan serta fasilitas yang belum memadai, penulis ingin memberikan saran untuk pemerintah. Pertama, perlu disediakan petugas keamanan sebagai tenaga pendamping difabel selama pemeriksaan. Petugas ini akan berperan sebagai juru bahasa isyarat dan juru baca tulisan bagi difabel sensorik, mulai dari pendaftaran, interaksi dengan dokter, hingga pengambilan obat di farmasi. Melatih petugas keamanan untuk melayani difabel tidak akan mengganggu tugas utama petugas kesehatan.

Kedua, aplikasi Satu Sehat Mobile perlu menambahkan menu pendaftaran khusus untuk difabel, mengingat saat ini menu pendaftaran untuk Cek Kesehatan Gratis belum mencakup kebutuhan difabel. Dengan adanya fitur ini, difabel dapat memberi informasi  kepada puskesmas jika membutuhkan pendamping. Azam mengusulkan, “Menu pendaftaran sebaiknya dilengkapi dengan opsi untuk  memilih tenaga pendamping jika diperlukan.” Eko juga menambahkan, “Menu pendaftaran perlu ada kolom teks untuk mencantumkan status difabel.”

Lihat cara daftar Cek Kesehatan Gratis

Ketiga, program Cek Kesehatan Gratis yang inklusif harus disosialisasikan secara berkala, tidak hanya di akhir Februari atau awal Maret. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat mendukung masyarakat sehat dan produktif serta mempercepat pencapaian Indonesia Emas 2045.[]

 

Reporter: Tri Rizki

Editor      : Ajiwan

 

Daftar Pustaka

Novrizaldi (2020). Komitmen Pemerintah Untuk Wujudkan Indonesia Inklusi. kemenkopmk.go.id. Diakses 1 Maret 2025. Dari https://www.kemenkopmk.go.id/komitmen-pemerintah-untuk-wujudkan-indonesia-inklusi

 

Wibowo, F. G. (2025). Sukseskan Program Ulang Tahun Gratis Cek Kesehatan ala Presiden Prabowo, Kemensos Kerahkan 120 Ribu Pendamping Sosial. kemensos.go.id. Diakses 1 Maret 2025. Dari https://kemensos.go.id/berita-terkini/menteri-sosial/Sukseskan-Program-Ulang-Tahun-Gratis-Cek-Kesehatan-ala-Presiden-Prabowo,-Kemensos-Kerahkan-120-Ribu-Pendamping-Sosial

 

Puskesmasseselalobar. (2025). Mengenal Program Cek Kesehatan Gratis dari Pemerintah. Puskesmassesela-dikes.lombokbaratkab.go.id. Diakses 1 Maret 2025. Dari https://puskesmassesela-dikes.lombokbaratkab.go.id/artikel/mengenal-program-cek-kesehatan-gratis-dari-pemerintah/

 

Dhany, F. W. W. (2025) Program Cek Kesehatan Gratis Perlu Terus Disosialisasikan. Kompas.id. Diakses 1 Maret 2025. Dari https://www.kompas.id/artikel/program-cek-kesehatan-gratis-perlu-terus-disosialisasikan

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content