Views: 26
Solidernews.com – Salwa Paramita dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dalam konferensi pers yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan yang Adil dan Inklusif, Jumat (9/8) menyatakan pihaknya telah menyisir PP nomor 28 tahun 2024 dan mendapatkan berbagai masalah.
Beberapa persoalan yang muncul dalam Peraturan Pemeerintah tersebut seperti masih adanya stigma kepada difabel yang masih didominasi pikiran ableism, contohnya di PP ini masih mengatur nomenklatur mencegah kedisabilitasan. Ada juga beberapa stigma dan diskriminasi di pasal-pasal yang seharusnya PP menenpatkan difabel dalam perspektif HAM sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang nomor 8 Tahun 2016. Dan juga Undang-undang nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi DRPD. Masalah kedua yakni menempatkan kedisabilitas sebagai suatu penyakit yang seharusnya bisa dicegah atau disembuhkan. Hal ini justru melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada orang dengan disabilitas.
Salwa sebagai seorang difabel psikososial melihat permasalahan yang ada adalah ada beberapa persetujuan-persetujuan tindakan medis yang masih diatur dan di sini orang yang memiliki gangguan jiwa berat dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan tidak memiliki hak. Bunyi pasal tersebut begini, “Memberikan persetujuan medis yang dilakukan terhadapnya kecuali yang mengalami gangguan jiwa berat yang dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan tidak memiliki pendamping serta dalam keadaan kedaruratan,” ungkap Salwa.
Menurut Salwa perlu adanya pengaturan dalam ayat dan pasal selanjutnya tentang tindakan medis dan batasan waktunya termasuk yang berkaitan dengan persetujuan tindakan. Mengapa demikian? Sebab jika tidak, akan terjadi kesewenang-wenangan tindakan medis. Jadi perlu diatur lebih rijit lagi mengenai batasannya termasuk waktu dan hal-hal berkaitan dengan persetujuan tindakan.
Kedua, Salwa dan tentu PJS menyayangkan terkait tindakan bunuh diri. Ia sampai mempertanyakan di bagian dari kesehatan jiwa ada nomor register bunuh diri. Sebab ini berasal dari kepolisian, dinas kependudukan dan catatan sipil. Salwa berpendapat bahwasanya ini bukan merupakan tupoksi dari kepolisian dan disdukcapil mengingat data dari kesehatan jiwa termasuk bunuh diri ini termasuk insindensial dimana negara adalah lini kesehatan seharusnya menjamin kerahasiaan data ini.
Lantas bagaimana tentang pengaturan fasilitas layanan kesehatan jiwa yang diatur berbasis masyarakat? di PP ditulis sebagai pesantren. Salwa menambahkan bahwa di PP ini belum mengatur secara rijit pengaturan kewenangan. Kenyataannya yang terjadi sekarang adalah panti rehabilitasi jiwa berbasis pesantren pasti ada lempar-lemparan kewenangan, mana yang bertanggung jawab antara dinas sosial dan dinas kesehatan ataupun ke dinas lembaga di bawah Kementerian Agama yang belum diatur secara rijit.
Selanjutnya adalah ada di bidang ketenagakerjaan yakni di posisi tertentu atau jabatan tertentu setiap orang diwajibkan melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa. Sebenarnya ini masih diskriminatif bahwa orang dengan kesehatan jiwa tidak mendapatkan jabatan atau menduduki kedudukan tertentu. Pemeriksaan kesehatan jiwa ini menurut PJS menjadi penting tetapi dalam rangka pemenuhan aksesibilitas dan Akomodasi Yang Layak (AYL) dalam lingkungan kerja.
Sementara itu Mike Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia dalam konferensi pers yang diadakan bersama-sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan dan lembaga lain mengatakan bahwa PP turunan UU Kesehatan yang terdiri dari 1.171 pasal ini banyak sekali yang diatur karena PP yang sudah disahkan ini cukup besar dan hampir sama atau setara dengan UU Omnibuslaw. Karena pengaturannya banyak sekali dan paham sebenarnya kalau bicara isi tentang kesehatan dimensinya banyak juga serta ter-interseksional dengan pengaturan lainnya.
Secara umum Koalisi Perempuan banyak mengapresiasi atas disahkannya PP 28 ini dan menyoroti dengan sangat detail pengaturan-pengaturan kesehatan yang berbasis kelompok atau usia yang cukup detail, misalnya kesehatan mulai janin dan si usia bayi. Termasuk manusia mulai dari kandungan, anak-anak, remaja, difabilitas dan bahkan juga yang lebih khusus lagi melihat persoalan-persoalan difabilitas yang cukup beragam.
Menurut Mike, kalau dulu publik melihat difabilitas itu secara fisik, tetapi di PP ini juga mengatur difabel mental, intelektual, meskipun ada beberapa hal yang jadi sorotan yakni mengenai pengaturan-pengaturan yang sebelumnya mereka lihat cukup baik misalnya : adanya perlindungan dan layanan yang sudah muncul yakni diarahkan kepada mereka, perempuan yang berbasis kerentanan dalam usia, juga kesehatan dan layanannya contohnya : ketika mereka menjadi korban kekerasan.
Namun, tambah Mike, PP ini masih ada sela-selanya seperti frase-frase yang akhirnya misleading ketika diangkat oleh media dan media sosial seperti soal kontrasepsi. “Ini bagaimana? soalnya PP ini sudah terlanjur sah. Lalu bagaimana diimplementasikan dengan situasi-situasi yang menurut Koalisi Perempuan notabene belum harmoni,” pungkasnya.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief