Views: 12
Solidernews.com – Berlatarbelakang banyak ketimpangan dan diskriminasi, eksploitasi dan fasilitas publik yang hanya bisa dinikmati oleh kebanyakan orang saja. Lantas timbul pertanyaan apakah perlu menumbuhkan kesadaran? Karena ketika menciptakan lingkungan inklusi tanpa tumbuh kesadaran, cita-cita bagaimana menuju Indonesia emas masih sulit terwujud.
Sesuatu yang penting salah satunya untuk menumbuhkan awareness bahwa kita bisa hidup bersama teman difabel yang inklusif, tak terkecuali hidup bersama teman Tuli. Demikian kalimat pembuka yang disampaikan oleh Ismail, manajer media pada lembaga Sigab Indonesia pada webinar yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia (UII), pada beberapa waktu lalu.
Lantas bagaimana situasi teman Tuli saat ini? Ismail menjawab singkat dengan memberi rangkuman. Menurut Ismail kuncinya adalah dengan membuka gerbang komunikasi melalui cara membangun interaksi dan kolaborasi dengan komunitas Tuli.
“Apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu dapat” Kalimat kutipan tersebut diharapkan oleh Ismail untuk dapat dipahami komunitas Tuli. Artinya setiap orang perlu memberikan informasi secara luas termasuk secara visual dan dapat diakses orang Tuli.
Lantas mengapa lebih baik menggunakan kata “Tuli’? Bagi teman Tuli kata Tuli lebih manusiawi dan kata itu berasal dari Bung Karno, begitu kutip Ismail. Istilah Tuli zaman dulu biasanya dengan menggunakan kata tuna rungu. Kata Tuli digunakan saat ini untuk menunjukkan kesetaraan.
Dulu, menurut Ismail masih sulit menemukan teman Tuli yang lulus sarjana S1 sebab masih kesulitan mengakses pendidikan sebab ada diskriminasi bahasa, sulit mengakses informasi, di dunia pendidikan belum memasukkan bahasa isyarat secara sengaja untuk pembelajaran. Padahal bahasa isyarat, 90% teman Tuli menggunakannya. Bahasa isyarat yang digunakan oleh teman Tuli dipandang oleh masyarakat menunjukkan teman-teman Tuli bodoh. Teman Tuli yang lahir dari orangtua tidak Tuli lantas mengalami eksklusi. Beberapa stigma melekat ke teman Tuli di antaranya adalah sikap curiga, emosi, suka berprasangka, dan tidak percaya diri.
Lantas ada beberapa Teman Tuli salah satunya bernama Adhi mengembangkan dan mensosialisaiskan bahasa isyarat itu apa. Dan perkembangannya terkait bagaimana bahasa isyarat itu sendiri. Perkembangan bahasa isyarat saat ini masih signifikan dan perlu mengalami penanganan di berbagai sasaran. Jika dulu 7 dari 10 teman Tuli memakai bisindo maka sekarang menurut Ismail di kisaran 8 dari 10 teman Tuli. Bisindo berkaitan dengan informasi visual yang dilakukan oleh teman-teman Tuli. Dan Bisindo lebih sesuai dengan kebiasaan teman-teman Tuli.
Kasus Menteri Sosial, Tri Rismaharini menuntut atau memaksa teman Tuli untuk bersuara menjadi preseden buruk saat itu bagaimana seorang pejabat belum paham budaya Tuli yakni dengan berbahasa isyarat.
Ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan ketika seseorang berinteraksi dengan komunitas Tuli di antaranya adalah masih adanya : 1. Sikap primordialisme yakni komunitas tuli dianggap punya kekhususan sendiri dibanding dengan yang lain. 2. Alineasi, menganggap beda lalu mengucilkan termasuk terjadi di keluarga kecil. Kedua sikap di atas bersumber pada ideologi kenormalan. Orang Tuli dianggap berbeda dengan orang yang awam anggap “normal”. Orang dengan disabilitas dianggap tidak bisa menulis dengan tangan, padahal bisa dengan kaki. Orang Tuli dianggap tidak bisa berbicara padahal bisa berbicara dengan menulis dengan kertasnya atau gerakan dari tubuhnya. 3. Adanya Perampasan Bahasa, seperti dicontohkan seseorang Tuli yang hidup di lingkungan yang orang dengar sejak bayi. Seharusnya ia diajarkan berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat jadi bisa komunikasi dan kemampuan kognitif dan linguistik berkembang. Kalau sejak dini anak-anak Tuli diajarkan bahasa yang tepat sebagai bahasa mereka. Kalau diajar bahasa isyarat lebih dini akan lebih bagus. Jadi bahasa ibu itu bahasa yang diajarkan oleh ibu tapi bahasa utamanya adalah bahasa isyarat.
Dari masyarakat dengar bisa mendukung komunitas Tuli menjadi deaf ally atau Sekutu bagi orang Tuli adalah supaya orang Tuli bisa ‘mendengar”, atau netra “melihat”. Orang dengar bisa melakukan banyak hal . Orang dengan cerebral palsy juga bisa menjadi deaf ally. Yang terpenting dia bisa mendengar dan menyatu dengan komunitas Tuli, prinsipnya bisa mendukung dan menjadi sekutu komunitas Tuli dengan berbagai cara dimulai dengan 1. Menghormati. Jangan membeda-bedakan tetapi harus menghormati kebudayaan teman Tuli. 2. Mau memahami dan mau melibatkan dan terlibat bahasa isyarat dan budaya Tuli. Kalau orang dengar sudah memahami bahas Tuli, sedikit demi sedikit belajar bahasa isyarat. Paling tidak komunitas dengar memahami dan menghormati budaya Tuli. 3. Yang terakhir, teman-teman dengar bisa mempromosikan budaya Tuli misalnya membangun akses tulisan/subtittle, advokasi permasalahan dari Tuli dan sebagainya.
Ismail memberi kabar terkini bahwa saat ini masih ada diskusi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Konsesi. Pemerintah membuka diri agar komunitas difabel terlibat, termasuk komunitas Tuli. Kenapa dilibatkan? Sebab masalah-masalah teman Tuli selama ini kurang tersampaikan. Maka orang dengar sebaiknya mengingatkan penyelenggara mendengarkan aspirasinya.
Beberapa hal perlu mendapatkan perhatian terkait pemenuhan hak teman Tuli yakni fasilitas Juru Bahasa Isyarat (JBI), monitor besar dengan running text, misalnya ada pengumuman pada fasilitas publik seperti bandara dan stasiun ada pengumuman misalnya penundaan jadwal, teman Tuli jadi mengerti. Kalau tidak ada pengumuman dalam bentuk papan pengumuman yang ada tulisannya, maka teman Tuli tidak tahu.
Terakhir, kepada siapakah jika kita menginginkan belajar bahasa isyarat bisindo? Jawabnya adalah harus kepada teman Tuli langsung, bukan dengan orang dengar. Kalau belajar kepada orang dengar, maka kita meminta orang dengar tersebut untuk melibatkan teman Tuli. Kalau misalkan tidak ada teman Tuli yang expert maka modelnya dengan Training of Trainer (ToT). Di sini kita belajar bahasa isyarat yakni membantu teman Tuli untuk mengembangkan Bisindo agar lebih baik lagi.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan Arief