Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Marginalisasi Perempuan Difabel dalam Film Gincu Merah Erika

Views: 37

Solidernews.com, Yogyakarta. GINCU Merah Erika, adalah film pendek garapan Sutradara Bimo Suryojati. Diambil dari kisah nyata, film ini menggambarkan betapa rentannya perempuan penyandang disabilitas (difabel). Tak mudahnya, perempuan difabel mengakses keadilan hukum. Minim pengetahuan dan pergaulan sosial, berdampak pada hidup nrima [menyerah dengan keadaan]. Tak punya arah dan tujuan. Mengafirmasi setiap tekanan dan ancaman yang datang. Tak berdaya, karena tak tahu bagaimana harus berjuang dan melawan ketidak adilan.

Perempuan difabel dalam film ini, mereka adalah kelompok minoritas dalam minoritas (marginal). Dalam berbagai keterbatasan (pendidikan, ekonomi, sosial), berakibat pada perempuan rentan terhadap diskriminasi.

Stigma dan stereotipe, pelabelan atau generalisasi berdasarkan kondisi fisik, mental, intelektual, komunikasi, dan hambatan lainnya. Hal ini berdampak pada, mereka tersubordinasi. Dianggap tidak penting dan dengan semena-mena ‘dikuasai’.

Film berdurasi 45 menit itu, terinspirasi dari kisah nyata. Namun ada beberapa bagian yang difiksikan, dengan mengubah nama korban dan tempat kejadian. Menceritakan kisah Erika, remaja dengan keterbelakangan mental dan intelektual, yang mengalami kekerasan seksual, di usianya 13 tahun. Pelaku pemerkosaan, tak lain adalah orang dekat Erika.

Erika tak tumbuh sebagaimana mestinya seorang anak. Bocah remaja itu jauh dari kasih sayang kedua orang tuanya. Erika lahir dari seorang ibu dengan cerebral palsy, tanpa pekerjaan. Sedang ayahnya adalah difabel fisik, dengan kesehariannya mengumpulkan sampah.

Marginal secara pendidikan, ekonomi dan sosial, kedua orang tuanya tak berdaya membesarkan dan mendidik Erika. Sementara, Erika yang usia mentalnya tak sepadan dengan usia kalender, tak paham apa yang terjadi pada dirinya. Tidak bisa membedakan kasih sayang dan pelecehan. Perkosaan yang berulang, berdampak pada sikap adiktif (candu). Bukan takut dan menghindari pelaku. Sebaliknya, Erika justru sering kali mencari pelaku.

Peristiwa pelecehan terungkap ketika datang seorang mahasiswa yang hendak melakukan riset untuk tugas kuliahnya.  Laporan kepada pihak-pihak berwenang pun dilakukan. Hingga berjalan proses hukum. Namun, keadilan tak datang pada Erika. Karena pelaku berdalih tidak melakukan pemerkosaan. Melainkan mau sama mau. Bahkan ancaman pun dilakukan pelaku terhadap ibu korban. Uang senilai Rp200 ribu digunakan pelaku, untuk mengancam ibu korban, agar tidak melanjutkan proses hukum.

Pesan moral

Film Gincu Merah Erika, merupakan film perdana Perhimpunan OHANA Indonesia. dirilis pada peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Diputar perdana di Jogja Film Academi, Sabtu (30/11/2024). Proses panjang pendampingan, dengan berbagai tantangan, difilmkan dengan beberapa pesan moral.

Linghting dan pengambilan gambar sangat baik. Film ini memberikan teguran bagi para orang tua, untuk selalu waspada terhadap perkembangan anak. Untuk memperhatikan, memberikan kasih sayang, serta membangun diskusi dan komunikasi.

Selain itu, pentingnya pendidikan seks sejak dini menjadi hal yang harus dilakukan oleh setiap orang tua dan sekolah. Tanpa kecuali, kepada anak-anak dengan kebutuhan berbeda (difabel), apa pun kondisi difabilitas yang menyertai.

Film ini juga memiliki pesan moral, pentingnya peran keluarga dalam hidup seseorang anak. Bahwa seharusnya, keluarga menjadi tempat teraman dan ternyaman. Tempat untuk kembali dan pulang. Kepedulian orang-orang di sekitar difabel, pun menjadi pesan berharga dalam film ini. Selain itu, mengajarkan agar keadilan harus diperjuangkan, meski memerlukan usaha begitu keras.

Bincang dengan sutradara

Kepada awak media Bimo, demikian nama panggilan sang sutradara sekaligus penulis naskah Film Gincu Merah Erika. Dia menyampaikan harapan, film tersebut tak hanya ditonton kalangan tertentu. Tapi siapa pun. Itu sebabnya film base fakta itu dibuatnya fiksi.

“Disabilitasnya memang tidak terlalu ditampakkan. Tapi emosi ditampilkan melalui adegan demi adegan,” ujar Bimo.

Film. Saat ini menjadi media satu-satunya. Paling mudah, paling kuat, paling bisa meraih semua kalangan. Harapan sang sutradara, film ini dapat  ditonton dari mulut ke mulut. Lebih cepat, lebih bisa dinikmati, tidak menggurui. Sedikit banyak, film itu ada hiburan. Ada sisi estetika yang diharapkan bisa nyanthol dari pada sifatnya hanya penyuluhan atau edukasi yang formal.

Proses pembuatan film itu tidak terlalu lama, demikian terang Bimo. “Syutingnya hanya empat hari. Ini film dengan anggaran yang limited. Jumlah crew juga terbatas. Tapi hebatnya, di projek ini semua teman-temnan Ohana terlibat.

Tak hanya sebagai adminsitratif, atau ketika membahas tentang naskah. Tapi juga sebagai pemain. Kemudian semua crew yang hanya berlima, kelimanya bermain. Jadi memang awalnya ada semacam ketidak yakinan. “Bisa tidak ya membuat sesuatu dengan angka segini? Tanya Ohana. Saya jawab, ya kalau Ohana niat, kita pasti bisa. Satu syaratnya, semua harus total,” terang Bimo.

Bimo juga mengatakan, bahwa teman-teman yang ingin berkampanye, marlilah. Tidak hanya dibalik layar dan menulis naskah. Tapi harus berani ikut tampil. Dari film tersebut, kata dia, yang bener-bener talent hanya dua orang. Sisanya dari Ohana dan crew, ujar sutradra muda itu.

Terkait tantangan, datang dari sisi teknis, kata Bimo. Terbatas dengan alat, terutama audio. Jadi filmnya tidak terlalu optimal dari sisi audio. Di luar itu, lebih karena kebanyakan talent baru pertama kali di depan kamera. Jadi take time (butuh waktu). untuk membuat mereka percaya diri.

“Karena saya pribadi kebetulan sudah cukup lama berteman dengan dunia disabilitas. Lebih dari dua puluh tahun. Ya memang kami di lingkup itu, satu sama lain kenal,” ujar Bimo menjawab pertanyaan media, mengapa tertarik mengerjakan projek film tersebut.

Punya harapan sama

Kami punya perjuangan yang sama. Ingin menyampaikan sesuatu. Bahwa fakta yang terjadi, baik di dunia hukum maupun hak-hak disabilitas, sampai saat ini belum terpenui secara ideal. Semua pihak harus bareng-bareng. Yang bisa bikin karya ya bikin karya. Yang bisa menulis ya menulislah. Yang di LSM ya bergeraklah. Yang bisa menggunakan area edukasi silahkan digunakan.

Intinya kita harus bareng-bareng, ini tidak akan selesai ketika tidak melibatkan sebanyak mungklin ruang. Film ini hanya sekian kecil dari keinginan kami untuk ikut andil menyuarakan apa yang terjadi pada temen-temen disabilitas.

“Dengan pemutaran hari ini, kita punya senjata. Kita bisa apa, bisa dibawa ke mana. Jadi film bukan hanya ditonton sebagai film. Tapi kita punya isu penting, perlindungan hukum bagi difabel yang tak mudah digapai teman-teman difabel. Film ini bisa menjadi pemantik. Semua harus terlibat. Di film ini ada instrumen dari luar. Ada psikolognya, ada segi hukum,” pungkas sang sutradara.[]

 

Reporter; Harta Nining Wijaya

Editor    : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content