Views: 29
Solidernews.com – Pengaduan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan masih meningkat. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat data 2015-2020 laporan pelecehan seksual sebanyak 27% terjadi di Perguruan Tinggi.
Pada tahun 2023 tercatat ada 65 kasus yang masih terjadi di perguruan tinggi. Kekerasan seksual di kampus merupakan masalah serius yang kerap terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus mencapai 15%, angka ini menjadi urutan ketiga setelah 19% terjadi di transportasi umum, dan 33% di jalanan.
Berdasarkan survey Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, 77% responden kalangan dosen menyatakan ada kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampusnya, sedangkan 63% responden dari pihak korban memilih tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya kepada pihak kampus.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi telah berlaku sejak 3 September 2021. Hadirnya peraturan tersebut diharapkan ada regulasi sekaligus implementasi yang dapat terlaksana pada seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan Permendikbudristek, setiap perguruan tinggi yang tidak membentuk satuan tugas dalam kurun waktu paling lama satu tahun sejak diundangkannya peraturan ini akan dikenakan sanksi berupa administratif.
Perguruan tinggi inklusif harus aktif mencegah kasus pelecehan seksual
Perguruan tinggi inklusif menerima mahasiswa difabel sebagai salah satu upaya advokasi terhadap hak pendidikan bagi mereka. Difabel menjadi rentan mengalami tindak pelecehan seksual di kampus inklusif.
Advokasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 bagi mahasiswa difabel telah diatur dalam banyak pasal, diantaranya:
(a) Pasal 11 Ayat 3, ‘Dalam hal, korban atau saksi merupakan penyandang disabilitas, pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas.’ (b) Pasal 34 Ayat 1 huruf F, ‘Melakukan koordinasi dengan unit yang menangani layanan disabilitas, apabila laporan menyangkut korban, saksi, pelapor dan/atau terlapor dengan disabilitas.’ (c) Pasal 41 Ayat 4, ‘Dalam hal korban, saksi dan/atau terlapor merupakan penyandang disabilitas, Satuan Tugas menyediakan pendamping disabilitas dan pemenuhan akomodasi yang layak.’
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM Sri Wiyanti Eddyono, S.H.,LL.M, Ph.D. telah melakukan bimbingan teknik terhadap banyak kampus di Yogyakarta. Menurutnya, Satgas PPKS perguruan tinggi memang menghadapi tantangan dalam penanganan kasus kekerasan di lingkungan kampus, misalnya kasus dengan masyarakat umum hingga bersinggungan dengan dimensi pidana yang lain. Akibatnya, mekanisme yang sebelumnya hanya bersandar pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, harus menyesuaikan dengan dinamika kondisi.
Pihaknya juga menyampaikan, butuh sinergi dengan unit layanan pemerintah daerah, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, layanan di Kementerian PPPA, sistem informasi yang sudah dimiliki oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam proses penanganan kekerasan termasuk kekerasan seksual, serta layanan lain yang ada di masyarakat guna penanganan yang komprehensif.
Regulasi terhadap kasus kekerasan seksual kampus inklusi
Disahkannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tanggal 12 April 2022 menjadi faktor pendukung sangat perlunya pembuatan kebijakan sebagai wujud tindaklanjutan dari Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 dikalangan mahasiswa, termasuk mahasiswa difabel.
Telah diuraikan dengan jelas, untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, Permendikbud menggunakan prinsip kepentingan terbaik bagi korban, keadilan serta kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.
Seluruh elemen di lingkungan perguruan tinggi, baik pelajar maupun pendidik menjadi target dalam mengimplementasikan kebijakan terkait kekerasan seksual di kampus.
Ragam kekerasan seksual yang dapat terjadi di kampus mencakup tindakan secara verbal atau perkataan, fisik dan nonfisik, maupun tindakan yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi tergolong sebagai kekerasan seksual.
Bentuk kekerasan seksual secara perkataan maupun perbuatan melalui teknologi infromasi dan komunikasi juga termasuk di dalamnya karena sering dianggap sepele. Pada kenyataannya bentuk kekerasan tersebut sangat berdampak terhadap psikologi korban serta dapat membatasi hak atas pendidikan atau pekerjaan akademik mereka.
Dalam Jurnal Praksis dan Dedikasi (JPDS), 68-72. Dian Utami Ikhwaningrum, T. D. (2020). Pendidikan Seks Bagi Mahasiswa Sebagai Upaya Pencegahan Perilaku Seks Bebas. Ia menyampaikan, “Penting sekali pendampingan dan sosialisasi pendidikan seks lanjutan bagi mahasiswa agar mereka mengetahui, memahami dampak yang terjadi dari perilaku seks bebas agar mereka dapat lebih berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan lawan jenis. Serta optimalnya lembaga konseling kampus sebagai media konsultasi bagi perkembangan psikologi mahasiswa”.
Menurut tulisan Muhammad Tri Ajie, R. (2021), bertajuk ‘Mendikbudristek: Ada Darurat Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi!.’ Ia menuliskan adanya Permendikbudristek tersebut menjadi nafas segar bagi seluruh civitas academica Universitas di Indonesia.
Kedua regulasi tersebut, baik Permendikbudristek maupun UU TPKS memiliki tujuan yang senada, yaitu untuk meminimalisir, dan menghilangkan kasus tindakan kekerasan seksual di kampus serta melindungi seluruh elemen yang berada di lingkungan perguruan tinggi. Terlebih di kampus-kampus inklusif yang menerima mahasiswa difabel, sebab mereka berpotensi mengalami kerentanan yang berlapis.
Sutanty, salah satu mahasiswa difabel yang pemenpuh pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta mengungkapkan bahwa pihaknya merasa lebih aman jika memang sudah ada regulasi dan kebijakan yang secara progresif memeberikan jaminan keamanan dan kenyamanan mahasiswa difabel untuk belajar di kampus. Lebih-lebih dalam konteks pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. “perguruan tinggi sebagai entitas pendidikan sudah seharusnya memiliki sejumlah sistem untuk melindungi mahasiswanya dari kemungkinan ancaman kekerasan seksual. Saya berharap ini dapat bekerja secara optimal dan terimplementasi dengan baik”. Pungkasnya.[]
Reporter : Srikandi Syamsi
Editor : Ajiwan Arief