Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Mahasiswa Difabel Netra Kekinian: Dilema Mentalitas, Adaptasi, dan Sikap Proaktif di Perguruan Tinggi

Views: 49

Solidernews.com – Era pendidikan terus berkembang dengan pesat. Kini, pendidikan di Indonesia secara umum sudah dapat dirasakan oleh semua kalangan, tak terkecuali oleh pelajar difabel. Tentu semua itu berkat kerja keras kita semua. Munculnya peraturan soal pendidikan inklusif, undang-undang tentang disabilitas, dan sebagainya menjadi beberapa tonggak pengakuan secara konstitusi yang patut disyukuri. Tinggal kita, sebagai mahasiswa difabel, yang harus terus melanjutkan estafet perjuangan kesetaraan hak tersebut. Dengan apa? Tentunya perjuangan dan konsistensi yang teguh.

Akses pendidikan perguruan tinggi pun dengan baik menerima kehadiran mahasiswa difabel. Kini bisa dibilang tak ada lagi penolakan terhadap mahasiswa difabel di perguruan tinggi negeri di Indonesia, khususnya mahasiswa difabel netra. Hampir semua kampus yang tersebar di Indonesia sudah dapat dinikmati oleh difabel netra dengan begitu baik.

Nah, berbicara dalam konteks mahasiswa difabel netra di era kekinian, mereka kini tengah menghadapi realitas perkuliahan yang kompleks dan penuh tantangan. Di tengah laju perkembangan teknologi dan perubahan pola belajar, mereka berada di persimpangan antara peluang dan dilema. Di satu sisi, perkembangan teknologi telah membuka pintu baru menuju pendidikan yang lebih inklusif. Namun di sisi lain, ketidakmerataan akses layanan serta tantangan adaptasi zaman yang cepat membuat posisi mereka begitu dilematis.

Agar dapat berkembang, mahasiswa difabel netra dituntut untuk menjadi individu yang adaptif, proaktif, serta memiliki kemampuan berpikir kritis. Namun faktanya, masih ada beberapa difabel netra di perguruan tinggi yang kurang bisa memaknai perjuangan kesetaraan pendidikan itu. Ada yang kuliah dengan seenaknya, tidak menguasai teknologi yang diperlukan, sering meminta keringanan tugas, saat diberi tugas pengerjaannya selalu dilimpahkan ke teman, dan sejenisnya menjadi beberapa hal yang harus diluruskan.

“Saya sendiri bingung, Mas, saat mengajar salah satu mahasiswa saya yang difabel netra. Dia itu tidak menguasai screen reader, bingung menggunakan gawai, dan belum mahir mencari referensi mandiri. Padahal kelas saya menuntut untuk banyak membaca literatur, jurnal, artikel, dan membuat resensi. Lah, mahasiswa itu kurang bisa mengimbangi ritme kelas saya,” tutur Meta, seorang difabel fisik yang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta, pada 8 Oktober 2024.

“Selain itu, saat saya tanya apakah sudah belajar komputer bicara, dirinya malah tidak jelas responsnya,” imbuhnya.

Dalam kesempatan lain, Arian, seorang mahasiswa difabel netra di salah satu kampus Islam negeri di Yogyakarta, menceritakan perihal kawan difabel netra di kampusnya, pada 18 Oktober 2024. “Di fakultasku itu malah ada kawan yang mengerjakan tugas lewat pesan WhatsApp, mas. Padahal formatnya harus dikerjakan dengan Word. Anehnya, dirinya itu tidak lekas belajar menggunakan laptop, tapi malah terus meminta keringanan.”

Nah, sikap-sikap di atas, yang menunjukkan kurangnya bekal dalam perkuliahan, sering menjadi dilematis. Tidak sedikit dari kawan-kawan Arian yang justru menggunakan kondisi kedifabelannya untuk meminta keringanan. Bagi Arian, itu sangatlah merugikan bagi sesama mahasiswa difabel netra. Sebab, kadang dosen akhirnya memandang kalau difabel netra itu penugasannya harus selalu diberi keringanan.

“Waktu itu aku juga pernah, Mas. Sewaktu akan mengerjakan tugas sesuai format dosen, aku malah ditanyai oleh dosenku itu. Bisa tidak Mas mengerjakannya? Misal kalau susah lewat WA saja juga silakan,” ujar Arian.

“Tentu aku paham itu mesti akibat beberapa oknum yang sering meminta keringanan tanpa berpikir-pikir. Tentu aku tidak mau, dan mengerjakan tugas sebagaimana format yang telah ditentukan,” imbuhnya.

 

Soal Akses Pendidikan

Sebenarnya, tantangan pertama yang dihadapi oleh mahasiswa difabel netra adalah aksesibilitas. Banyak institusi pendidikan yang masih belum sepenuhnya ramah terhadap difabel. Meski sudah ada undang-undang yang mengatur hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, implementasinya sering kali kurang optimal. Dalam konteks ini, mahasiswa difabel netra sering kali berada dalam posisi dilematis: mereka ingin belajar dan berkembang, namun terkendala fasilitas dan dukungan yang terbatas.

Bila sudah ada institusi difabel di kampus terkait, terkadang masih kurang maksimal soal pendampingan dalam peningkatan kemandirian mahasiswa difabel netra. Informasi yang kurang merata, kabar yang kurang jelas, program yang sering tidak berjalan sesuai harapan, dan kurangnya perspektif difabel yang dimiliki para relawan institusi difabel itu menjadi sejumlah persoalan yang kadang dirasakan difabel netra.

Anis, mahasiswi difabel netra di salah satu kampus negeri Islam di Yogyakarta, pada 20 Oktober 2024, menceritakan pengalamannya, “Ya, kalau di kampusku itu institusi difabelnya kayak kurang bisa merangkul dengan baik, Mas. Selain itu, aku sendiri merasa hanya mendapat respons yang baik bila institusi tersebut ada kepentingan denganku. Di luar itu, kayak-kayak mereka tidak kenal.”

Anis juga menambahkan bahwa institusi difabel di kampusnya itu manajemen sumber daya manusianya kurang maksimal. Banyak program untuk difabel netra yang kurang tereksekusi dengan baik. Selain itu, programnya simpang siur. Mulai alasan sibuk, dana susah cair, relawan tidak ada, dan sebagainya. Padahal kampusnya itu memproklamirkan diri sebagai kampus inklusif. Namun, SDM di institusi difabelnya malah menunjukkan hal yang kurang baik.

 

Adaptif di tengah Teknologi

Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, mahasiswa difabel netra memiliki potensi besar untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Teknologi asistif, seperti screen reader dan perangkat lunak pengenalan suara, memungkinkan mahasiswa difabel netra untuk mengakses informasi secara mandiri. Mahasiswa difabel netra yang menggunakan teknologi asistif cenderung memiliki performa akademik yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak memanfaatkannya.

Namun, tidak semua mahasiswa difabel netra memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses teknologi ini. Faktor biaya dan ketersediaan perangkat sering kali menjadi kendala utama. Meskipun demikian, mahasiswa difabel netra yang adaptif mampu mencari solusi alternatif, seperti menggunakan aplikasi gratis yang memiliki fungsi serupa atau berkolaborasi dengan teman-teman yang tidak difabel untuk membantu mereka dalam mengakses materi perkuliahan.

“Sebenarnya kalau soal komputer bicara, di kampusku itu ada ruang difabel yang di situ ada komputer yang bisa digunakan, Mas. Selain itu, kursus komputer juga ada. Tapi ya, itu. Kawan-kawan difabel netra sebagian masih menikmati zona enaknya terus dibantu,” ujar Arian.

Adaptasi juga bukan hanya terkait dengan teknologi. Mahasiswa difabel netra juga dituntut untuk mengembangkan strategi belajar yang efektif, seperti mengoptimalkan ingatan pendengaran dan menggunakan metode belajar berbasis diskusi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi mereka tidak hanya sebatas pada alat bantu teknologi, tetapi juga pada kemampuan kognitif dan strategi belajar yang mereka kembangkan.

“Tentu komputer bicara ini menjadi jembatan yang penting, Mas, bagi mahasiswa difabel netra. Dengan menguasai komputer, mereka dapat lebih suportif bersaing di bangku kuliah. Tidak merepotkan kawan, mandiri, dan tentunya dapat menunjukkan kualitas di hadapan kawan serta dosen,” ujar Nubuat, selaku instruktur komputer di Badan Sosial Mardi Wuto, pada 18 Oktober 2024.

 

Proaktif dalam Membangun Kemandirian

Mahasiswa difabel netra yang sukses di dunia akademis sering kali menunjukkan sikap proaktif dalam mengatasi keterbatasan. Mereka tidak hanya menunggu bantuan dari pihak luar, tetapi juga berinisiatif untuk mencari solusi dan mengembangkan diri. Mahasiswa yang proaktif cenderung lebih berhasil dalam menyelesaikan studi mereka karena mereka mampu mencari sumber daya tambahan, seperti buku audio, platform e-learning, dan komunitas belajar yang mendukung.

Kemandirian ini juga tercermin dalam upaya mereka untuk menjalin komunikasi yang baik dengan dosen dan teman-teman sekelas. Mahasiswa difabel netra yang proaktif akan lebih sering berdiskusi dengan dosen terkait kebutuhan khusus mereka, meminta modifikasi materi, atau memanfaatkan layanan inklusif yang disediakan oleh kampus. Sikap proaktif ini tidak hanya membantu mereka dalam mencapai prestasi akademik, tetapi juga membangun hubungan sosial yang lebih baik dengan lingkungan sekitarnya.

 

Berpikir Kritis dalam Menghadapi Tantangan

Selain adaptasi dan sikap proaktif, kemampuan berpikir kritis juga menjadi kunci keberhasilan mahasiswa difabel netra dalam menavigasi dunia perkuliahan. Kemampuan berpikir kritis memungkinkan mereka untuk menganalisis masalah, mengevaluasi alternatif solusi, dan mengambil keputusan yang tepat.

Kemampuan berpikir kritis ini juga berperan penting dalam konteks pemecahan masalah. Mahasiswa difabel netra dihadapkan pada situasi di mana mereka harus mencari cara untuk mengatasi hambatan yang tidak selalu terlihat oleh mahasiswa lain. Mereka harus mampu memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada, baik dari segi teknologi maupun dukungan sosial, untuk menghadapi setiap tantangan yang datang. Bukan malah melimitasi diri dengan alasan kalau, “saya difabel netra. Jadi harus diringankan tugasnya semaksimal mungkin.”[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor      : Ajiwan

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content