Views: 25
Solidernews.com, Yogyakarta –Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), tengah menyuarakan diperlukannya cover BPJS Kesehatan, bagi korban percobaan (penyintas) bunuh diri. Pasalnya, aksi percobaan bunuh diri, sudah barang tentu bukan kesengajaan. Melainkan, disebabkan kondisi mental atau kejiwaan tertentu. Semestinya, korban mendapatkan berbagai pertolongan. Layanan asuransi, satu di antaranya.
Selama ini, percobaan bunuh diri hanya dilihat dari sisi psikologi saja, bukan hak asasi manusia (HAM). Mereka mendapatkan stigma, diskriminasi, bahkan diskriminalisasi. Sementara, setiap warga negara melekat kepadanya hak asasi manusia. Di antara hak asasi itu adalah hak untuk hidup.
Bagaimanapun seseorang yang bunuh diri, mengalami masalah yang luar biasa berat. Karenanya, luka pada korban (penyintas) bunuh diri semestinya mendapatkan perhatian pemerintah. Dukungan psikis dan psikologis, semestinya dihadirkan. Penyintas dibebaskan dari pembiayaan perawatan fisik maupun psikis rumah sakit. Pemerintah menanggungnya, dengan pembiayaan BPJS.
Tersebut di atas mengemuka dari Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti, Senin (28/10/2024). Dalam sebuah diskusi online (webinar) dengan tema Stop the Stigma: BUNUH DIRI BUKAN TINDAK PIDANA. Yeni Rosa berharap, jalan keluar bagi para penyintas bunuh diri didapatkan. Stigma bisa dihentikan. Serta, BPJS bisa mengcover pembiayaan bagi penyintas bunuh diri.
Aktivis difabel mental penyintas bunuh diri Salwa Paramitha, mengadvokasi isu bunuh diri. Kasus bunuh diri di kalangan difabel mental, kata dia, sering kali diiringi dengan stigma yang berat. Alih-alih dilihat sebagai kondisi kesehatan yang membutuhkan pemahaman dan dukungan, bunuh diri kerap dianggap sebagai kegagalan pribadi atau perilaku yang memalukan.
Keluarga, masyarakat bahkan media, sering kali memberikan label negatif. Tanpa mempertimbangkan beratnya beban mental yang mereka alami. Demikian pula, latar belakang keterbatasan dukungan yang tersedia.
Polisi moral
Saat ini. diskriminasi terhadap korban bunuh diri dan keluarga yang ditinggalkan masih sangat kuat. Ketika seseorang mengakhiri hidup (bunuh diri), masyarakat sering kali memberi cap buruk. Menganggapnya sebagai tindakan memalukan atau dosa besar yang menodai nama keluarga.
Alih-alih memperhatikan perasaan duka dan kehilangan keluarga, masyarakat memposisikan diri sebagai polisi moral. Menghakimi keluarga dengan pandangan sinis. Bahkan mempertanyakan haga diri dan kebersihan moral keluarga yang berduka.
Menurut Salwa, diskriminasi juga terjadi pada tata cara pemakaman. difabel mental yang mengakhiri hidup, diperlakukan berbeda. Keluarga dipaksa menyembunyikan penyebab kematian. Sehingga tidak bisa memberikan penghormatam terakhir secara layak, karena menghindari pandangan negatif lingkungan.
Selain itu, stigma bunuh diri, berdampak pada keluarga enggan mencari dukungan emosional maupun psikologis. Terpaksa menyembunyikan kesedihan, agar tidak menjadi perbincangan masyarakat.
Bagi mereka yang mengalami kondisi kesehatan mental berat, pandangan ini menimbulkan tekanan besar. Stigma, akibat bunuh diri membuat mereka ragu mencari pertolongan. Mereka takut mendapat penghakiman, jika mengakui keputusasaan atau pikiran untuk mengakhiri hidup. Diskriminasi tersebut berdampak pada semakin jauh dari bantuan yang seharusnya dapat menyelamatkan mereka.
Stigmatisasi, memperberat kesedihan. Menghalangi kesempatan mengakses dukungan sosial dan emosional. Akhirnya, stigma bunuh diri, menjadi rantai penghalang yang memngghambat upaya pencegahan dan kesadaran mental.
Diskriminasi lain yang dihadapi Salwa, di antaranya: kehilangan pekerjaan, tidak dapat mengikuti ujian profesi, dijadikan bahan candaan sepanjang hidup, serta disingkirkan oleh keluarga.
BPJS meng-cover preventif
Berbagai pertanyaan dilontarkan Salwa, kepada institusi pemerintah BPJS. Bagaimana political will BPJS dalam penguatan kebijakan penanganan bunuh diri? Seperti apa jaminan perlindungan BPJS terhadap difabel mental dalam penanganan bunuh diri? Serta, bagaimana cakupan penanggungan bunuh diri oleh BPJS?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof. Ali Ghufron Mukti menyampaikan beberapa hal. Kesehatan mental adalah salah satu aspek penting dari kesehatan secara keseluruhan. Kesehatan mental yang baik dapat membantu seseorang dapat berpikir jernih, tepat mengambil keputusan, serta mengelola stres.
Sebaliknya, kesehatan mental yang buruk dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan masalah dalam hubungan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.
Berbagai isu mengenai kesehatan mental di atas, mendapat pelayanan yang dilindungi oleh BPJS Kesehatan. Pelayanan yang dimaksudkan, sebagai upaya mendeteksi gangguan mental yang terjadi (preventif).
Namun, Gufron mengatakan, untuk menentukan cover BPJS kesehatan pada penyintas bunuh diri, diperlukannya pengkajian mendalam terlebih dahulu. Percobaan bunuh diri sebenarnya termasuk ke dalam hal yang tidak bisa ditanggung asuransi. Di samping itu, ada juga cedera akibat olahraga tertentu yang pembiayaannya tidak bisa di-cover oleh layanan asuransi.
“Tapi ini perlu penelitian dulu, perlu pengkajian dulu. Nggak boleh terus diputuskan begitu. Dari kasus-kasus yang sudah ada kita bisa cek apakah dia sakit jiwa atau nggak. Bukan perorangan. Secara sampel, kita bisa menarik kesimpulan ini sebenarnya bagaimana,” ujarnya.
Namun begitu, banyak pihak menyuarakan bahwa aksi percobaan bunuh diri justru disebabkan kondisi mental atau kejiwaan tertentu. Walhasil, korban sepatutnya mendapatkan pertolongan dari layanan asuransi.
Maka untuk menentukan cover BPJS Kesehatan pada korban aksi percobaan bunuh diri, Prof Ghufron menegaskan, diperlukan pengkajian lebih dulu. Kajian tersebut berfokus pada kasus-kasus yang sudah ada, kemudian dicari tahu apakah benar percobaan bunuh diri disebabkan penyakit kejiwaan.
“Saya kira perlu satu kajian. Perlu kita kaji lagi. Memang menjadi perdebatan. Yang jelas itu kalau di dalam asuransi, orang melukai diri sendiri, kemudian dia berolahraga yang sangat berisiko tinggi dan membahayakan contohnya yang terbang parasailing, itu nggak dijamin memang. Termasuk bunuh diri,” pungkasnya.[]
Reporter: harta nining Wijaya
Editor : Ajiwan