Views: 8
Solidernews.com, Yogyakarta—Menjadi pengusaha yang memiliki cabang, tidak mau terbelenggu pada keadaan, dan terus haus akan pengetahuan mungkin itu sedikit hal yang bisa menggambarkan sosok Ariyani Sri Ramadhani. Sebagai founder sekaligus CEO dari dua cabang Warung Ayam Geprek Petukangan, salah satu CEO dari Blind Coffee & Special Tea sudah menjadi bukti bahwasanya ia adalah difabel netra yang tangguh.
Dibalik kesuksesannya di bidang usaha kuliner, sejumlah perjuangan telah ia lakukan. Selain giat mengelola usahanya, berkali-kali ia terus mengadakan kegiatan sosial, memberikan kelas kursus, edukasi, dan sangat ramah kepada orang yang ingin sharing bersamanya. Hal itu tentunya malah menjadi nilai plus yang melekat pada personalnya.
Akan tetapi dari prestasi dan puncak pencapaian seorang Ariyani di dua bisnis Warung Ayam Geprek Petukangan dan Blind Coffee & Special Tea itu tidak hanya ada kisah manis saja. Banyak kisah dan proses pahit yang ia mulai sejak bisnis-bisnis itu mulai dibangun. Dari 2018 hingga 2024, tntunya menyimpan kisah-kisah yang kompleks dan penuh perjuangan. Berikut seklumit cerita yang di bagikan Ariyani kepada solidernews.com pada 30 Juni 2024.
Menjadi difabel netra di saat kelas 3 SMA, tentunya itu adalah hal yang tidak mudah. Ariyani muda saat itu terus merasa depresi. hingga di tahun 2008, ia berkenalan dengan Yayasan Mitra Netra yang mampu bangkitkan bara semangatnya. Dari saat itu, Ariyani mulai percaya diri dengan kemampuannya. Belajar komputer, skill berbahasa, dan kursus pre-imploiment akhirnya membentuk jiwa Ariyani yang kuat.
Sewaktu di tahun 2018, Ariyani sudah berkerja sebagai instruktur komputer, melayani pesanan katering dari kantor atau organisasi, dan sebagainya. Hal itu didasari karena Ariyani juga suka memasak.
Hingga satu masa, Ariyani harus dihadapkan pada keadaan anaknya yang harus melanjutkan jenjang sekolah. Saat itu ia berdomisili di Tangerang. Sedangkan anaknya memiliki kedifabelan sebagai lowvishion yang memerlukan dukungan fasilitas yang memadai. Sementara fasilitas pendidikan yang bagus untuk anaknya saat itu tersedia dengan baik di Jakarta. Meski ia sudah merasa nyaman menjadi guru komputer, menemani anak-anak ajarnya berproses, dan memiliki relasi di Tangerang Selatan, akhirnya ia dan suami kembali ke jakarta untuk menyekolahkan anaknya.
Dari fase ini, Ariyani kembali harus bertarung dengan keadaan. Ia harus tetap menjaga perut keluarga, ekonomi, dan tabungan guna keperluan keluarganya ke depan. Akhirnya dengan berbagai perenungan, diskusi, mengingat skill apa saja yang dimiliki, maka terlahirlah ide membuka Warung Ayam Geprek. Di waktu itu, ia baru mahir membuat ayamnya. Sedangkan untuk sambal ia masih harus belajar lagi.
Maka ia yang memiliki darah Sumatera yang sambalnya cenderung ke arah manis, harus kembali merogoh kantung untuk memperlengkap senjata bisnisnya, dengan mengikuti kelas salah satu chef yang mengajari cara membuat sambal. Tentu kursusnya tidak hanya sambal. Tapi Ariyani di sini lebih mengejar resep sambal yang cita rasanya sesuai untuk ayam gepreknya. Akhirnya setelah sekian lama berproses, usahanya membuahkan hasil. Sebuah warung ayam geprek berdiri gagah di garasi rumah orang tuanya. Bersama sang ibunda ia mulai berdagang pada 19 juli 2018 dengan nama “Warung Ayam Geprek Petukangan”.
Selama proses berdagang, Ariyani pun mengakui tidak langsung ramai seperti sekarang. Mulai yang sehari hanya ada 1-2 pembeli. Pun pernah mengalami yang sepi tiada yang membeli sama sekali. Di sinilah tekad, komitmen, dan ketangguhan mentalitas seorang pebisnis diuji. Belum lagi adanya stigma yang liar di luaran sana tentang pandangan miring pada difabel netra yang berbisnis kuliner. Ada yang bilang “takut ndak bersih, terbayang kalau ngolahnya sembarangan, dan lain-lain.”
“Saya tidak membiarkan dan membiasakan diri untuk memusingkan omongan orang, mas. Terpenting saya sudah mengusahakan yang terbaik. Baik saat mencuci, mengolah, dan menyajikan. Toh, di sini saya juga ada ibu yang membantu. Jadi, yakin saja. Tidak usah pusingkan orang-orang yang tidak penting itu,” tegas Ariyani saat menjawab stigma miring di luar sana, pada wawancara via daring, 30 Juni 2024.
Tidak hanya hal di atas saja. Ariyani juga harus menghadapi oknum karyawan-karyawan yang berkerja padanya. Mulai yang tidak amanah, membohongi valuasi data, meremehkan dirinya, dan sebagainya. Kesal, marah, sedih semua berpadu menjadi satu rasa dalam perjuangannya membangun Warung Ayam Geprek Petukangan. Ia yakin, Allah pasti akan membantu dan membalas berbagai perbuatan tidak amanah dari oknum karyawannya.
Begitu pula saat Ariyani dan rekan-rekannya mendirikan Blind Coffee & Special Tea. Semua tidaklah mulus-mulus saja. Mereka harus memiliki bekal, merogoh kocek, dan bersinergi untuk membuat kedai ini memiliki wibawa. Harus mengikuti training, membangun relasi, serta berjuang menghajar stigma masyarakat dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang positif, serta meng-edukasi para masyarakat nondifabel menjadi makanan sehari-hari Ariyani bersama founder lainnya.
Pada debut awal di Maret 2020, Blind Coffee & Special tea ini sudah diberikan tamparan keras pada komitmennya. Pasalnya waktu itu PSBB akibat wabah Covid 19 tengah gencar dilakukan. Tetapi dengan tekad kuat Ariyani bersama 4 founder dan relawan Fency tetap melakukan soft oppening meski tidak dihadiri oleh tamu undangan yang sudah disebar. Berkat kegigihan mereka, Blind Coffee & Special Tea tetap masih kokoh berdiri untuk menjawab tantangan zaman.
Mulanya Blind Coffee ini berjalan atas iuran lima orang, dengan jumlah yang tidaklah besar. Mereka hanya bermodal semangat, keyakinan, dan doa. Akhirnya dengan bantuan jaringan dari Komunitas Relawan Fency, Blind Coffee ini mengadakan sebuah event Blind Coffee Adventure di museum Bank Indonesia, Jakarta. Dari tour yang dilakukan hingga Desember 2019, berkat adanya perhatian, dukungan, dan empati dari para donatur, akhirnya Blind Coffee & Special Tea memiliki kedai. Namun, saat Maret 2020 sewaktu akan mengadakan soft oppening dan lounching, mereka harus menghadapi aturan PSBB akibat Covid 19.
Belum lagi, Blind Coffee harus dihadapkan pada pengelolaan keuangan yang kompleks. Mereka sudah harus bertempur dengan Covid 19, extra Cost yang harus di keluarkan rekan-rekan difabel netra, dan keadaan lainnya. Pada tahun 2022 Kedai yang ditempati pun akhirnya tutup. Namun, mereka masih eksis hingga kini dengan usaha rumahan. Menerima coffee catering, kelas seduh, blind coffee adventure, menjadi narasumber, dan lain-lain.
Intinya menjadi difabel netra, itu tidak jadi masalah. Mau belajar, tidak pantang menyerah, terus mencoba, dan abaikan stigma miring di luaran, menjadi penegasan Ariyani Sri Ramadhani pada teman-teman difabel netra yang ingin berbisnis kuliner. Langitkan doa, bangun komitmen kuat, gandeng relasi, dan jalan terus, insyaallah yang tidak mungkin pasti akan menjadi mungkin.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan Arief