Views: 27
Solidernews.com – Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025-2045, terdapat kebijakan untuk meningkatkan upaya kesehatan dan untuk mewujudkan sistem kesehatan yang tangguh dan responsif. Sasaran utama dari kebijakan tersebut salah satunya adalah masyarakat difabel. Selama ini persoalan yang dihadapi difabel dalam bidang Kesehatan antara lain, jaminan rawat inap dan rawat jalan yang tidak akomodatif pada kebutuhan difabel, layanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang belum mengadakan pelayanan kesehatan khusus untuk difabel antara lain layanan dokter jiwa dan tenaga rehabilitasi medik. Selain itu, hambatan dalam layanan publik di pusat-pusat kesehatan juga masih menjadi tantangan, terutama pada aksesibilitas informasi dan komunikasi tenaga kesehatan dalam melayani difabel , serta aksesibilitas gedung-gedung layanan.
Rancangan RPJMN 2025-2045 harus direspon secara aktif oleh organisasi masyarakat Penyandang Disabilitas dalam upayanya berpartisipasi penuh terlibat memberikan usulan-usulan untuk memastikan RPJMN mendatang akomodatif terhadap kebutuhan difabel, sehingga pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan dapat diakses dan disesuaikan dengan ragam dan kondisi difabel. Oleh karena itu, Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas mengadakan serial webinar bertajuk DIGNITY.
Program DIGNITY menyelenggarakan webinar ke 20 dengan tajuk Indikator Program Layanan Kesehatan bagi Penyandang Disabilitas dalam Kebijakan RPJMN 2025-2045. Hari Selasa, 19 Maret 2024 dengan peserta sejumlah 75 orang yang berasal dari berbagai organisasi difabel di berbagai wilayah. Narasumber dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan yakni dr. Nida Rohmawati serta Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat BAPPENAS yang diwaikili oleh Tirta Sutedja. Penanggap pada kali ini dari berbagai aktor difabel Sylvia Sumargi -Spinal Muscular Atrophy, Arshinta – PR Yakkum, Rina Prasarani – HWDI, Yenni Rosa Damayanti – PJS, Mahmud Fasa – PPDFI serta Maulani A Rotinsulu selaku moderator.
Sambutan diwakili oleh Ariani Soekanwo dari Pokja Disabilitas mengadakan diskusi ini sebagai wadah untuk menyampaikan isu kesehatan bagi difabel. Peserta difabel dapat menyampaikan tantangan dalam diskusi ini sehingga nantinya akan ada solusi untuk pemenuhan hak difabel.
Tirta Sutedja mengawali paparan dengan menitikberatkan pentingnya perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi terhadap inklusivitas layanan dan kesehatan bagi difabel baik di tataran daerah hingga pusat. Penyediaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang kompeten di fasilitas layanan kesehatan juga turut menjadi perhatian. Pemenuhan layanan kesehatan difabel tentu diperlukan pelibatan CSO dan OPdis dalam pemantauan layanan dan jaminan kesehatan .
Pemapar kedua Nida Rohmawati menyampaikan dengan runtut paparan strategis program pelayanan kesehatan bagi difabel untuk jangka 2025 hingga 2029. Langkah yang direncanakan mencakup identifikasi dan penguatan tatanan perarturan, perundangan dan kebijakan, penyusunan dan pengembangan pedoman dan media KIE sesuai jenis ragam difabel, penguatan dan pemenuhan kecukupan tenaga medis, penguatan dan pemenuhan pelayanan kesehatan yang inklusi, pelibatan peran serta figure, serta penelitian layanan kesehatan bagi difabel.
“Pemerintah memiliki jangkauan yang luas dibanding platform lainnya, maka awarness masyarakat juga akan lebih baik, maka untuk deteksi terhadap penyakit langka perlu digaungkan”, ungkap Sylvia.
Akses obat, pengobatan atau terapi serta peralatan medis juga dikeluhkan oleh Mahmud Fasha dan Dhedhe sebagai perwakilan dari organisasi difabel. Prasarani Rina menambahkan bahwa cara pandang terhadap difabel perlu diubah dalam menyelesaikan masalah kesehatan bagi difabel.
“Perempuan difabel mengalami hambatan dalam layanan kesehatan, sehingga di wilayah pelosok perlu ditingkatkan penguatan dari sdm si tenaga kesehatan”, ungap Prasarani Rina.
Arshinta menyampaikan model lokal yang dilakukan komunitas difabel dan pemerintah sudah dilakukan di beberapa wilayah dampingan Yakkum. Penyediaan alat bantu harus disinergikan dengan JKN yang ada agar tetap berkesinambungan.
“Peningkatan kapasitas pemerintah daerah, organisasi difabel dengan pembentukan Pokja Alat Bantu yang sudah diperkuat dengan SK, sehingga dapat melakukan tugas sebagai advokasi bersama”, jelas Arshinta.
Hadirnya negara dalam menyediakan layanan dan fasilitas kesehatan yang inklusif perlu didukung oleh banyak pihak sehingga partisipasi penuh organisasi difabel dalam perencanaan pemerintah terkait layanan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama. Ke depan harapan dari diskusi ini akan ada tindak lanjut berupa pemantauan atas layanan kesehatan bagi difabel.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan Arief