Views: 54
Solidernews.com, Sleman. PRIHATIN atas hilangnya beberapa program bagi penyandang pisabilitas (difabel), disuarakan Jaringan Advokasi Nasional Organisasi Penyandang disabilitas (JANOPD). Berasal dari 8 (delapan) Provinsi di Indonesia, yakni: Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Khusus Jakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Timur, serta Sulawesi Selatan, mereka bersatu menyuarakan aspirasi.
Indonesia dengan projek-projek baru Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dinilai tak juga memberi perhatian terhadap isu-isu inklusivitas. Alih-alih menjadi lebih baik. Pemerintahan baru ini, justru mundur dari peradaban dan nilai-nilai inklusif.
Efisiensi anggaran pun dihembuskan. Dampaknya, pemangkasan atau pemotongan anggaran terjadi pada sebagian besar kementerian. Tak luput, alokasi pemenuhan hak difabel pun dibabat. Sehingga berbagai program penting, di antaranya: advokasi kebijakan, penguatan kapasitas bagi difabel, dan pembangunan fasilitas inklusif melemah.
Bahkan Komite Nasional Disabilitas (KND) pun dipangkas anggarannya. Dari penganggaran Rp 6,9 miliar menjadi Rp 500 juta. Lembaga yang berperan penting dalam advokasi dan pengawasan hak difabel ini limbung. Fungsi pengawasan dan penegakan hak-hak difabel diamputasi. Dibabat dengan hanya menyisakan akarnya yang sakit.
Maraknya Program Strategis Nasional (PSN) Era kepemimpinan Prabowo adalah muaranya. Perpres No. 12/2025 menetapkan 29 Proyek PSN Baru dalam RPJMN 2025–2029, total terdapat 77 PSN. Selain itu, Pemerintah juga memiliki program baru yang membutuhkan anggaran besar untuk pelaksanaannya. Yaitu: Makan Bergizi Gratis/MBG dan Koperasi Merah Putih.
Kini, pemerintah juga mencabut sekitar 1,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) di kuartal II 2025. Dengan alasan no longer eligible atau tidak lagi memenuhi syarat, pasca verifikasi ulang Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Kemensos menyebut angka 1,9 juta keluarga yang dicoret pada tahap berikutnya karena inclusion error (keliru terdaftar sebagai penerima).
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Pusat Rina Prasarani, mengatakan fakta pencabutan bantuan tersebut adalah kesalahan besar pemerintah. Pasalnya, di antara jumlah tersebut ada keluarga difabel. Tak hanya orang tuanya yang difabel, ada yang anak mereka pun juga difabel.
“Penyandang disabilitas dalam KPM itu adalah saya sendiri. Saya yang kehilangan penglihatan. Dan anak saya pun demikian,” ujarnya menanggapi petanyaan media.
Lanjutnya, menjadi penyandang disabilitas (difabel), kami memiliki kerentanan berlapis. Seharusnya pemerintah memastikan pencabutan bantuan tersebut terdata secara nasional, dan tidak ditujukan untuk mencabut bantuan yang selama ini diterima oleh difabel.
Tersebut di atas mengemuka pada jumpa pers Jaringan Advokasi Nasional Organisasi Penyandang disabilitas, di Hotel Tara, Jalan Magelang, Yogyakarta, Selasa (17/5/2025). Diprakarsai Perhimpunan OHANA Indonesia (DIY), tujuh organisasi disabilitas dari tujuh provinsi di Indonesia, yakni: SAMARA (Lombok_NTB), GERKATIN (BALI), BILIC dan CAI (Jawa Barat), JANGKARJATI (Jawa Tengah), HWDI (DKI), dan CAKSANA menghasilkan tuntutan terhadap Pemerintahan Presiden Prabowo.
Ironi
Namun demikian, JANOPD menyatakan memahami realitas anggaran Nasional. Bahwa, anggaran terbatas sehingga prioritas diperlukan untuk kelangsungan pembangunan yang kemanfaatannya adil bagi semua orang. Sayangnya, PSN (jalan tol, kereta cepat, pelabuhan) mendapatkan porsi besar dan multi-tahun. Sedangkan program inklusi disabilitas sering tergolong sebagai “anggaran sosial” yang relatif kecil, tidak dijadikan prioritas utama.
Kementerian dan Lembaga lain terkait layanan bagi difabel sering mengalami pemotongan anggaran atau mengalami stagnasi, sementara sektor infrastruktur tetap bertambah. Pada tahun-tahun tertentu, alokasi bansos dan pelayanan bagi difabel tidak naik signifikan atau justru disesuaikan turun demi pengendalian defisit atau realokasi ke PSN.
Ironis, minim proyek atau program yang eksplisit ramah bagi difabel. Banyak program atau proyek tersebut tidak memasukkan desain universal access (ramah kursi roda, dan difabel sensorik) sebagai syarat utama.
Tak libatkan difabel
Dalam pemantauan yang dilakukan oleh jejaring advokasi disabilitas dan HAM, ditemukan bahwa berbagai proyek atau program tersebut tidak melibatkan difabel, sejak perencanaan hingga pelaksanaan, serta mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation). Hal ini bertentangan dengan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 19 Tahun 2011 dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), RAN penyandang disabilitas dan RAD PD.
Perwakilan OHANA Indonesia Nuning Suryatiningsih dengan tegas mengatakan, skema proyek raksasa yang berorientasi pada investasi dan percepatan pembangunan kerap mengabaikan prinsip inklusivitas.
“Relokasi pemukiman akibat PSN, seringkali tidak ramah disabilitas. Justru meminggirkan akses ekonomi mereka. Pun demikian, koperasi merah putih yang digagas Pemerintah Prabowo tidak melibatkan disabilitas di dalamnya. Tidak ada jaminan inklusi dalam skema keuangan mikro ini. Minim afirmasi untuk perempuan penyandang disabilitas yang menghadapi hambatan ganda. Termasuk anak penyandang disabilitas, orang atau penyandang disabilitas dengan penyakit langka, penyandang disabilitas di daerah 3T (terluar, tertinggal, termiskin) dan masyarakat adat, serta orang dengan multi disabilitas,” tandasnya.
Lima tuntutan
Pada kesempatan itu dengan lantang Jaringan Advokasi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas 8 provinsi menyuarakan lima tuntutan. Di antaranya: Pertama, menuntut pemerintah segera melakukan audit seluruh PSN, terutama dari sisi dampak yang ditimbulkan terhadap pemenuhan hak-hak kelompok rentan, khususnya difabel.
Kedua, program yang sampai ke tingkat bawah/desa, Koperasi Merah Putih salah satunya. Harus tunduk pada prinsip partisipasi inklusif, serta wajib melibatkan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), dalam proses pelaksanaan di desa-desa. Serta, tidak mengurangi alokasi anggaran yang selama ini telah dilaksanakan.
Tiga, pengurangan bantuan sosial tidak menghilangkan daftar nama penyandang disabilitas dari data penerima bantuan sosial, karena menyebabkan kerentanan berlapis.
Empat, Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah wajib memastikan RAN dan RAD Penyandang Disabilitas diintegrasikan dalam dokumen pembangunan. Berikut memastikan pelaksanaan Rencana Aksi didukung oleh anggaran yang memadai.
Lima, mendesak BPK, BPKP, dan bila dibutuhkan, KPK untuk mengawasi potensi pelanggaran tata kelola dalam program proyek dan program, yang berpotensi mengurangi hak ekonomi warga disabilitas dan rentan.
Seruan untuk perhatian lebih
Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memberikan perhatian lebih pada isu anggaran bagi difabel. Pemangkasan anggaran yang tidak tepat sasaran, dapat berdampak negatif pada kualitas hidupan difabel. Karenanya, penting memastikan anggaran dialokasikan secara efektif untuk memenuhi kebutuhan mereka.
“Pemenuhan hak disabilitas tidak bisa ditunda atas nama pembangunan. Pembangunan yang benar adalah yang mengikutsertakan semua warga tanpa kecuali termasuk perempuan disabilitas,” tutup Rina, Ketua II HWDI Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan