Views: 50
Solidernews.com – Pemahaman terhadap dalil-dalil agama dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta dan menyebabkan stigma terhadap orang yang mengalami atau pernah mengalami kusta. Banyaknya dalil yang menyarankan untuk menjauhi penyakit kusta dapat memicu prasangka dan mendorong perilaku menjauhi orang yang pernah mengalami kusta. Hal ini menciptakan stigma buruk dalam masyarakat. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penyakit kusta dapat menjadi hambatan dalam mengatasi stigma terhadap orang yang mengalami atau pernah mengalami penyakit tersebut. Perbincangan di kantor madrasah Ibtiidayah Islamiah Desa Kendal, pada 18 November 2023, menyoroti pentingnya pemahaman masyarakat terhadap dampak sosial penyakit ini. Oni dalam percakapannya menekankan bahwa ada beberapa dalil agama yang mungkin menyebabkan sebagian masyarakat menjauhi orang yang terkena kusta. Dia menganggap hal ini sebagai suatu yang perlu diperhatikan secara serius. Untuk mendapatkan perspektif lebih lanjut, Oni berpendapat bahwa penting untuk meminta tanggapan dari tokoh agama, guna memahami secara lebih mendalam dan kontekstual bagaimana agama menanggapi kondisi orang yang mengalami kusta. Dalam tanggapannya, ustadz dahlan menjelaskan kisah-kisah di masa Rasulullah Saw, di mana penyakit kusta menjadi bagian dari ujian yang dihadapi beberapa sahabat. Beliau menekankan bahwa Nabi Muhammad Saw, tidak pernah menciptakan stigma negatif terhadap orang yang terkena penyakit kusta. Sebaliknya Rasulullah menunjukkan kasih dan dukungan moral terhadap mereka yang mengalami penyakit tersebut. “Penyakit kusta sudah dijelaskan dalam hadits Nabi di mana Nabi menjelaskannya langsung secara jelas, baik secara tingkah laku Nabi maupun contohnya dalam kehidupan sehari-hari. ‘Ada di antara sahabat Nabi yang terkena penyakit kusta, yaitu hilangnya jari jemari dan kulitnya berbintik-bintik, atau dalam bahasa lain, terkena penyakit gatal yang menjamur. Pada saat itu, sahabat yang lain atau kaum yang lain mencemooh sahabat yang terkena penyakit kusta tersebut. Di saat itulah Nabi mempertegas dengan tindakannya; mengajak, mengundang sahabat yang terkena kusta untuk makan bersama dengan Nabi. Bukan dua piring, dua wadah, tetapi justru satu wadah, di mana tangan Nabi bersentuhan langsung dengan tangan sahabat yang terkena penyakit kusta. Kemudian, Nabi mengambil nasi itu bersama-sama sejajar dengan tangan sahabat yang terkena penyakit kusta. Artinya, bahwa penyakit kusta, penyakit lepra, tidak bersifat menular secara inti. Meskipun secara kedokteran penyakit tersebut ada yang menular, tetapi perlu dikaji dalam kondisi bagaimana dan lain sebagainya,” terangnya.
“Masalah hadits atau keterangan tentang penyakit kusta, ada beberapa hadits yang katakanlah, punya pandangan negatif; menurut pak ustad, apakah hadits tersebut masih relevan untuk saat ini, atau harus dikaji ulang apakah hadits-hadits tersebut masuk ke dalam kategori hadis dha’if, bahkan mungkin hadits palsu,”? tanya Oni.
Dalam menanggapi pertanyaan oni, ustadz Dahlan juga menambahkan, memahami dalil-dalil tertentu harus dilihat dalam konteks sejarah dan budaya pada saat itu.
“Saya mungkin tidak sepenuhnya memahami hadits tersebut, tetapi menurut pemahaman saya, hadits yang menilai negatif terhadap orang yang terkena penyakit kusta terlihat sangat dlo’if (lemah).
Penting untuk mengkaji asbabul wurud hadits (mengkaji sejarah terbentuknya hadist tersebut dan memahami kondisi saat Nabi mengucapkannya. Meskipun hadits itu benar, saya menyikapinya dengan pandangan waspada. Artinya, kita tidak harus menjauhi mereka, tetapi tetap berada dalam posisi dekat dengan kehati-hatian, sebagaimana kita berhadapan dengan bahaya. Hadits mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh, bukan hanya terkait penyakit kusta, tetapi juga penyakit lainnya. Hikmah yang dapat diambil adalah menjaga kesehatan dan mempertahankan tingkat imun yang tinggi untuk melindungi diri dari dampak negatif pada kesehatan.” Jawab Ustadz Dahlan.
Dalam kondisi kontemporer, Ustadz Dahlan menyoroti bahwa masyarakat modern dan tokoh agama tidak boleh dengan mudah mengadopsi sikap negatif terhadap orang yang terkena kusta. Sebaliknya, beliau menekankan perlunya memberikan dukungan moral, bantuan medis, dan merawat mereka dengan penuh kasih sayang. Dalam pandangannya, kusta dapat dianggap sebagai ujian, dan sikap manusiawi yang penuh empati dapat menjadi bentuk ibadah.
Ustadz Dahlan mendorong masyarakat untuk memahami bahwa Islam adalah agama yang tidak statis, tetapi dapat diaplikasikan dengan bijak sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan memahami dalil tentang penyakit kusta secara kontekstual, beliau ingin menghilangkan stigma dan membangun masyarakat yang lebih baik, di mana setiap individu dihormati dan diterima tanpa memandang kondisinya.
Ustadz dahlan juga menambahkan dalam pernyataannya; “Seorang ustadz harus mencontohkan kepada masyarakat itu dengan cara merangkul mereka yang terkena penyakit kusta. Contohnya, ternyata penyakit kan bukan kusta saja ya, hanya umumnya saja di Indonesia yang seakan menjijikkan itu penyakit kusta, padahal masih banyak penyakit lain yang lebih menjijikkan. Sikap seorang ustadz atau ulama bisa mencontohkan merangkul mereka dan mengajak mereka untuk duduk bersama. Bimbing mereka agar semangat hidup selalu optimis. Jadi, seorang ulama tidak hanya bisa memerintahkan kepada masyarakat, mereka harus melakukan itu, tidak bisa hanya memerintahkan tapi harus bisa mencontohkan. Ustad itu harus menjadi contoh yang langsung dan nyata, itulah dakwah yang sangat utama.”[]
Penulis : Apipudin
Editor : Ajiwan