Views: 18
Solidernews.com, Yogyakarta. AKTRIS kawakan, Suti Karno (58), mengunjungi Unit Layanan Disabilitas (ULD), Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (10/1/2025). Pemeran Atun pada sinetron era 90an Si Doel Anak Sekolahan itu, berbagi kisah tentang perjuangannya selama menjadi difabel. Message (pesan) dalam kisahnya itu ialah, agar penyandang disabilitas (difabel) tidak menyerah. Tetap mengejar cita-cita dan terus berkarya.
Suti Karno mengisahkan, setelah 18 tahun hidup dengan diabetes, dia harus menjalani perawatan intensif dengan beberapa kali operasi. Proses tersebut menyebabkan jaringan kulit kakinya mati. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada bagian tubuh yang lain.
Melalui berbagai pertimbangan, Suti menerima kenyataan kaki kanannya harus diamputasi. Keputusan tak mudah, yang sempat membuat Suti shock dan terguncang. Dukungan orang-orang terdekat, berhasil menguatkannya. Akhirnya Suti mulai membiasakan diri dengan kondisi barunya.
“Saya kan, baru menjadi disabilitas kurang lebih dua tahun. Saya mengakui ada proses untuk menerima itu semua,” ungkap pemeran Atun di sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu.
Kini, ia tidak hanya memupuk semangat hidup tinggi dalam dirinya, tapi juga menyebarkan kesadaran mengenai inklusivitas. Setelah sempat vakum, ia kembali membuat konten di channel YouTube-nya. Suti menyebarkan kisah inspiratif dan memberi dukungan untuk para difabel.
Pada kesempatan itu, Dosen FEB UGM Wuri Handayani pun berbagi kisah perjuangannya. Pegiat inklusivitas di lingkungan kampus itu mengaku, banyak kesulitan yang ia alami, pada awal dia menjadi difabel.
Wuri yang mahasiswi Farmasi, Universitas Airlangga kala itu, memiliki hobi mendaki gunung. Kemudian ia mengalami kecelakaan. Ia jatuh dari ketinggian, hingga menyebabkan kelumpuhan. “Awalnya dokter tidak memberitahu kalau saya lumpuh permanen, karena untuk memberi saya waktu untuk menerima. Jadi saya kira cuma temporal,” terang Wuri.
Setelah kejadian tersebut, Wuri mendapati perlakuan yang bagi dirinya aneh. Tanpa alasan apa pun, pihak fakultas memberikan kebijakan agar Wuri pindah ke fakultas lain. Dia yang merasa tidak ada masalah dengan kondisi intelektual dan akademiknya pasca kecelakaan, mengaku bingung.
“Saya kaget dong, Tiba-tiba fakultas memberikan kebijakan, agar pindah fakultas. Tanpa memberi keterangan atau alasannya apapun. Aneh banget. Sementara otak saya ini tak ada masalah. Satu alasannya, karena farmasi akan sulit ditempuh dengan kondisiku yang berkursi roda,” terang Wuri.
Seiring berjalannya waktu, penolakan pihak fakultas semakin dia rasakan. Demikian juga dari lingkungan belajarnya. “Dulu, saya kan setiap kelas perlu dibopong. Karena tidak ada jalur lift atau kursi roda untuk ke lantai 1 dan 2. Tapi di kelas juga saya merasakan penolakan, bahkan dari dosen,” tambah Wuri.
Akhirnya setelah 4 semester ditempuh, ia mengulang pembelajaran kembali di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi. Pilihannya pada akuntansi sebenarnya didasarkan karena proses pembelajaran yang minim kegiatan fisik dan bisa dilakukan secara mobile.
Wuri berhasil lulus dengan predikat cumlaude dan meniti karir. Berlatar belakang keluarga yang berprofesi sebagai guru, sejak kecil Wuri bercita-cita menjadi pengajar. Sayangnya, jalan yang dilalui begitu terjal dan sulit.
Beberapa kali ia mendaftar, penolakan terus ia dapatkan bahkan dengan sejumlah prestasi akademik yang mumpuni. “Sebelumnya penolakan itu tidak pernah diberi keterangan. Tapi pada satu waktu, ada surat keterangan yang menyatakan bahwa saya ditolak karena saya memakai kursi roda,” kata Wuri.
Surat keterangan itu yang menjadi modal bagi Wuri memperjuangkan hak-hak difabel pada pemerintah. Wuri mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, terhadap anggapan bahwa difabel tidak sehat jasmani dan rohani.
Ia terus memperjuangkan tuntutan tersebut hingga pada tahun 2009 Wuri berhasil memenangkan gugatan. “Banyak yang mengira saya cuma memperjuangkan diri sendiri. Padahal saat itu saya ingin agar disabilitas diberikan ruang untuk dapat pekerjaan,” ujar Wuri.
Menahkodai ULD
Diskusi Suti Karno dengan Wuri diakhiri dengan sejumlah upayanya untuk mempublikasi awareness (kesadaran) mengenai masyarakat difabel. Wuri melanjutkan perjuangannya, dengan mewujudkan inklusivitas di lingkungan kampus UGM. Kini ia menahkodai Unit Layanan Disabilitas (ULD) di kampus tersebut. Sebuah wadah bagi sivitas difabel UGM bernaung dan mengasah kemampuannya.
Sejak diinisiasi lebih satu dekade (2012), ULD UGM akhirnya diresmikan pada akhir 2024, tepatnya 10 Desember 2024. Keberadaannya, kini menjadi wujud implementasi amanat Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016.
Baik difabel dari kalangan mahasiswa, tenaga kependidikan, maupun dosen, dapat mengakses pelayanan di ULD ini. Selain itu, ULD akan menjadi pusat penelitian untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas di ranah yang lebih luas. “Harapannya ini bisa menjadi sarana untuk menyuarakan, dan mewujudkan kampus inklusif,” pungkas bu dosen.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan