Views: 2
Solider.id, Bantul. Jogja Disabilitry Arts (JDA). Satu yayasan yang bergerak mewujudkan partisipasi penuh dan kesamaan kesempatan kepada penyandang disabilitas dalam bidang seni budaya. Berkantor di salah satu ruang yang berada di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta. Membuka simpul eksklusif dunia seni konsisten dijalankan dalam setiap gerak kegiatan. Pameran karya seni rupa, dalam skala lokal, nasional, hingga internasional, satu di antaranya. Pun, memberikan ruang terbuka bagi masyarakat belajar (pawiyatan) seni budaya, cara lainnya. Demikian pula berjejaring dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri.
Pada Jumat (30/6), JDA mendapatkan kunjungan balasan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI), Hilmar Farid, P,Hd., pasca audiensi yang dilangsungkan JDA kepada Dirjen Kebudayaan pada awal tahun (Januari) 2023.
Hadir sekira pukul 17.30 WIB didampingi Direktur Galeri RJ Katamsi DR. Nano Warsono, Direktur Biennale Jogja International Disability Arts FX Rudy Gunawan. Disambut Rektor ISI Yogyakarta Prof. DR. Drs. Timbul Raharjo, M.Hum dan Ketua JDA Sukri Budi Dharma (Butong).
Dialog santai dibangun pada acara kunjungan yang berlangsung dua jam malam itu. Diawali dengan sambutan oleh Butong yang memaparkan berbagai kegiatan yang telah dilakukan JDA. Disampaikannya juga agenda pelaksanaan Biennale Jogja International Disability Arts pada 7-20 Oktober mendatang.
“Satu tujuan yang hendak dicapai JDA ialah, terus tumbuh dan berkembang dunia seni budaya yang melibatkan difabel sebagai pelaku seni,” ujar Butong.
Adapun, Rektor ISI Yogyakarta memaparkan keberpihakannya terhadap difabel. Selain Galeri Katamsi yang membuka sekat eksklusif, juga penerimaan mahasiswa dengan beragam disabilitas (tuli, autis, totally blind) di kampus yang dipimpinnya.”Seni itu fleksibel. Sangat tergantung dengan apa yang disenangi. Karenanya siapa saja bisa menempuh pendidikan di ISI tanpa kecuali difabel. Dan Galeri RJ Katamsi telah menjadi pionir ruang pamer inklusif,” kata Prof. Timbul.
Ada keberlanjutan
Sedangkan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, P.Hd., menyampaikan kronologis dirinya mulai fokus memberikan kesempatan dan ruang bagi kelompok marginal, difabel dalam hal ini. Tahun 2014, ketika dirinya menjadi kandidat Dirjen Kebudayaan, isu disabilitas sudah diusungnya. Kemudian 2018 membuat event pameran inklusif di Jakarta. Bagi Himar Farid, perlakuan khusus terhadap difabel bukan berarti memaklumi kekurangannya. Melainkan memberikan peluang bagi difabel menjadi diri mereka sendiri. “Semangat memberi ruang ini harus sustain. Karena ada keistimewaan, ada spesifikasi pada tiap-tiap diri difabel,” tandasnya.
Pada kesempatan itu pun disampaikannya satu langkah menyuarakan inklusivitas di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi seni baik negeri maupun swasta. “ISI Yogyakarta perlu merencanakan pertemuan antar kampus seni baik negeri maupun swasta. ISI Yogyakarta sebagai pionir, sebagai tuan rumah kegiatan tersebut,” imbuh Hilmar Farid.
Selanjutnya, supaya lebih mencair sesi dialog diselingi dengan penampilan Rema. Remaja perempuan dengan low vision (terbatas penglihatan). Rema yang juga salah satu murid pawiyatan JDA itu membawakan satu lagu, untuk seluruh hadirin. Sebelumnya pimpinan Kelompok Musik Gandana, Nanang, mempresentasikan bunyi-bunyian dari alat-alat musik yang diciptakannya, menggunakan alat bantu mobilitas. Krug, kanadian, tongkat putih, serta kursi roda.
Membangun perspektif
Dialog pun dilanjutkan dengan tanggapan DR Budi Irawan, Kaprodi S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM, sekaligus Kurator Biennale Jogja International Disability Arts. “Bagaimana pun, perspektif seni dan disabilitas bisa lebih terwacanakan melalui berbagai kegiatan. Baik di dunia pendidikan dan di mana pun,” ujar Budi.
Dilanjutkan Direktur Biennale Jogja International Disability Arts FX Rudy Gunawan, yang menyampaikan, bahwa biennale satu-satunya dan pertama di dunia. Organisasi seni yang konsen dengan pertunjukan Dadafesh di Liverpool Inggris, bahkan ingin bekerja sama dengan JDA dan ISI Yogyakarta. Organisasi ini akan mengirimkan dua seniman difabelnya pada pelaksanaann biennale pada Oktober mendatang. Kemudian, akhir Oktober – November 2023 gantian, dua pengurus JDA akan residen di Inggris.
“Poin kolaborasi akan jadi pekerjaan rumah (PR) terus menerus. Karena cara pandang lama bahwa difabel itu dosa, kutukan, bibit leluhur yang tidak baik, ini perlu digeser, dihapuskan,” kata FX Rudy Gunawan.
Pada kesempatan itu Rudy juga menyentil tulisan wartawan yang tidak komprehensif dalam menulis. Yang lebih mengedepankan seremonial tidak pada esensial dari fakta. Dampaknya akan mengarah pada eksploitasi atau memposisikan difabel sebagai obyek dalam penulisan.
Dia memungkasi tanggapannya dengan satu harapan. “Bahwa sustainabilitas JDA akan terjaga. Karena ada program penguatan organisasi, yang merupakan dukungan yang akan diberikan Dirjen Kebudayaan,” ujar Rudi yang disambut dengan tepuk tangan para hadirin.
Direktur Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta Nano Warsono meyakini. Bahwa aksesibilitas terwujud melalui proses. Dan Nano mengatakan, apa yang kita mampu, akan kita lakukan. “Galeri Katamsi harus dapat memberi akses seluas-luasnya pada difabel. Tidak hanya sebagai penonton, melainkan terlibat sebagai peserta dalam setiap pameran yang dihelat di ISI Yogyakarta,” tegas Nano.
Seorang mahasiswa Teater ISI Yogyakarta, Barokah. Atau yang dikenal dengan nama Panggung Yuda Wira Jaya, menyampaikan alasannya berani memilih ISI sebagai sekolah lanjutnnya. “Keluar dari zona nyaman. Di kelas banyak hal baru yang saya dapat. Selanjutnya melalui tempaan JDA, saya jadi lebih paham,” ungkapnya.
Sedang salah seorang orangtua dengan anak difabel, Mama Jud mengaku menemukan mata air ketika bertemu dengan Butong, Ketua JDA. Dia yang sebelumnya tak tahu bagaimana dan ke mana menyalurkan bakat seni anaknya yang Down Syndrome, kini mengaku lega.
Paska dialog berakhir, sesi kunjungan balasan disuguhi penampilan Yuda Wira Jaya yang membawakan puisi karya sendiri berjudul Kopi Sore, bersama Kelompok Musik Gandana.
Kegiatan berakhir pada pukul 17.45 WIB, dengan penyerahan cenderamata, berupa satu buah Lukisan Karya Ayu Novita Sari (seniman tuli) dan cenderamata dari Galeri R. J. Katamsi. Dilanjutkan foto bersama seluruh hadirin. Kemudian Dirjen Kebudayaan menyempatkan menonton pameran ditemani Direktur Galeri RJ Katamsi dan Direktur Biennale.
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief