Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Pemandangan deretan pohon kelapa dengan di bawahnya ada. telaga air . Sumber: freepik.com

Krisis Iklim dan Kemarau Basah: Aspirasi Difabel Untuk Jaga Lingkungannya

Views: 30

Solidernews.com – Beberapa waktu terakhir fenomena krisis iklim mencuat memenuhi internet dengan dampak yang signifikan di tengah masyarakat. Di susul kemudian, adanya fenomena kemarau basah yang kini juga tengah terjadi. Musim yang harusnya memasuki kemarau, justru kini malah diguyur curah hujan yang lebat.

Dampak dari adanya krisis iklim sendiri dapat disadari dengan adanya fenomena kemarau basah yang kini memenuhi penjelasan BMKG. Fenomena ini ditandai dengan hujan yang masih turun secara berkala pada musim kemarau, atau disebut juga sebagai kemarau yang bersifat di atas normal. Padahal dapat dipahami bila musim kemarau di Indonesia identik dengan cuaca panas dan minim hujan. Namun, dalam kemarau basah, intensitas hujan masih tergolong tinggi meski frekuensinya menurun.

Doddy Kaliri, anggota dan petinggi dari Difabel Siaga Bencana (DIFAGANA) Yogyakarta, menyampaikan bahwa kemarau basah ini merupakan salah satu dampak dari bagian krisis iklim yang kini melanda. Pemanasan global, aktivitas La Nina, perusakan alam oleh oknum tidak bertanggung jawab, serta kebiasaan buruk membuang sampah ikut menyumbang masifnya perubahan iklim ekstrem di Indonesia.

“Ini wujud dan dampak lain dari adanya krisis iklim yang mendera dunia. Sehingga kemarau basah ini juga satu kesatuan dengan krisis iklim,” jelas Doddy, pada solidernews 18 Juni 2025.

 

Dari Krisis Iklim Hingga Kemarau Basah Bagi Difabel

Adanya krisis iklim yang membuat peredaran cuadca tidak tertebak, membuat beberapa fenomena iklim terjadi. Kemarau basah meski membawa curah air yang lebih banyak bagi kebutuhan air masyarakat, namun di dalamnya juga menyimpan berbagai polemik.

Beberapa komunitas difabel turut merasakan adanya perubahan iklim eksterm ini. Berbagai program, pelayanan, juga aktivitas akhirnya tidak dapat dijalankan. Utamanya komunitas difabel yang bergerak di pertanian, pecinta alam, dan masih banyak lagi.

Simak juga ..  Awas Fenomena Kemarau Basah! Difabel Harus Cekatan Menyadari dan Mengantisipasi

Ken Kerta, founder Lingkar Sosial Indonesia, yang berfokus pada pemberdayaan, pembinaan, dan wadah bagi pecinta alam untuk difabel, menyampaikan bahwasannya Kemarau basah memang membawa berbagai problematika bagi difabel, khususnya yang aktif dalam kegiatan luar ruang. Di Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS), dua program yang terdampak langsung adalah Difabel Pecinta Alam (Difpala) dan Difabel Bertani (Diftani).

“Cuaca yang tidak menentu membuat berbagai kegiatan, mulai dari pendakian hingga pertanian, harus terus disesuaikan dengan perubahan pola musim yang sulit diprediksi,” jelas Ken Kerta, pada solidernews 20 Juni 2025.

Hal ini juga dikuatkan oleh Doddy, bahwasannya rekan-rekan difabel yang bertani dan bergerak pada isu lingkungan cukup terdampak dengan adanya kemarau basah. Tanaman jadi terbatas variannya, gagal panen, dan polemik lain meliputi hari-hari petani difabel di suasana iklim yang tidak menentu ini.

“Sektor pertanian dan difabel yang beraktivitas diluar ruangan cukup merasakan dampak dari adanya iklim tidak menentu ini,” ujar Doddy.

 

Upaya Praktik Baik  Difabel Untuk Alam Sekitarnya

Meninjau berbagai dinamika iklim yang makin menunjukkan arah yang tidak menentu, beberapa komunitas mulai membekali diri untuk paham akan mitigasi bencana, pengurangan risiko bencana, dan masih banyak lagi. Bahkan mulai juga dibentuk gerakan peduli alam untuk menjaga lingkungan disekitar tempat hidup difabel.

Lingkar Sosial Indonesia, bersama kegiatan difabel pecinta alamnya, sesuai yang disampaikan pada solidernews, melakukan kegiatan penghijauan dengan menanam pohon. Aktivitas ini dilakukan berbarengan dengan momen mereka akan mendaki gunung. Nantinya sewaktu turun, mereka melakukan pembersihan sampah di sepanjang trek pendakian.

Simak juga ..  Tingkatkan Suplai Pangan Difabel, Berkebun Rumahan Jadi Solusi di Era Krisis Iklim

“Mengetahui alam yang kian tidak baik-baik saja, kami melakukan kegiatan rutin untuk penghijauan alam dengan menanam pohon. Selain itu, juga memungut sampah di sekitar jalur pendakian sewaktu kami serombongan melakukan kegiatan pendakian gunung,” jelas Ken kerta.

Penghijauan atau reboisasi ini juga ditujukan untuk meminimimalisir dampak dari krisis iklim itu sendiri. Di mana sebab dan pelaku dari kerusakan alam ini juga karena atas tingkah manusia tidak bertanggung jawab dengan mengeksploitasi alam secara tidak aturan. Penebangan pohon, penambangan, dan pembukaan lahan hutan untuk pemukiman secara berlebihan, juga menjadi faktor kerusakan lingkungan dan iklim di masa kini.

Sesuai keterangan dari Zulfikar selaku anggota Difabel Pencinta Alam (Difpala) Linksos, reboisasi yang dilakukan itu bertujuan untuk menjaga kesetabilan alam. Menjaga curah air di tanah sehingga dapat mengikat tanah agar tidak mudah longsor, mencegah banjir, dan lebih jauh untuk menjaga kualitas udara dan menghindarkan manusia dari bencana alam akibat dari tidak adanya pohon di alam.

“Kami melakukan reboisasi dan pemungutan sampah setiap ada kegiatan di alam terbuka. Mulai pendakian, berkunjung ke air terjun, kami akan membawa bibit pohon untuk ditanam. Hal itu ditujukan untuk wujud kepedulian kita dan upaya untuk mencegah bencana alam akibat kerusakan pohon dan penebangan liar,” jelas Zulfikar, pada solidernews 24 Juni 2025.

Selaras dengan rekan-rekan Lingkar Sosial Indonesia, Difagana Yogyakarta, sebagaimana keterangan dari Doddy Kaliri,  Difagana juga melakukan gerakan peduli alam, edukasi kebencanaan, serta mengajak BPBD serta pemangku kebijakan terkait di pemerintahan untuk membentuk ULD (Unit Layanan Disabilitas) di sektor kebencanaan.

Simak juga ..  YAKKUM Emergency Unit Menggelar Lokakarya Ketangguhan Inklusif Berbasis Masyarakat

“Kami berkolaborasi dengan BPBD, organisasi yang fokus pada isu kebencanaan, organisasi difabel, pemerintahan, untuk membentuk respons bencana, mitigasi bencana, dan krisis iklim yang berpihak dan melibatkan kelompok difabel,” jelas Doddy.

 

Difabel Juga Harus Paham Kebencanaan

Sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal di Indonesia, di mana negara ini memiliki potensi bencana dan kini tengah menghadapi krisis iklim, kelompok difabel baiknya juga paham akan ilmu mitigasi kebencanaan dan soal seputar krisis iklim. Hal itu dikarenakan agar difabel memiliki ketangguhan dan keberdayaan bila menghadapi situasi darurat yang tidak terduga. Sebab isu seputar kebencanaan dan iklim serta Pengurangan Risiko Bencana (PRB) belum menjadi wacana diskusi utama di kalangan difabel.

“Kami paham bahwasannya hal ini penting. Maka, kami melakukan kunjungan-kunjungan ke organisasi, komunitas, dan kelompok difabel untuk mengedukasi dan memberikan pembekalan seputar kebencanaan di lingkungan sekitar kami yang memang sangat rawan bencana. Mulai Pacitan, Malang, dan beberapa kota lain,” jelas Ken Kerta.

Selain Ken Kerta, Doddy Kaliri dari Difagana juga menyampaikan bahwa Difagana juga mendorong difabel untuk memiliki atensi dan kesadaran terhadap kebencanaan. Mulai peduli kepada alam, edukasi, workshop, dan beberapa kegiatan lain, Difagana tujukan untuk pembekalan difabel untuk siaga bencana.

“Pemahaman dan kapasitas ini penting sekali untuk menghadapi situasi seperti ini. Krisis iklim dan bencana alam itu juga dapat menimpa difabel. Maka penting sekali difabel memiliki bekal memadai untuk menjaga dirinya dari potensi bencana diluar sana,” jelas Doddy.[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor       : Ajiwan

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content