Views: 47
Solidernews.com – Kopi sebuah komuditas penting di Indonesia yang hingga kini tetap mendunia. Kopi juga kini menjadi gaya hidup beberapa kalangan untuk sekedar membangkitkan mood, pembuka perbincangan hangat untuk membuka percakapan penting, dan bahkan beberapa tempat yang sajikan kopi bisa jadi gaya hidup manusia modern dan tempat untuk saling bersosialisasi.
Kopi Egalita Sadari Peluang Difabel Netra Dari Ekonomi Kopi
Tepat pada hari Kamis, 20 Juni 2024, Kopi Egalita bersama Yayasan Dria Manunggal Indonesia yang diprakarsai oleh Irwan Dwi Kustanto dan Stia Adi Purwanto yang mendesain sebuah kafe dengan konsep inklusif, merasa terpantik dengan fenomena kopi dan hal-hal yang ada di dalamnya. Mereka membuat sebuah pelatihan barista untuk difabel netra. Sebuah gebrakan yang sangat masif. Di hari ini pula grand opening dari peresmian pelatihan ini dilaksanakan. Pada acara itu, tentu hadir para pejabat, lembaga, seniman, dan para praktisi isu difabel yang duduk sama rata untuk mendengar gagasan, hasil produk, dan wacana yang ditawarkan oleh Kopi Egalita.
Manakala penulis bertemu dan berbincang dengan CEO dari Kopi Egalita yaitu Irwan, beliau menjabarkan betapa potensi kopi ini begitu tinggi. Apalagi bila soal ekonomi yang dihasilkan oleh tanaman berbuah merah ini. Mulai dari petani, pengepul, pengusaha, penikmat, dan masyarakat difabel pun ikut menikmati kehadiran kopi ini. Tentu bisa dibayangkan berapa besar perputaran ekonomi yang dihasilkan.[1]
Saat penulis bertanya mengapa ada ide pelatihan untuk barista bagi difabel netra, Irwan menjawab bahwasannya kopi ini bukanlah milik masyarakat nondifabel saja. Melainkan kita juga sebagai difabel, memiliki hak untuk mendapatkan cipratan ekonomi dari perputaran sosial ekonomi dari tanaman kopi ini. Selain itu, ia tegas menjawab bahwasannya kemampuan fokus, perasa, dan penciuman difabel netra itu sangat tinggi. Jadi, untuk andil dalam konstalasi ekonomi kopi bukanlah hal yang mustahil. Tinggal bagaimana support fasilitas itu dibangun. Maka, dengan Kopi Egalita dan yayasan Dria Manunggal Indonesia selaku yayasan yang menaungi Egalita, mereka kompak untuk membuat alternatif solusi agar difabel netra dapat meracik kopi dengan ciamik.
“maka melihat beberapa pertimbangan yang ada, solusi yang sangat mungkin dicari, dan semangat rekan-rekan tentunya saya ingin merebut hak income bagi difabel dari perputaran ekonomi kopi. Karena kopi milik semua orang. Maka, Jadilah pelatihan barista untuk difabel netra di saat ini, mas,” imbuh Irwan.
Irwan juga menjelaskan dengan sebuah analogi, misal sebuah kopi dalam satu kilo dibanderol dengan harga 100.000, lantas ada fakta bahwa Indonesia merupakan penghasil kopi terbesar ke-3 di dunia. Bila kita ambil sample sebanyak 750 ton biji kopi di jual, baik di pasar lokal maupun internasional, berapa banyak uang yang dihasilkan. Masak, difabel ndak boleh ambil bagian dari kegiatan ekonomi itu
Menurutnya yang membuat mengapa difabel netra mau pun difabel lain itu tertinggal daripada masyarakat nondifabel dari segi kemajuan aspek ekonomi adalah karena kurang luasnya kran penghasil income yang dimiliki. Selain itu, difabel yang kurang mendapatkan porsi skill yang mumpuni sesuai kebutuhan zaman, dan jarangnya wadah yang memberikan win solution terhadap permasalahan aspek ekonomi bagi kaum rentan, yang diberikan, diajarkan, dibekali, dan dilatih secara proporsional dari hulu hingga hilir. Sampai difabel itu bisa mandiri secara kuat.
Rasional Model jadi fondasi bertindak
Pada kesempatan selanjutnya, solidernews bertemu dengan Setia Adi Purwanto. Beliau menjabarkan mengapa Kopi Egalita dan Yayasan Dria Manunggal Indonesia mengadakan pelatihan barista bagi difabel netra. Menurutnya potensi dan kemampuan difabel netra itu tidak boleh diabaikan atau dibiarkan begitu saja. Ada aspek kekuatan indra penciuman dan perasa yang kuat dimiliki oleh difabel netra. Sehingga, pelatihan barista ini bukan menjadi barang mustahil untuk dikaji dan dipelajari oleh difabel netra.
Setia Adi mengemukakan sebuah konsep rasionalitas model, yang menjelaskan bahwasannya untuk membangun difabel yang mandiri, solid, dan memiliki kompetensi yang unggul, dibutuhkan sebuah pengambilan sikap yang rasional. Di mana untuk meningkatkan sebuah kemampuan, maka difabel harus mau berjuang, berupaya, dan membangun sosial inklusif yang dimulai dari dirinya sendiri.
Sedangkan bila merujuk dari artikel yang diterbitkan oleh syakal.iainkediri.ac.id yang membahas tentang rasionalitas dalam mengambil keputusan, Sebuah keputusan tindakan itu bisa dikatakan rasional, bila keputusan itu memenuhi beberapa karakteristik, antara lain: Pertama, tindakan itu dilandasi oleh pertimbangan yang menyeluruh terhadap seluruh alternatif tindakan lain yang tersedia. Kedua, pemilihan alternatif tindakan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan terhadap konsekuensi atau hasil yang mungkin menyertai setiap alternatif tindakan. Alternatif tindakan yang dipilih adalah yang memberikan hasil yang terbaik atau tertinggi bagi pelaku. Ketiga, ketika hasil atau konsekuensi tersebut masih berupa kemungkinan atau tidak dapat dipastikan benar atau tidaknya, maka nilai dari hasil atau konsekuensi tindakan diperkirakan dengan cara menggunakan aturan-aturan sebagaimana digariskan dalam teori probabilitas. Terakhir, keseluruhan proses pengambilan keputusan rasional ini mencerminkan pertimbangan yang menyeluruh terhadap unsur ketidakpastian dan ketidakjelasan terkait hasil dari sebuah tindakan, dalam kaitan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui tindakan tersebut.[2]
Maka dari itu, soliderneas mengamati bahwasannya konteks model rasional yang digagas oleh Setia Adi menunjukkan bahwasannya untuk membangun sebuah kemampuan baru, diperlukan kerjasama antar dua irisan masyarakat. Yaitu antara masyarakat difabel dan masyarakat nondifabel. Ia menegaskan bahwa sudah tidak lagi waktunya, sebagai difabel kita hanya berpangku tangan dengan terus menggantungkan nasib pada peraturan yang berlaku—mengharap kepekaan dan kepedulian masyarakat non-difabel—sedangkan kita sebagai difabel itu hanya pasif. Itu akan sangat lama, sulit, dan lamban dalam konteks perkembangan kompetensi. Jadi, kita harus saling bersinergi. Tidak lagi pada ranah konsep menerima dan memberi. Melainkan antara masyarakat difabel dan non-difabel itu harus memiliki jiwa untuk saling memberi.[3]
“Keharmonisan akan terbangun. Kedua irisan tadi akan saling mendekat dan menguatkan. Kita tunjukkan pendekatan itu melalui pembuktian, mas. Dalam bidang apa pun. Kalau di sini adalah dengan Egalita yang mengajarkan difabel netra untuk menjadi barista. Sehingga difabel netra bisa bersosial, interaksi, dan menunjukkan kemampuan pada masyarakat umum. Karena skill meracik kopi mereka dapat dinikmati oleh banyak kalangan, sekaligus skill baru yang tiada lekang oleh waktu,” tutur Setia Adi, selaku Ketua yayasan Gria Manunggal Indonesia.
Penyelesaian Egalita pada Paradoks Difabel Netra dan Barista
Bila melihat secara sekilas dua variable barista dan difabel netra seolah bagai dua dunia yang berlawanan. Kita tahu, aktivitas seorang barista itu adalah meracik, berurusan dengan mesin giling kopi, komposisi, takaran, menyuguhkan ke pelanggan, dan diperlukannya kegesitan di kafe tempat si barista berkerja. Sedangkan difabel netra, cenderung memiliki masalah soal kecekatan, kesigapan, dan mobilitas masif. Lantas bagaimana Egalita mengolah hal itu?
Memang tantangan yang dihadapi Irwan dan seluruh elemen yang berusaha meningkatkan skill baru bagi difabel netra tidaklah mudah. Di atas hanyalah segelintir masalah. Belum lagi ditambah masalah tentang meyakinkan mental, menguatkan peserta, dan membuka ruang pikir bagi peserta dan instruktur pelatih barista, tentu menjadi tantangan nyata bagi Egalita dan Yayasan Gria Manunggal Indonesia.
Namun, hal itu dapat dicarikan alternatif solusi terhadap tantangan yang ada, antara lain: Irwan yang memiliki jam terbang di dunia barista berkolaborasi dengan beberapa expert di peracik kopi. Selain itu, ia juga terjun langsung melakukan penataan, strategi, dan komunikasi aktif dengan para instruktur yang ada. Tidak hanya itu, Setia Adi juga memberikan gagasan, pandangan, dan motivasi yang besar kepada para peserta pelatihan.
Pada lini pengelolaan SDM peserta, tentunya para peserta diberikan pelatihan yang bisa diakses untuk mereka. Dilatih membedakan, merasakan, dan menganalisis dari 8 bahan kopi yang kemudian difariasikan lebih dari 30 item. Dikenalkan, diajarkan, dan didampingi dalam mempelajari mesin pengolahan kopi. Belajar soal takaran, komposisi, dan racikan yang sesuai, dan sebagainya.
Selain itu, Irwan juga menjelaskan bahwasannya kaitannya apakah barista ini akan memberikan pendapatan? Beliau hanya memberi jawaban cukup kiranya Kopi Egalita menjadi kafe inklusif yang dapat merumuskan dan menjadi mini laboratorium bisnis kopi yang dimiliki oleh difabel netra seperti dirinya. Karena dengan Egalita ia banyak melahirkan inspirasi, bertemu dengan masyarakat nondifabel, silaturahmi, dan tentunya penambahan ekonomi untuk keluarganya.
Pada akhirnya paradoks antara barista dan difabel netra pun menemukan puncak pertemuan. Amanat UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, PP. No. 52 Tahun 2019 tentang kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas, PERDA DI Yogyakarta No. 5 Tahun 2022 tentang pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas, dapat terwujud berkat upaya dari kita sebagai difabel. Khususnya sosial inklusif di dunia kerja yang dibangun Kopi Egalita dan Yayasan Dria Manunggal Indonesia yang diupayakan melalui pelatihan barista untuk difabel netra, menjadi cerminan yang sukses mengemban dan merealisasikan amanah beberapa peraturan pemerintah tadi, melalui difabel yang berdaya dan mandiri.
“Saya sebenarnya juga sempat down, mas. Apalagi saya ini tidak memiliki dasar-dasar di dunia perkopian. Namun, berkat motivasi, pendampingan, dukungan, dan suasana pelatihan yang saling mendukung, akhirnya memberi saya kekuatan untuk menghadapi rasa takut, minder, kegamangan, dan sejenisnya. Termasuk mendapatkan bimbingan dan nasihat dari Pak Irwan dan Pak Setia, para instruktur, dan rekan peserta pelatihan yang juga ikut membantu proses saya. Sehingga hari ini kami bisa menyukseskan demo pembuatan kopi beserta cara meraciknya di hadapan ibu dinas pariwisata, dinas ketenagakerjaan, dan lembaga difabel yang hadir. Termasuk di sini juga para praktisi, pengusaha, dan penikmat kopi yang juga turut dihadirkan oleh Egalita,” ujar Sigit peserta pelatihan barista yang menjadi presentator dan demo peracikan kopi.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan Arief
[1] Wawancara dengan Irwan Dwi Kustanto, difabel netra sekaligus CEO dari Kopi Egalita, di Kopi Egalita, Jl. Wates, pada 20 Juni 2024.
[2] Miftahul, “Rasionalitas dan Model dalam Pengambilan Keputusan” https://syakal.iainkediri.ac.id/rasionalitas-dan-model-dalam-pengambilan-keputusan/ diakses pada 20 Juni 2024.
[3] Wawancara dengan Setia Adi, difabel netra juga ketua Yayasan di Gria Manunggal Indonesia, di Kopi Egalita Jl. Wates, pada 20 Juni 2024.