Views: 43
Solidernews.com – Berbicara tentang “cinta”, maka diksi satu ini sepertinya tak akan pernah usang akan masa dan tidak akan pernah punah sepanjang hidup manusia. Cinta dengan segala dinamikanya, telah melahirkan jutaan karya sastra yang mendunia
Cinta adalah anugerah Tuhan yang terindah karena tiada satu insan pun yang kuasa menolaknya. Cinta adalah suatu rasa yang terkadang sulit terjelaskan oleh logika, karena ia ada dalam kefanaannya, dan dia fana dalam kenyataannya. Demikianlah cinta dengan keistimewaan dan segala sesuatu yang tersemat tentangnya. Lalu, muncul pertanyaan, bagaimanakah para difabel dapat merasakan cinta, sedang mereka sering dianggap tidak biasa dan bahkan “tidak normal”, menurut sebagian orang?
Difabel dengan segala stigma yang melekat padanya, sering sekali mendapatkan julukan-julukan yang tidak manusiawi. Mereka dianggap cacat, tidak normal, aseksual, dan stigma-stigma diskriminatif lainnya. Tak ayal, stigma yang melekat pada difabel, menjadikan mereka dianggap tidak dapat menjalani hidup sebagaimana mestinya, termasuk dalam kehidupan cintanya. apalagi ketika berbicara mengenai jodoh. Sebagian orang menganggap bahwa difabel sebaiknya menikah dengan sesama difabel saja, sebagian yang lain berpendapat bahwa harusnya difabel itu menikah dengan yang nondifabel, agar pasangan nondifabel itu dapat membantu pasangannya yang difabel.
Solider sebagai wadah yang mengangkat isu-isu difabel mencoba mengulik kehidupan cinta orang-orang dengan difabilitas, baik yang memiliki pasangan sesama difabel, maupun yang memiliki pasangan nondifabel. Adapun orang-orang yang oleh solider dimintai pandangannya mengenai kehidupan cinta mereka adalah Adi Gunawan seorang difabel netra yang memiliki istri difabel fisik dan Risya Nurul Qurani seorang difabel netra yang memiliki suami nondifabel, agar pelabelan dan anggapan negatif sebagian orang terhadap orang-orang dengan difabilitas dapat diluruskan oleh para difabel yang telah menjalani kehidupan berumahtangga dengan segala lika-likunya.
Adi Gunawan adalah pendiri Adi Gunawan Institute (AGI) yang berdiri di Malang pada tahun 2018, menurutnya, “Terkait pandangan di luaran sana tentang kalau kita difabel atau penyandang disabilitas kita layaknya mencari pasangan yang nondifabel ya. Supaya bisa membantu kita begitu. Ketika kita difabel netra, maka pasangan kita bisa menjadi mata kita. Kalau kita difabel fisik, maka pasanganya kita dapat menjadi tangan dan kaki kita. Menurut saya, pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan harus diluruskan,” ungkapnya.
“Karena kalau pandangan ini dipelihara, seolah-olah kita sebagai difabel itu tidak mampu . Tidak bisa menjalani hidup layaknya manusia pada umumnya. Saya tidak memiliki pemikiran seperti itu ya,” lanjutnya.
“Sejak awal, saya berusaha untuk membangun diri saya sebagai seorang Adi Gunawan yang dalam hal ini disabilitas netra yang juga sama memiliki kesempatan menjalani hidup sampai berumahtangga. Seperti yang saya katakan tadi, bahwa itu adalah pemikiran yang keliru, karena kalau kita mau menjalani rumahtangga ya sama dengan orang-orang yang nondifabel. Terlepas nanti difabel akan mendapatkan jodoh difabel maupun nondifabel, menurut pandangan inklusifitas itu tidak masalah,” tegasnya.
Lanjutnya lagi, “Hal yang seperti ini tidak penting untuk dibanding-bandingkan karena penyandang disabilitas dan nondisabilitas itu memiliki kesempatan yang sama untuk menikah dan untuk memiliki pasangan, untuk bahagia tentunya. Kita harus memberikan pemahaman baru kepada orang lain bahwa difabel yang memiliki pasangan difabel itu sama dengan nondifabel yang memiliki pasangan nondifabel. Esensinya adalah dua insan yang menjalin rumah tangga. Dua insan yang saling memadu kasih dan berkomitmen,” paparnya.
Bagi Adi, yang memiliki pasangan difabel, adalah bahwa kita dua insan yang saling melengkapi. Sebagaimana suami membutuhkan istri, begitupun sebaliknya. Jadi, prinsip seperti ini yang perlu kita tanamkan kepada masyarakat baik itu difabel itu sendiri, maupun nondifabel,” terangnya. Kemudian Adi juga menjelaskan mengenai tantangan dalam kehidupan rumahtangga sesama difabel. Adapun tantangannya ketika memiliki pasangan sesama difabel, Adi merasa sama saja dengan orang pada umumnya. Karena menurutnya, kedifabelan itu hanya soal hambatan pada fungsi belaka dan hanya soal pemenuhan hak-hak sesuai dengan CRPD dan Undang-Undang. Tantangan yang ada dalam rumah tangga ketika dijalani dengan kasih dan cinta, maka segala masalah dapat dihadapi dan tidak lagi ada hubungannya dengan kedifabelan yang dimiliki. Menurut Adi , tidak usah memikirkan anggapan orang lain mengenai rumah tangga yang sedang kita jalani, karena yang menjalani rumah tangga itu adalah kita dua orang sebagai suami istri. Adi berpandangan, sebagai laki-laki kita harus bersiap dalam tanggungjawab, tidak peduli pasangan kita nanti difabel maupun nondifabel. Begitupun bagi wanita difabel, maka dia juga harus bersiap sebagai seorang istri dan calon ibu rumah tangga, dan kalau bisa bekerja . Di akhir, Adi juga berpendapat, jika ada seorang difabel yang merindukan pasangan yang nondifabel itu tidak apa-apa, yang penting difabel tersebut bersedia bertanggungjawab dan harus mengerti mengenai dunia nondifabel, pungkasnya.
Sedang menurut Risya Nurul Qurani (seorang perempuan difabel netra), baginya sebagai difabel, kita memang harus membuktikan kepada keluarga suami bahwa kita sebagai difabel juga bisa beraktivitas selayaknya perempuan pada umumnya. Risya berprinsip bahwa kita sebagai difabel tidak usah banyak bicara, cukup praktik dan memberi bukti saja sehingga orang lain akan tercengang dengan apa yang kita lakukan. Lalu lanjutnya lagi, tantangan memiliki pasangan nondifabel itu adalah bahwa ia sebagai difabel tidak bisa banyak menuntut pernikahan yang sesuai adat. Sebagaimana adat orang Bugis-Makassar tentang “uang panai’” yang akan menghargai perempuan lebih tinggi dibanding yang lain ketika perempuan itu memiliki pendidikan yang tinggi, tapi karena Risya difabel, meski waktu itu ia sedang menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas ternama di Kota Daeng, maka ia merasa tidak bisa menuntut keluarga suaminya untuk memberikan uang panai’ yang sepadan. “Sebenarnya calon suami saya waktu itu pasti akan mengusahakan uang panai’ yang semestinya untuk saya, namun saya juga sadar pada saat itu bahwa keluarga suami saya belum mengerti konsep inklusifitas, makanya saya tidak mau banyak menuntut”, tambahnya.
Lebih lanjut, Risya juga berpesan bahwa sebenarnya tak kenal maka tak sayang, tak sayang, maka tak paham. “Mungkin sebelum menikah, keluarga suami saya belum begitu paham mengenai kondisi kedifabilitasan saya, sehingga banyak kekhawatiran mengenai saya. Dikiranya saya tidak dapat mandiri jika suami lagi tidak di rumah. Mereka menganggap saya sebagai difabel harus selalu didampingi orang tua atau mertua. Namun, lambat laun, kekhawatiran-kekhawatiran itu sirna seiring berjalannya waktu karena keluarga suami saya juga sudah semakin paham mengenai saya sebagai difabel yang ternyata juga bisa mandiri selayaknya istri.”
Risya juga menegaskan bahwa, sebenarnya bukan ia saja sebagai perempuan difabel yang memiliki suami nondifabel, hanya mungkin kebanyakan orang itu belum menemukan perempuan difabel yang memiliki pasangan difabel. Padahal, menurutnya sudah banyak orang difabel perempuan yang memiliki suami nondifabel. Risya juga berpandangan bahwa pada dasarnya baik difabel maupun nondifabel itu sama saja, karena ketika kita membatasi istilah “normal” dan “tidak normal”, maka secara tidak langsung kita telah mengkotak-kotakkan manusia. Bagi Risya, cukup jadi diri sendiri, jangan minder akan kedifabilitasan yang dimiliki karena ketika jodoh itu sudah waktunya datang, maka tangan Tuhanlah yang akan mengerakkan hati dan perasaan setiap insan yang saling mencintai untuk membangun rumah tangga, tak peduli ia difabel maupun nondifabel, tutupnya.[]
Reporter: ZAF
Editor : Ajiwan Arief