Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Kiri Depan, Daeng: Cerita Tentang Warga Difabel Makassar Dan Pete-pete

Views: 11

Solidernews.com – Konsorsium UK PACT Future Cities bekerjasama dengan Yayasan Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan (PerDIK) mengadakan diskusi publik dan book tour bertajuk “Menggagas Mobilitas Inklusif di Makassar” di Kafe Agung pada Kamis, 31 Oktober 2024. Menjadi memontum yang tepat untuk menyediakan ruang bagi semua orang, tidak terkecuali difabel, berdiskusi dan menyumbangkan gagasan mendalam mengenai transportasi pablick di Kota Makassar.

Dalam kesempatan ini diperkenalkan buku berjudul “Kiri Depan, Daeng!”. Sebuah buku dengan kumpulan cerita mengenai transportasi pablik yang ada di kota Makassar. Di dalam buku ini, bercampur pengalaman demi pengalaman dari penulis dengan keberagaman latar belakang. Perempuan, lelaki, lansia, orang muda dan difabel mengenai kendaraan umum yang bertebaran. Bukan hanya angkot atau yang disebut pete-pete oleh warga Bugis Makassar, tapi juga jenis-jenis transportasi lainnya serta cerita-cerita unik yang terjadi di dalamnya.

Luna Fidya dari Konsorsium UK PACT menyampaikan, “kami berharap buku ini bisa menjadi pegangan bagi rekan-rekan PerDIK untuk mengadvokasi pemerintah, Rekomendasi yang muncul dari pertemuan ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah kota dan provinsi dalam menyusun kebijakan ke depan.”

Sebagai organisasi yang mengikrarkan diri untuk mengawal dan memperjuangkan kesetaraan bagi warga difabel, memang sudah seharusnya, Yayasan PerDIK rutin membuka ruang-ruang diskusi pablik. Bukan hanya untuk mendengarkan aspirasi dari warga difabel, tetapi juga menghimpun kekuatan dari seluruh pihak yang ingin terlibat dalam memajukan kualitas hidup kelompok rentan.

Makassar adalah kota percontohan di kawasan Indonesia Timur, menjadi kiblat kemajuan daerah-daerah di sekitarnya. Penting bagi pemerintah Kota Makassar untuk semakin memperhatikan kesetaraan bagi kelompok-kelompok rentan seperti lansia, perempuan dan ibu hamil. Dalam konteks transportasi pablik di Kota Makassar, kita bukan hanya berbicara mengenai perhatian pemerintah. Tetapi juga kesadaran masyarakat untuk turut terlibat dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih ramah terhadap difabel, khususnya difabel perempuan dan anak. Karena ketidak percayaan masyarakat terhadap keamanan kota, juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kriminalitas yang terjadi di ruang-ruang pablik, yang juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat itu sendiri.

“Jujur, saya tidak pernah keluar ke mana-mana karena saya takut ada apa-apa. Kita kan perempuan. Apalagi ada teman yang pernah dilecehkan di atas pete-pete,” ungkap seorang pelajar difabel yang namanya tidak ingin disebutkan dalam tulisan.

Perempuan difabel memang hidup dengan berbagai kerentanan. Terlebih lagi ketika mereka lahir dan tumbuh besar di tanah Bugis Makassar, yang masih sangat menganut sistem patriarki. Perempuan dianggap tak mampu dan terlalu lemah untuk bisa bersosialisasi di tengah masyarakat. Terlebih lagi jika dia adalah difabel. Ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pihak yang memiliki kepedulian terhadap perempuan difabel. Stigma negatif yang akan disandang oleh perempuan difabel tentu jauh lebih kompleks. Perempuan-perempuan difabel bukan hanya menghadapi model kendaraan umum yang tidak aksesibel, niat-niat jahat orang di luaran atau kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Tetapi juga menghadapi anggapan masyarakat patriarki. Di Makassar, anak perempuan yang pulang di jam sembilan malam pun akan menjadi cercaan keluarga. Belum lagi jika bepergiannya menggunakan transportasi pablik.

Proses berpindahnya seseorang dari satu tempat ke tempat lainnya, atau yang lebih sering disebut mobilitas, adalah satu aktivitas yang sangat diperlukan oleh semua orang. Semua orang perlu untuk berpindah tempat. Dari rumah ke sekolah, dari rumah ke puskesmas, dari rumah ke taman kota dan lain sebagainya. Sayangnya, transportasi pablik sebagai salah satu cara bermobilitas yang terjangkau secara ekonomi belum cukup aksesibel bagi difabel di Kota Makassar.

Contoh saja seperti Bus Maminasata, yang tidak menyediakan ramp atau bidang miring portabel bagi pengguna kursi roda. Atau letak-letak halte yang tidak dilengkapi dengan jalur pemandu bagi difabel netra, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan transportasi aman dan nyaman bagi semua orang.

Buku “Kiri Depan, Daeng!” Berjudul seperti itu untuk menggambarkan ciri khas warga Kota Makassar saat menaiki kendaraan umum. Di mana kalimat “Kiri depan, Daeng!” Adalah kalimat yang sering digunakan untuk memberi tahu kepada supir, bahwa mereka sudah ingin turun di lokasi tersebut. Diharapkan dengan adanya buku ini, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya transportasi pablik yang aman dan aman bagi semua orang tidak terkecuali difabel, bisa semakin meningkat. Dan tentu saja juga diharapkan, organisasi difabel bisa menjadikan buku “Kiri Depan, Daeng!” Sebagai bahan advokasi pada pemerintah untuk perbaikan-perbaikan lebih masif kedepannya.

Mendekati Pemilihan Kepala Daerah (PEMILU) tahun 2024 ini, isu mengenai transportasi publik yang aman dan nyaman bagi kelompok difabel masih belum terdengar dari para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan. Pun demikian dengan pasangan calon walikota dan wakil walikota Kota Makassar. Semoga dengan adanya upaya dari Konsorsium UK PACT melalui buku “Kiri Depan, Daeng” ini, dapat mendorong calon-calon pemimpin daerah untuk mulai memikirkan kebutuhan mobilitas bagi masyarakat difabel di wilayah Indonesia Timur.[]

 

Reporter: Nabila May

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content