Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ki Kevin Aditama, Jadikan Wayang Sebagai Sarana Ekspresi dan Advokasi

Views: 11

Solidernews.com – Dunia seni merupakan dunia yang tidak memiliki batasan. Semua orang dapat berkontribusi serta berkreasi di medium tersebut. Bahkan kawan-kawan difabel sekalipun. Mulai seni tari, seni suara, seni lukis, seni teater, seni drama, seni rupa, dan sebagainya.

Sarana seni sering kali digunakan sebagai ajang aktualisasi serta pencurahan kreativitas dari sang pelaku seni. Bahkan unsur kepentingan juga bisa disematkan kedalamnya. Seperti untuk kritik sosial, nasehat, advokasi, dan bahkan untuk mengubah stigma sosial. Hal inilah yang juga kerap digunakan kawan-kawan difabel yang memaksimalkan seni sebagai sarana menyuarakan hak dan kesetaraan bagi kalangan difabel di Indonesia.

Kreasi di bidang pedalangan kini juga turut diikuti oleh rekan-rekan difabel. Salah satunya difabel netra. Sebut saja Muhammad kevin Aditama yang bermula dari menggemari pewayangan yang pada akhirnya mengantarkan dirinya untuk menjadi sosok dalang profesional. Dari pewayangan inilah Kevin banyak mendapat kesempatan untuk berkontribusi dalam masyarakat, khususnya untuk masyarakat difabel.

“sedari kecil saya memang sudah menggemari wayang. Bahkan semenjak kelas dua SD saya mulai bercita-cita untuk menjadi seorang dalang. Mendengar wayang di radio, DVD, dan acara pementasan wayang di sekitar tempat tinggal saya, menjadi rutinitas yang wajib saya lakukan di masa itu,” tutur Kevin pada wawancara 9 Desember 2024.

Pertemuan solidernews.com dengan sosok Kevin bermula saat kunjungan dan liputan pada gelaran Pekan Budaya Difabel 2024 di Lapangan Minggiran, yogyakarta pada 4 Desember 2024. Pria ramah ini mementaskan sebuah kisah yang begitu memukau. Hambatan sensorik sebagai difabel netra tidak menghambatnya untuk piawai memainkan wayang. Saat suluk, membawa cerita, dan proses perpindahannya dapat ia jalankan dengan mulus.

 

Mengenal Sosok Ki Kevin Aditama

Pria kelahiran Panggang, Gunungkidul pada 1 September 2000 ini bernama lengkap Muhammad Kevin Aditama. Anak pertama dari tiga bersaudara ini mulanya terlahir tanpa hambatan fisik. Masa kecilnya dibesarkan di Gunungkidul dengan berbagai kebersahajaanya. Hingga pada usia lima tahun, akibat suatu penyakit mata akhirnya kesehatan penglihatannya turun secara drastis sampai dalam keadaan totally blind.

Berkat dukungan keluarga yang begitu menyayanginya, Kevin kecil tetap tumbuh sebagai sosok yang ceria. Ia sekolah di usia tujuh tahun di SLB Purwosari Gunungkidul. Dari sinilah cita-cita dalang begitu dijiwai Kevin kecil. Kesenian wayang ini didapatnya dari kakek dan neneknya yang senantiasa mengajak dirinya untuk nonton pertunjukkan wayang.

“Kalau dari orang tua saya justru mendukung apa yang menjadi minat saya. Khususnya ketika saya bilang ingin menjadi seorang dalang. Mereka hanya berpesan untuk serius dan jadilah dalang yang baik,” jelas Kevin saat ditanya soal respons keluarga.

Kevin menjelaskan mulanya ia belajar denan mengamati wayang di radio, DVD, dan saat ada pertunjukkan di sekitar tempatnya tinggal. Ia terus mengamati cerita, memelajari penokohan, yang di pentaskan dalang. Dari sini Kevin kecil terus berupaya memahami pewayangan.

“Saya kadang juga beli wayang mas. Dulu saya sering dibelikan yang dari kertas karton. Orang tua saya harus membelinya di Kota Jogja. Jadi, harus turun gunung dulu, demi mendukung minat saya,” ujar Kevin mengenang permulaanya belajar wayang.

 

Sarana Kreasi, Aktualisasi, dan Potensi Pribadi

Wayang memang menjadi jiwa dari sosok Kevin. Ia mengungkapkan tiada hari tanpa mendengar wayang. Bahkan hal itu berlaku sebagai peneman untuk bisa tidur dengan nyaman. Selain itu Kevin mencintai wayang sebab menurutnya wayang dapat menjadi kawan dikala dirinya merasa gundah gulana.

Pada bincang via telepon 9 Desember 2024, Kevin mengungkapkan kalau ia menggeluti wayang salah satunya sebagai medium melestarikan budaya, membangun keahlian, sekaligus sebagai ajang dirinya berkreativitas. Tiada hari tanpa berlatih memainkan figure wayang. Mulai punakawan, Pandawa, dan sebagainya terus dipelajari sosok Kevin.

Perjalanan Kevin terus meningkat. Tepatnya pada 2019 Kevin bertemu dengan guru ndalang dari desa sebelah tempatnya tinggal. Beliau bernama Karjono, yang juga sosok seniman dalang. Bermula dari belajar karawitan di sanggar Karjono, kegemaran pedalangan yang begitu digeluti Kevin bersambut. Kevin pun dibimbing oleh Karjono untuk menjadi dalang professional. Mulai belajar suluk, Sanggit (Pengaluran cerita), dan antawacana (tata cara menyuarakan karakter suara dari setiap tokoh wayang).

“tiga bulan awal itu saya tidak langsung memainkan wayang, mas. Melainkan saya belajar suluk, antawacana, dan sanggit dulu. Baru kemudian mulai memainkan wayang.” Jelas Kevin.

Awal belajar Kevin juga mengungkapkan kalau berbagai tantangan turut ia alami. Mulai belum memiliki tokoh wayang lengkap, diremehkan teman-temannya, rekan sanggar yang juga ragu, serta beberapa hambatan lainnya. Namun, meski begitu, Kevin tetap optimis untuk terus belajar. Apa lagi Karjono mendukungnya dengan meminjamkan koleksi wayang yang dimiliki.

“Ada juga mas yang bilang kalau aku itu halu, tidak mungkin bisa jadi dalang, serta omongan miring lain. Tapi aku tidak ambil pusing. Aku hanya meyakini kalau kita serius belajar, tentunya tidak ada yang tidak mungkin. Sebab keluarga dan guru terus meyakinkanku bahwa aku pasti bisa,” ujar Kevin menceritakan tantangan yang dialaminya.

Kesuksesan sosok Kevin dalam menggeluti dunia pedalangan ini banyak difaktori dukungan penuh dari orangtua, gurunya; Cita dan Karjono, serta rekan-rekan sanggar yang mau memberi ruang kepada Kevin untuk mencoba. Dibarengi ketekunan setiap malam minggu berlatih di sanggar Karjono, eksplorasi pribadi, dan menyimak cara dalang lain memainkan wayang jadi modal Kevin menempa diri.

Hingga pada tahun 2020-2024 Kevin turut aktif dalam event Pekan Budaya Difabel yang digelar Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Tidak hanya itu saja, Kevin juga kadang Mengisi beberapa acara di area tempat tinggalnya. Selain itu, awal di tahun 2020, Kevin berhasil mementaskan wayang di SLB Purwosari tempatnya dahulu bercita-cita dan banyak mengalami peremehan akan cita-citanya yang ingin menjadi sosok dalang. Dari sinilah rekan-rekan yang meragukan dibuat terdiam dengan pementasan Kevin yang sukses.

 

Wayang Menjadi Medium Advokasi

Dalang muda ini juga menjelaskan kalau wayang baginya menjadi senjata untuk mengadvokasi masyarakat. Ia selalu menyisipkan pesan, moral, dan nilai-nilai kesetaraan terhadap kalangan difabel, sewaktu memainkan wayang di tengah-tengah khalayak umum. Bagi Kevin medium wayang ini sangat potensial untuk dijadikan ajang advokasi serta penyebaran nilai-nilai inklusif untuk membentuk masyarakat yang inklusif.

Cara Kevin ini mirip-mirip cara dakwah di masa Sunan Kalijaga yang menyebarkan semangat positif Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa dengan medium wayang. Secara tidak sadar masyarakat belajar pentingnya menghargai, toleransi, memberi ruang, saling mendukung, dan tentunya menghindari perpecahan. Kevin membawakan sosok difabel dengan wajah yang positif. Bisa berkreasi, berkesenian, dan tentunya memiliki potensi yang tidak kalah dengan lapisan masyarakat lain.

“bagi saya perlu adanya masyarakat itu paham akan kesetaraan bagi kalangan difabel. Makanya saya menyisipkan nilai, kesetaraan, dan advokasi dalam kesempatan pentas wayang,” ujar Kevin.

Hal ini terbukti sewaktu Kevin yang diiringi pengerawit Gita Raras membawakan pertunjukan wayang di pagelaran Pekan Budaya Difabel 2024 di lapangan Minggiran, Yogyakarta. Di sela menjalankan cerita lakon, Kevin membawakan nilai-nilai dan semangat inklusifitas untuk masyarakat. Ia menegaskan kalau difabel itu memiliki potensi yang sama dengan masyarakat lain. Para difabel itu hanya butuh diberi wadah, ruang, serta kesempatan. Jadi, jangan jauhkan difabel dari kesempatan.

Bahkan Kevin melakukan kritik sosial akan rumor wacana penghapusan Pekan Budaya Difabel. Dengan menjalankan tokoh punokawan, yang mana Bagong dibuat dengan tambahan variasi tokoh yang buta, menyuarakan kritik tersebut. Ia malah berpendapat kalau event seperti Pekan Budaya Difabel ini kalau bisa jangan hanya setahun sekali.

“ya, saya sering seperti itu mas. Untuk mengeritik sosial, medium Punokawan ini sangat sering saya gunakan. Jadi, bisa dibilang tajam tapi caranya halus,” ujar Kevin menutup sesi wawancara.[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor       : Ajiwan

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content