Views: 10
Solidernews.com, Yogyakarta – Mencapai kemandirian hidup. Kondisi demikian sudah barang tentu didambakan oleh setiap orang, tanpa kecuali bagi difabel. Sebuah tujuan hidup, yang dicapai melalui tahapan atau proses. Sebagaimana kodratnya sebagai makhluk sosial, dalam melalui tahapan proses kemandirian, difabel membutuhkan orang lain. Kehadiran negara salah satunya. Sesungguhnya, hal ini tak jauh berbeda dengan awam.
Secara umum, kemandirian ialah kemampuan berpikir dan membuat keputusan secara pribadi. Adapun konsep kemadirian bagi difabel sesungguhnya ialah, seseorang dapat hidup mandiri secara utuh (independent living). Yakni menjadi diri sendiri, mampu menentukan pilihan, dan bertanggung jawab terhadap keputusannya. Bagaimana independent living dapat dicapai oleh para difabel?
Kolaborasi sistem dukungan antara pemerintah sebagai representasi negara, dengan difabel itu sendiri, sangat dibutuhkan. Sebagaimana lima pilar konsep independent living, yaitu peer consultation, personal asisstant (asisten pribadi untuk kemandirian), aksesibilitas di segala lini, pelatihan, dan sistem referensi bagi difabel yang ingin hidup mandiri seutuhnya. Pilar-pilar di atas, wajib diperhatikan negara. Lebih dari itu, negara berkewajiban dalam menjamin pemenuhannya.
Diakui, bahwa negara telah berproses memberikan pemenuhannya. Meski, hingga kini, belum juga dapat dinikmati secara merata oleh warga difabel. Kondisi demikian terjadi di berbagai belahan dunia. Khususnya di negara-negara kawasan selatan, Indonesia satu di antaranya.
Kondisi di atas menjadi keprihatinan tersendiri bagi Ohana Indonesia. Memastikan kewajiban negara, khususnya negara yang sudah meratifikasi CRPD menyediakan alat bantu dan teknologi alat bantu bagi difabel, diagendakan melalui satu kegiatan konferensi, Kamis (13/7/2023). Menghadirkan lima orang pembicara dari berbagai belahan dunia. Di antaranya, Ketua Komite UN CRPD Gestrude Fefoame dari Ghana, Komite UN CRPD Periode 2018-2022 Mara Gabrielle, Manajer Desain Inklusif Universitas Londan Shivani Gupta, Ketua Team Leader WHO Kylie Shae dan Surya Sahetapi, pria Indonesia lulusan Rochester Institute Technology (RIT) Amerika Serikat.
Intervensi teknologi
Mengawali sesi konferensi ialah Ketua Komite UNCRPD, Gestrude Fefoame. Memastikan agar negara pihak dapat melakukan intervensi teknologi bagi end user atau pengguna akhir, disampaikannya. Kewajiban negara tersebut diatur dalam CRPD pasal 23 B, yang mewajibkan negara memastikan bahwa alat bantu dan teknologi bantu, dapat membantu mobilitas difabel dengan harga terjangkau.
Sedang terkait mobilitas, CRPD telah mengatur kewajiban negara memastikan seluruh aspek mobilitas. Pada pasal 26, dengan bunyi: Negara pihak mempromosikan avordabilitas atau keterjangkauan dan rehabilitasi. Pasal 29, negara pihak memastikan difabel menjadi bagian pengambil keputusan dan upaya politik terkait difabel.
Berikuitnya pada pasal 32, mengatur promosi kerjasama internasional. Pasal ini mewajibkan semua negara pihak membantu alat bantu. Termasuk projek dan pendanaan yang diberikan antara mitra-mitra pembangunan.
Dengan latar belakang saat ini, Gestrude mengajak peserta konferensi mendiskusikan beberapa halangan dalam mengakses teknologi bantu. “Terlepas dengan pasal yang stagnan UNCRPD, difabel di negara selatan mengalami tantangan,” ujar Ketua UNCRPD itu. Tantangan yang dimaksud ialah kualitas dan keterjangkauan dari alat bantu.
Tantangan negara
Ada tantangan untuk menyediakan alat bantu yang berkualitas tinggi. Mengingat biaya impor yang tinggi. Sementara, karena kondisi ekonomi rendah, berdampak pada keterjangkauan yang rendah pula.
Diakui Gestrude, kapasitas dan kemampuan produksi kurang. Serta Ketergantungan pada bahan impor untuk mengembangakan teknologi alat bantu, sangat tinggi. Karena biaya impor yang tinggi dan berbagai kondisi yang membatasi, individu memilih alat yang rendah, yang penting terjangkau.
“Ada negara yang menerapkan biaya yang cukup tinggi untuk alat bantu mobilitas seperti kursi roda. Sehingga tidak dapat diakses masyarakat karena tidak terjangkau harganya,” ujarnya.
Signifikansi keterlibatan organisasi
Individu dan organisasi penting untuk terlibat dalam penyediaan alat bantu ini, imbau Gestrude. Pasal 4 UNCRPD memastikan bahwa, pertama, penyediaan alat bantu dan teknologi bantu penting untuk mengeliminasi barrier atau hambatan berpartisipasi. Sehingga membutuhkan antara negara di belahan utara dan belahan selatan, untuk bekerja bersama.
Kedua, ada kebutuhan untuk menyediakan alat bantu atau teknologi bantu bagi difabel yang memerlukannya. Dan ini sangat penting. Agar fasilitas terbaik disediakan.
Ketiga, Gestrude memandang perlu adanya perbaikan jaminan sosial. Sehingga alat bantu dan teknologi bantu dimasukkan atau menjadi bagian jaminan sosial. Alat bantu sebagai jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan yang disediakan negara. Hal ini sangat jarang terjadi, kata dia. Sementara hal tersebut merupakan madat CRPD, pada negara pihak
Keempat, pengampunan pajak. Dia mencontohkan negaranya, Ghana. Di negara tersebut ada yang memastikan adanya sistem anggaran dasar tersedia lebih mudah. “Di Ghana, misalnya. Ada pengampunan pajak terhadap impor bahan baku alat bantu atau teknologi bantu. Bahkan pengampunan pajak pada alat bantu itu sendiri,” tandas Gestrude
Kelima, berdasarkan laporan global, meningkatkan teknologi bantu akan meningkatkan harapan hidup. Kondisi ini mendorong, atau mengharapkan kerjasama internasional sebagai upaya mengatasinya.
“Kita tidak bisa mencapainya tanpa meningkatkan advokasi dan aktivisme. Serta menunjukkan apa penting dan maknanya alat bantu. Waktunya berjalan terus. Kita harus memastikan negara memiliki kebijakan pengampunan pajak, penelitian yang memampukan melihat proses produksi, berkolaborasi dengan organisasi penyandang disabilitas,” tegasnya.
“Kerja sama internasional juga harus menekankan bahwa organisasi difabel , menjadi pusat dalam upaya ini. Termasuk difabel laki-laki, perempuan dan kelompok minoritas. Upaya berbagai pengetahuan harus didorong. Yang pada akhirnya, dapat mengatasi rintangan dan ketercapaian alat bantu,” Gestrude, Ketua Komite UNCRPD mengakhiri sesinya.
Tantangan bagi negara
Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Komite UU CRPD 2018 – 2022, yang juga Direktur Eksekutif sekaligus Founder Ohana Indonesia Risnawati Utami, menyampaikan beberapa hal.
Pertama. Mengangkat beberapa isu penting yang sudah disampikan teknologi sebelumnya. Bagaimana teknologi bantu dan alat bantu, menjadi tantangan tersendiri. WHO menyampaikan, pada 2030 akan ada 3,5 miliar warga dunia yang membutuhkan teknologi bantu dan alat bantu. Karenanya, penting meningkatkan kesadaran global. Sebagaimana CRPD menyebutkan pentingnya menerapkan kerjasama internasional inklusif dalam teknologi bantu dan alat bantu.
Kedua, Komitmen politik sangat penting, ujar Risna. Pemerintah bertanggung jawab dalam pendanaan inklusi. Serta, pelibatan difabel dan organisasi, dalam pengambilan keputusan.
“Mereka (penyandang disabilitas), harus terlibat dalam proses, bahkan sedari asesmen, hingga penggunaan alat bantu. Sangat mahal memenuhi hak warga negara, satu dengan yang lain. Demikian pula dengan warga negara yang membutuhkan alat bantu, yang harganya sangat mahal. Ini tanggung jawab negara menyediakannya,” tutur Risna.
Bagaimanapun kebijakan sebuah negara harus inklusif. Di Indonesia, kata dia, menghadapi tiga pajak berbeda untuk membeli alat bantu dari luar. Sebagai contoh pembelian ke Amerika Serikat atau China. Karena keterbatasan produk lokal, sebagian harus diimpor. Investasi dalam penciptaan (protipe) alat bantu, masih terbilang rendah. Jika negara serius mau berinvestasi, maka akan mendatangkan nilai ekonomi bagi negara.
Ketiga, terkait jaminan kesehatan semesta. Risna berpendapat, bahwa mendorong negara selatan-selatan, dalam forum G20 menjadi isu urgent (prioritas). Kemudian mempromosikan isu jaminan kesehatan di G20. Dengan tujuan, lahir kepedulian terkait pajak dan pendanaan fiscal. Keberhasilan praktik baik anggota , sudah terjadi di Brasil dan Amerika Selatan.
Keempat, advokasi kolaboratif sangat dibutuhkan. Yaitu dengan terus menerus mempromosilan perubahan perilaku di tingkat pemerintahan, kebijakan dan mengakui pentingnya alat bantu dan teknologi bantu, sebagai syarat difabel mencapai hak mereka.
Bicara komunitas, sesungguhnya tak hanya difabel, lanjut Risna. Masyarkat yang menua akan meledak jumlahnya dalam beberapa tahun mendatang. Karenanya, yang membutuhkan alat bantu akan meningkat jumlahnya
Kolaborasi global mendesak dibutuhkan. Dalam upaya membantu pemerintah mencapai realisasi progresif, termasuk kebijakan pajak. Di Indonesia ada tiga jenis pajak yang harus dibayar. Yaitu, pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan bea impor. “Ini pangggilan mendesak, bagi semua pemangku kepentingan agar mengurangi pajak impor alat bantu,” tegas Founder Ohana Indonesia itu.
Di akhir tanggapannya, Risnawati Utami menegaskan statemennya. Bahwa, kebijakan fiscal harus inklusif. Selanjutnya, memastikan pemerintah berkomitmen dan berinvestasi untuk penelitian dan pengembangan. Sebagai wujud nyata, agar alat bantu dan teknologi bantu, tidak sedemikian mahal. Menjadi barang eksklusif, yang tak terjangkau bagi para penggunanya.
“Mengangkat isu pemenuhan alat bantu dan tenologi bantu, di G20 dan C20 di Jaipur India, adalah hal mendesak,’ pungkas Risna. Kamis (13/7).[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief